•37•

41K 2.2K 57
                                    

Saat istirahat tiba Rea pergi ke kantin bersama dengan Renald dan Bevan. Semenjak Rea dan Bevan baikan, Renald selalu saja menjadi obat nyamuk jika berada di antara mereka.

"Panas nggak baksonya, mau aku tiupin?" Semakin lama Bevan semakin perhatian kepada Rea.

Rea menggeleng pelan. "Nggak perlu kak, aku bisa sendiri."

"Loh, sini aku tiupin gapapa. Biar kamu nggak kepanasan," ucap Bevan.

Renald berdecak pelan. "Berisik! Lama-lama lo Bang yang gue tiup ke rawa-rawa."

Bevan tertawa geli. "Dih sewot, gue cuma ngasih perhatian ke kakak ipar lo."

"Kamu kenapa Ren? Cilok kamu panas? Mau aku tiupin?" tawar Rea.

"Kupingnya Renald Re yang panas bukan ciloknya," celetuk Bevan di sertai tawa.

Renald mendengus pelan kemudian kembali memakan ciloknya. Selang beberapa detik seorang gadis datang sambil membawa kotak bekal, dia adalah Nara. Nara adalah teman sekelas Renald dan Rea.

"Eh Nara," ucap Rea.

"Hai Rea." Nara melambaikan tangannya yang di balas senyuman oleh Rea.

"Kenapa Ra?" Renald menatap Nara.

"Nara buatin bekal buat Renald." Nara menyerahkan sebuah kotak bekal kepada Renald.

Renald tersenyum. "Serius? Buat gue? Ah jadi enak."

"Dih, kagak tahu malu lo," cibir Bevan.

"Sirik ae lo Bang," balas Renald.

"Nara gabung aja sama kita," ajak Rea.

"Sini Ra, duduk di samping gue." Renald menarik pelan tangan Nara.

Nara kini duduk di samping Renald, bahkan kini lengan Nara dan lengan Renald terlihat menempel. Nara tampak malu-malu, gadis itu tampak gugup karena jaraknya dengan jarak Renald yang cukup dekat.

"Lo suka sama Renald?" Bevan menatap Nara.

Nara menggigit bibir bawahnya. "Iya."

"Jangan, jangan suka dia. Renald orangnya jorok, suka ileran, kalau makan banyak---"

"Kak, jangan gitu." Rea mencubit lengan Bevan.

Bevan meringis pelan. "Cuma jujur Re."

"Jangan percaya Bang Bevan Ra, biasalah orang dengki." Renald menatap sinis Bevan.

"Nara suka Renald apa adanya kok, nggak peduli walaupun Renald jorok, ileran, Nara tetep suka sama Renald." Tatapan Nara terlihat polos.

Kedua pipi Renald memerah. "Ah serius? Jadi malu gue."

"Udah Ren, nggak usah masang wajah kayak gitu. Jijik gue lihatnya." Bevan melempar kerupuk pada Renald membuat Renald langsung melotot tidak terima.

***

Sore ini Rea duduk di atas kasur dengan tatapan kosong. Ia baru saja menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Rea tidak tahu apa yang akan terjadi di bulan selanjutnya.

"Diem aja." Bevan naik ke atas kasur dan menarik pelan pipi kanan Rea.

Rea menoleh. "Kak, aku jadi homeschooling?"

Bevan terdiam sejenak. "Kenapa? Kamu nggak mau?"

Rea menggeleng lesu. "Mau, cuma sedih aja nggak bisa sekolah lagi, nggak bisa ke kantin, nggak bisa piket kelas."

"Maaf ya." Bevan menyentuh pipi Rea, lagi-lagi dirinya merasa bersalah.

Rea tersenyum. "Gapapa kak, homeschooling juga enak. Bisa lebih banyak ngehabisin waktu di rumah."

"Lagi pura-pura bahagia, hem?" Bevan mengelus rambut Rea.

"Kita bahas yang lain aja," ujar Rea.

Melihat raut wajah bahagia Rea membuat Bevan mengangguk dan tersenyum tipis. Bevan tahu ini semua adalah salahnya. Namun semuanya sudah terjadi.

Telah tumbuh janin di perut Rea, Bevan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa Bevan lakukan saat ini adalah menjaga istri dan juga calon anaknya.

"Ya udah mau bahas apa?" Bevan menatap lembut Rea.

Rea tampak berpikir. "Kakak mau anak cowok atau cewek?"

"Sedikasih nya aja sama Tuhan, cowok atau cewek aku bahagia asal kamu juga bahagia." Bevan mengenggam tangan Rea.

Rea tersenyum. "Ya udah aku juga sama, sedikasih nya aja."

"Dih, ikut-ikut." Bevan menarik kedua pipi Rea.

Rea melotot dan mengusap pelan pipinya. "Jangan di tarik, entar pipi aku tembem."

"Sengaja, biar makin tembem. Habis gemes soalnya, cium boleh nggak sih?" Bevan memainkan pipi Rea.

"Modus aja terus!" Rea mengusap kasar wajah Bevan membuat cowok itu tertawa.

Bersambung...

Serpihan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang