•32•

48.8K 2.7K 102
                                    

Bevan bersandar pada mobilnya, memperhatikan Rea yang baru saja turun dari motor Renald. Kedua orang itu berpisah, mungkin saja Renald ada urusan. Bevan bisa melihat Rea yang kini sedang berjalan sendiri.

'Gue harus apa? berjuang atau ngelepasin lo?' Kini hati Bevan semakin bimbang.

Bevan menghela nafas panjang, sorot matanya tak pernah lepas dari Rea. Dari kejauhan Bevan bisa melihat ada pot gantung yang sepertinya akan terjatuh.

"Rea awas!" Bevan berlari dan memeluk Rea membuat pot itu mengenai punggung Bevan.

Rea masih tampak terkejut, tubuhnya membeku untuk beberapa saat.

"Lo gapapa?" Bevan memegang kedua bahu Rea.

"Aku yang harusnya nanya, kakak gapapa?" Karena khawatir Rea tidak sadar jika gaya bicaranya telah berubah.

Bevan tersenyum, ia senang Rea mengkhawatirkannya. "Gue gapapa Re."

Rea membalikkan tubuh Bevan, ia menyentuh punggung Bevan. Cowok itu meringis pelan, jelas sekali jika dia kesakitan. Rea yakin jika punggung Bevan pasti memerah.

"Kita ke UKS." Rea menarik pelan tangan Bevan.

Bevan melihat tangannya yang di genggam oleh Rea, tanpa sadar cowok itu tersenyum. "Khawatir ya?"

"Nggak lah, aku nggak khawatir!" elak Rea.

"Lo masih sayang sama gue?" Bevan tersenyum lebar.

"Apa sih, nggak jelas!" Rea memalingkan wajahnya.

"Sadar nggak, lo daritadi ngomongnya pakek aku-kamu ... Gue suka lo yang kayak gini, gue rindu lo yang dulu Re." Ucapan Bevan membuat tubuh Rea membeku.

***

Bevan dan Rea kini sudah berada di UKS, cowok itu melepas seragamnya hingga menyisakan kaos hitam polos yang melekat di tubuhnya. Rea agak sedikit menaikkan baju Bevan agar bisa mengobati punggung Bevan.

"Makannya lain kali lo nggak usah sok pahlawan." Rea kembali berbicara menggunakan lo-gue.

Bevan meringis pelan saat Rea menekan lukanya. "Ya terus gue harus apa? Diem aja ngelihat lo dalam bahaya?"

"Harusnya lo emang nggak peduli kan? Dari dulu kan lo emang nggak peduli sama gue." Rea menurunkan baju Bevan setelah selesai mengoleskan salep pada punggung Bevan yang memar.

Bevan membalikkan tubuhnya agar bisa menghadap Rea. "Itu dulu, sekarang beda. Gue pengen ngelindungin lo, maaf kalau dulu gue udah nyakitin lo."

Rea memalingkan wajahnya. "Nggak perlu, gue nggak butuh di lindungin sama lo!"

Bevan tersenyum dan menggenggam lembut tangan Rea. "Tampar gue Re, gue pantes dapetin itu karena gue udah nyakitin lo."

Rea mengangkat tangannya kanannya yang tidak di genggam oleh Bevan, ia hendak menampar Bevan. Cowok itu memejamkan matanya, ia sudah siap jika Rea akan menamparnya.

Selang beberapa detik Bevan tidak merasakan apapun, cowok itu membuka matanya dan melihat mata Rea yang kini berkaca-kaca. Rea tiba-tiba memeluk Bevan dan terisak pelan.

"Aku takut kak, aku takut kakak nyakitin aku lagi ... hiks." Rea ingin memaafkan Bevan, tapi ia tidak seberani itu.

Bevan mengelus rambut belakang Rea. "Gue nggak akan nyakitin lo lagi Re, gue udah nyesel karena pernah nyakitin lo."

"Kakak tahu? Aku dulu ngerasa bego, aku tetep aja bertahan walaupun kakak udah berkali-kali nyakitin aku. Aku emang bodoh kak," ucap Rea.

"Gue yang bodoh, gue nyia-nyiain lo yang jelas-jelas tulus banget cinta sama gue," balas Bevan.

Rea melepas pelukannya. "Aku udah maafin kakak."

Bevan tersenyum dan mengusap pelan air mata Rea. "Makasih, gue janji nggak bakal ngecewain lo lagi."

Rea menatap lekat Bevan. "Apa kakak udah lupain kak Tania?"

Bevan terdiam, bibirnya terasa kelu untuk berbicara. Bevan sudah berusaha untuk mengikhlaskan Tania, tapi dia tidak bisa melupakannya karena Tania adalah cinta pertamanya.

"Re ...." Bevan tidak tahu harus berkata apa.

"Nggak usah di jawab, aku tahu kakak masih cinta sama dia." Rea tersenyum miris, lagi-lagi hatinya di buat hancur oleh Bevan.

"Iya, gue emang masih cinta sama dia." Ucapan Bevan membuat air mata Rea kembali terjatuh.

"Maaf ya kak, kalau kehadiran aku udah ngehancurin hubungan kakak sama kak Tania." Rea berdiri dan hendak pergi.

Bevan berdiri dan menarik tangan Rea membuat Rea memeluknya. "Tania masa lalu gue, lo masa depan gue. Gue akan berusaha buat lupain dia."

Rea tidak mau berharap lagi. "Kalau kakak nggak berhasil lupain dia?"

Bevan mengurai pelukannya dan memegang pipi Rea. "Bantu gue buat lupain dia, lo mau?"

Rea mengangguk ragu. "Iya."

Bevan tersenyum dan menghapus jejak air mata Rea. Cowok itu mencium kening Rea cukup lama membuat jantung Rea berdebar. Bevan tersenyum manis, senyum yang terlihat begitu menghangatkan.

"Gue akan nerima lo jadi istri gue, kita mulai semua dari awal ya." Bevan mengelus puncak kepala Rea.

Bersambung...

Serpihan LukaWhere stories live. Discover now