•13•

46.2K 2.9K 109
                                    

Lagi-lagi Rea hanya bisa duduk di taman yang ada di belakang rumah. Gadis itu memejamkan matanya, tidak hanya batinnya, fisiknya pun juga ikut terluka. Rea sendirian, hanya ada sepi yang menemaninya.

'Kepala aku sakit banget.' Rea memegangi kepalanya.

Renald yang baru saja datang langsung meletakkan kasar tasnya di atas rerumputan kemudian menghampiri Rea. "Rea, lo kenapa?"

Rea berusaha untuk tersenyum. "Aku gapapa Ren."

"Boong! Penampilan lo aja kayak gini. Siapa yang udah nyakitin lo, Bang Bevan?" Renald menatap Rea yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Serius, aku gapapa." Rea mengusap air matanya.

"Gue tahu lo kenapa-napa, bukannya dari awal lo emang nggak baik-baik aja?" tanya Renald.

Pertanyaan Renald membuat Rea bungkam, yang di katakan Renald memang benar adanya.

'Lo kenapa lagi sih Re?' pantas saja tadi perasaan Renald tidak enak.

Renald menarik Rea ke dalam pelukannya agar gadis itu tenang. Rea menyandarkan kepalanya pada bahu Renald, kepalanya terasa sangat pusing. Renald mengelus rambut belakang Rea.

Kedua mata Renald membulat tak percaya kala melihat darah di telapak tangannya. Renald mencoba untuk memastikan apakah kepala Rea benar berdarah atau tidak, dan ternyata memang benar.

"Rea, kepala lo berdarah." Renald mendorong pelan bahu Rea.

Rea memegangi belakang kepalanya. 'Ini pasti gara-gara kebentur tembok tadi.'

"Siapa yang udah bikin lo kayak gitu? Bang Bevan? Gue bakal kasih dia pelajaran." Renald berdiri dengan perasaan marah.

"Renald udah, aku gapapa." Rea mengenggam tangan Renald.

***

Dengan langkah cepat Renald berjalan ke arah kamar Bevan, Rea berusaha untuk mengikuti Renald. Renald membuka pintu kamar dengan kasar, cowok itu menarik baju Bevan membuat Bevan yang tadinya duduk di atas kasur langsung berdiri.

"Lo apain Rea hah?!" Wajah Renald terlihat marah.

Bevan tersenyum miring. "Ngadu apa apa aja dia sama lo? lo marah ke gue cuma gara-gara belain cewek nggak guna itu?"

Renald memukul rahang Bevan. "Keterlaluan lo bang!"

"Maksud lo apa hah?!" Bevan membalas memukul Renald.

"Gue nggak terima lo terus-terusan nyakitin Rea. Rea salah apa sih sama lo?" Renald benar-benar tak habis pikir.

"Lo tanya ke gue salah dia apa?" Bevan menunjuk Rea. "Salah dia banyak, dia udah hancurin hidup gue. Emang dasar cewek nggak guna, dia itu cuma beban---"

"Udah cukup Bang! Nggak usah jelek-jelekin Rea lagi." Renald kembali memukul Bevan.

"Renald udah." Rea terisak pelan dan memegang tangan Renald.

Renald dan Bevan terus berkelahi, mereka saling memukul satu sama lain. Kakak beradik itu tidak ada yang mau mengalah, mereka terus bertengkar seakan-akan mereka berdua adalah musuh.

Renald tidak terima Bevan menyakiti Rea, sementara Bevan tidak terima Renald lebih membela gadis tidak berguna itu. Rea memegangi kepalanya yang terasa pusing, walaupun begitu Rea berusaha untuk memisahkan Renald dan Bevan.

"Renald udah jangan berantem." Rea berdiri di tengah-tengah.

"Minggir lo cewek nggak guna!" sentak Bevan.

"Keterlaluan lo Bang!" Renald memukul Bevan, tapi yang terkena pukulan justru malah Rea.

"Cih, drama lagi." Bevan menatap sinis Rea yang sudah tergeletak di lantai.

"Re, sorry gue nggak sengaja." Renald berjongkok di depan Rea.

"Iya, aku gapapa." Selang beberapa detik Rea pingsan.

Renald menepuk pelan pipi Rea. "Rea bangun, bang bantuin gue bawa Rea ke rumah sakit."

Bevan duduk di atas kasur. "Biarin aja, gue seneng kalau dia mati."

"Nggak punya hati lo Bang!" Nafas Renald memburu.

***

Bevan dan Renald kini menunggu di depan ruang rawat Rea, di dalam sana Rea sedang di periksa oleh dokter. Renald tampak cemas, tentu saja ia khawatir dengan keadaan Rea. Berbeda dengan Bevan, cowok itu tampak santai.

"Sepeduli itu lo sama dia? Santai aja kalik." Bevan menatap malas Renald yang terus mondar-mandir.

Renald berhenti di depan Bevan. "Asal lo tahu bang, kepala Rea tadi berdarah."

"Ya terus kenapa?" Raut wajah Bevan terlihat santai.

"Pasti lo kan yang udah bikin kepala Rea berdarah," tuduh Renald.

Bevan tersenyum manis. "Iya, gue yang bikin kayak gitu. Gue seneng banget kalau dia beneran mati."

"Terserah." Renald mengepalkan tangannya berusaha untuk mengontrol emosinya.

Bersambung...

Greget nggak sama Bevan?

Bayangin, andai sifat Renald sebelas duabelas sama Bevan.

Udah ketagihan belom sama ceritanya, mau baca lagi?

Serpihan LukaWhere stories live. Discover now