•31•

48K 2.8K 115
                                    

Saat Bevan keluar dari kamar ia tidak sengaja melihat Rea yang hendak melewatinya. Bevan dan Rea sama-sama sudah siap dengan seragam sekolahnya.

"Mau ke bawah ya?" Bevan berdiri di ambang pintu.

Rea menghentikan langkahnya. "Iya lah, mau kemana lagi."

"Ya udah bareng." Bevan tersenyum, kali ini cowok itu terlihat berbeda dan tidak seperti kemarin.

Rea menatap heran Bevan, ia berusaha untuk acuh dan tidak mau ambil pusing. "Hem."

"Ya udah lo jalan duluan, lo pasti nggak sudi kan jalan di samping gue." Bevan masih tersenyum, senyuman yang entah kenapa membuat hati Rea terluka.

Rea memalingkan wajahnya. "Bagus kalau lo sadar diri."

Bevan tertawa. "Iyalah tiap hari lo sadarin."

Rea menatap Bevan yang tertawa, tapi entah mengapa hal itu membuat hati Rea terganggu. Cowok itu terlihat sedang sakit hati, tapi dia berusaha untuk biasa saja.

Rea menghela nafas panjang kemudian mulai melangkahkan kakinya. Bevan berjalan di belakang Rea, karena tidak fokus Rea hampir saja oleng dan terpeleset saat menuruni anak tangga.

"Hati-hati." Bevan mendekap Rea membuat Rea tidak jadi terjatuh.

Jantung Rea berdebar kala kepalanya menempel di dada Bevan.
"Lepasin ..."

"Lo gapapa?" Bevan memegang kedua bahu Rea.

"Iya gapapa." Rea mendadak merasa gugup.

"Ya udah ayo turun." Bevan mengenggam lembut tangan Rea. "Gapapa lo benci gue, tapi biarin gue berbuat baik sama lo."

Kali ini Rea menurut dan menuruni tangga secara perlahan. "Iya."

"Lain kali hati-hati ya," ucap Bevan.

Rea menggigit bibir bawahannya. "Makasih kak, makasih udah nolongin."

Bevan mengangguk pelan dan tersenyum, senyuman yang terlihat begitu menghangatkan. Rea menatap ke arah lain, matanya kini mulai berair. Andai saja dari dulu Bevan baik kepadanya.

Bevan melepas genggamannya kala sudah sampai di ruang makan. Bevan duduk di depan Bagus, sementara Rea duduk di depan Bila yang posisinya juga dekat dengan Renald.

"Pagi kakak ipar." Seperti biasa, Renald selalu ramah.

"Pagi Ren." Rea mulai menuangkan nasi goreng ke piringnya.

"Pagi Bang." Renald berganti menatap Bevan.

"Iya." Bevan tersenyum tipis.

"Gini dong, kan enak lihatnya kalau nggak ada huru-hara," ujar Bagus.

"Huru-hara apa? Papa pikir gunung meletus," ucap Bila.

"Papa mah ngelawak mulu, ternyata selera Mama itu yang humoris ya." Renald menatap Bila.

"Papa kamu mah dulunya bandel Ren, nggak humoris," sangkal Bila.

Rea tersenyum. "Tapi Mama cinta kan sama Papa?"

"Ya lumayan lah," ucap Bila.

"Mama itu cinta banget sama Papa, dia sekarang lagi malu-malu meong makannya nggak mau ngaku," balas Bagus membuat Renald tertawa.

***

Bevan berdiri di depan Rea yang kini sedang mengikat tali sepatunya. Rea duduk di salah satu kursi kayu dan tetap fokus mengikat tali sepatunya. Dia berusaha untuk tidak mempedulikan Bevan.

"Re ..." panggil Bevan.

Rea mendongak setelah mengikat tali sepatunya. "Apa?"

Bevan tersenyum. "Gue sebenernya mau ngajakin lo berangkat bareng. Tapi lo pasti nggak sudi kan berangkat bareng gue."

Rea hanya diam menatap Bevan, ia membiarkan cowok itu berbicara.

"Gapapa, lo berangkat aja sama Renald. Lo kelihatan lebih nyaman di deket dia, hati-hati ya." Bevan mengelus pelan rambut Rea.

"Bang ..." Padahal tadi Renald mau membujuk Rea agar mau ke sekolah bersama dengan Bevan.

Bevan mendekati Renald dan menepuk pelan bahu Renald. "Jagain dia, hati-hati bawa motornya."

Bevan melangkah pergi, saat berada di tengah-tengah halaman rumah Renald menarik tangan Bevan. Bevan berhenti dan sedikit berbalik badan agar bisa menghadap Renald.

"Bang lo kenapa?" Renald merasa heran dengan sikap Bevan yang tidak seperti kemarin.

Bevan tertawa pelan. "Lah emang gue kenapa?"

"Lo aneh Bang, kenapa lo nggak godain Rea kayak kemaren?" tanya Renald.

"Buat apa? Dia nggak nyaman, gue justeru malah bikin dia risih," balas Bevan.

Renald menatap lekat Bevan. "Lo sadar nggak hal-hal kecil yang lo lakuin ke Rea itu ngebuat dia baper, dia nggak risih Bang."

Bevan memalingkan wajahnya. "Dia udah nggak cinta lagi sama gue Ren. Dia kelihatan nyaman sama lo, mungkin lo bisa bahagiain dia."

Renald mencengkram pelan kerah Bevan. "Segini doang perjuangan lo? Lo nggak inget perjuangan Rea? Dia tetep bertahan walaupun berkali-kali lo sakitin. Perjuangin Bang, Rea lebih kecewa kalau lo nyerah kayak gini."

Bersambung...

Serpihan LukaWhere stories live. Discover now