•09•

43.3K 2.9K 183
                                    

Pagi ini Rea berencana pergi ke sekolah bersama dengan Renald. Rea tidak peduli dengan Bevan, lagipula percuma saja dirinya berangkat ke sekolah bersama Bevan. Ujung-ujungnya ia akan di turunkan di pinggir jalan.

"Bang, hari ini Rea berangkat bareng gue ya." Renald baru saja mengikat tali sepatunya.

Bevan menoleh. "Nggak, dia berangkat bareng gue."

Rea mencengkeram tali tasnya. "Aku mau berangkat bareng Renald kak."

"Boleh ya Bang, hari ini aja." Renald bangkit dari duduknya.

"Gue bilang nggak ya nggak. Ayo kita berangkat." Bevan menarik tangan Rea.

"Kak lepasin, aku mau ke sekolah bareng Renald." Rea berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Bevan.

"Yang suami lo itu gue atau Renald?" Sorot mata Bevan terlihat tajam.

Rea menunduk, lagi-lagi Bevan bersikap semena-mena pada dirinya. Rea bingung, untuk apa Bevan bersikeras mengajaknya berangkat bersama jika pada akhirnya dirinya akan di turunkan di pinggir jalan.

"Maaf Renald, aku ke sekolahnya bareng kak Bevan aja." Rea menatap Renald tidak enak.

Renald tersenyum. "Gapapa kok Re, jagain ya Bang Rea nya."

"Hem." Bevan bergumam malas.

***

Saat berada di mobil Rea hanya diam dan menatap ke arah jendela. Gadis itu benar-benar sudah tak habis pikir lagi dengan Bevan. Sebenarnya Rea sudah lelah di turunkan di pinggir jalan, daripada seperti itu Rea lebih memilih naik angkot daripada ke sekolah bersama dengan Bevan.

"Ngapain lo diem aja? Sedih ya nggak bisa bareng gebetan lo?" Bevan melirik sinis Rea.

Rea menoleh. "Harus berapa kali sih aku bilang ke kakak. Aku sama Renald cuma temen."

"Walaupun lebih dari temen juga gue nggak peduli," ucap Bevan.

Rea menatap lurus ke depan. "Terserah kakak."

Bevan berdecak pelan. "Udah nggak usah sedih, besok-besok lo boleh ke sekolah sama Renald. Lo bahkan boleh sekamar sama dia kalau lo mau."

"Kak! Kalau ngomong nggak usah sembarangan bisa kan? Aku bukan cewek kayak gitu!" Sorot Rea terlihat penuh luka.

Bevan tertawa mengejek. "Dih marah."

"Turunin aku kak," pinta Rea.

"Nggak, lo berangkat bareng gue sampek di sekolah," balas Bevan.

***

Yang di maksud berangkat bersama oleh Bevan bukan hanya dirinya dan Rea. Tentu saja Tania ikut serta, Tania adalah prioritas Bevan. Dan sekarang Rea duduk di belakang, sementara Bevan dan Tania duduk di depan.

"Cantik banget sih." Bevan mengelus rambut Tania.

Tania tersenyum. "Makasih."

"Kita berangkat sekarang ya." Ucapan Bevan langsung di angguki oleh Tania.

Tania menghadap ke belakang dan menatap Rea. "Dia siapa?"

"Anak pembantu," ucap Bevan.

Tania mengamati wajah Rea. "Kamu yang nggak sengaja nabrak aku kemaren kan? Oh iya nama kamu siapa?"

"Rea kak," balas Rea seadanya.

Tania tersenyum ramah. "Aku Tania, ibu kamu kerja di rumahnya Bevan ya?"

Rea tersenyum miris, ternyata dirinya hanya di anggap anak pembantu oleh Bevan. Serendah itukah dirinya? Rea benar-benar tak percaya, bahkan ibunya pun sekarang di bawa-bawa. Ingin rasanya Rea mengatakan jika dirinya adalah istri Bevan.

"Ibu aku nggak kerja di rumahnya kak Bevan. Aku sebenernya---"

"Diem lo! Nggak usah banyak omong, lo tuh cuma anak pembantu!" potong Bevan.

"Bevan jangan gitu," tegur Tania.

"Biarin aja." Nada suara Bevan terdengar lembut.

"Kak turunin aku," pinta Rea.

Bevan menepikan mobilnya, ternyata cowok itu benar-benar berniat menurunkannya. Jika tahu akan seperti ini Rea sudah turun dari tadi, hati Rea benar-benar sakit kala mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Bevan.

"Makasih tumpangannya tuan Bevan." Rea menutup kasar pintu mobil.

Rea menghapus air matanya kala mobil Bevan melewatinya begitu saja. "Aku udah lelah kak, sekarang terserah kakak maunya apa."

Bersambung...

kalau udah kayak gini harus tetap bertahan atau melepaskan?

Serpihan LukaWhere stories live. Discover now