•29•

46.6K 2.6K 84
                                    

Saat perjalanan pulang, tiba-tiba turun rintik hujan. Bevan dan Rea memutuskan untuk meneduh di luar sebuah toko yang sudah tutup. Langit mulai menghitam, hujan pun turun semakin deras.

"Dingin nggak?" tanya Bevan.

"Nggak!" balas Rea jutek.

Bevan tersenyum geli, ia melepas jaketnya dan menyampirkan jaket itu ke tubuh Rea. "Gue tahu lo kedinginan, gini-gini gue cowok peka tahu."

Rea berusaha untuk tidak tertawa. "Apa sih, pede banget jadi orang."

Bevan menatap Rea, ia tahu Rea sedang menahan tawanya. "Ketawa aja, nggak usah di tahan. Entar kentut loh, udah ketawa aja."

"Garing, siapa juga yang mau ketawa." Kali ini Rea tidak bisa menahan senyumnya.

"Tuh kan senyum, seneng banget gue bisa bikin lo senyum." Bevan menunjuk wajah Rea.

Detik itu juga senyum Rea luntur, entah sejak kapan Bevan berubah menjadi menyebalkan. Rea menatap langit yang terlihat gelap, ia tidak tahu kapan hujan itu akan berhenti.

Bevan dan Rea terjebak berdua dan tidak bisa pulang karena hujan, apa Tuhan begitu ingin Rea dan Bevan menghabiskan waktu bersama untuk lebih lama lagi.

"Aaaaa!" Rea berteriak ketika suara guntur menggelegar.

"Nggak usah takut, ada gue." Bevan perlahan mengenggam tangan Rea.

"Lepasin!" Rea berusaha untuk menarik tangannya, ia tidak mau terlalu jauh terjebak dalam perasaannya.

Bevan menggeleng pelan. "Nggak bakal."

"Lepasin kak!" ketus Rea.

"Bilang dulu ... Lepasin sayang, entar baru gue lepasin." Bevan tersenyum geli.

"Nggak sudi!" Rea memalingkan wajahnya.

"Ayo dong bilang ... Lepasin beb, entar gue lepasin." Jujur saja Bevan merasa geli berbicara seperti itu.

"Udah diem, geli tahu," kesal Rea.

Bevan tertawa tanpa suara, demi apapun wajah Rea terlihat menggemaskan. Lima menit berlalu, Bevan bisa merasakan tangan Rea yang dingin.

Bevan menatap Rea yang tampak kedinginan, ia perlahan melepas genggamannya. Bevan memeluk Rea dari belakang, berusaha untuk memberikan rasa hangat dan juga nyaman.

"Biarin kayak gini," ucap Bevan.

Jantung Rea berdebar, ia berusaha untuk memberontak. "Lepasin, jangan kurang ajar ya kak."

"Gue tahu lo kedinginan, lo boleh pukul gue kalau udah sampek di rumah. Sekarang yang paling terpenting itu lo, biar lo nggak kedinginan." Nada suara Bevan terdengar tulus.

"Terserah." Rea akhirnya hanya bisa pasrah.

"Jangan tertekan gitu dong mukanya, harusnya seneng kan di peluk sama cowok ganteng." Bevan menaruh dagunya di atas bahu Rea.

"Seneng apaan, yang ada sengsara!" ketus Rea membuat Bevan tertawa.

"Btw, dede bayi udah seneng belom habis makan bakso?" Bevan mengelus perut rata Rea.

Detik itu juga darah Rea berdesir saat Bevan menyentuh perutnya. "Nggak usah pegang-pegang."

Bevan menurunkan tangannya, ia tak lagi menyandarkan kepalanya pada bahu Rea. Pelukan Bevan sangat erat, cowok itu memejamkan matanya. Gara-gara dirinya, Rea harus hamil di usia muda.

"Sorry Re, gara-gara gue lo harus terjebak dalam situasi ini. Maaf udah ngrusak masa depan lo," sesal Bevan.

***

Bevan dan Rea memasuki rumah dengan baju yang agak basah. Baju Rea tidak terlalu basah karena tadi ia menggunakan jaket Bevan untuk melindungi kepalanya.

Tadi setelah hujan agak sedikit reda dan berubah menjadi gerimis mereka berdua memutuskan untuk pulang. Kedua orang itu tampak bahagia seakan telah melupakan masalahnya.

"Kakak basah semua, kayak kambing habis nyemplung got." Rea tertawa pelan.

Bevan melotot, walaupun tidak bisa di pungkiri bibirnya juga ikut tersenyum. "Lo malah basah setengah doang kayak habis di siram air comberan."

Rea mendelik tidak terima. "Kak---"

"Kalian udah pulang? Kenapa hujan-hujanan?" Renald baru saja datang.

"Dia yang minta." Bevan menunjuk Rea.

"Mandi sana gih Re, entar lo sakit." Renald menatap Rea.

"Iya." Rea mengangguk dan melenggang pergi.

"Gimana bang sukses? Semoga lo cepet di maafin Rea ya," ucap Renald.

"Thanks ... Lo baik banget Ren." Bevan merentangkan tangannya. "Peluk dulu dong."

"Ogah baju lo basah!" sewot Renald membuat Bevan tertawa.

Bersambung...

Serpihan LukaWhere stories live. Discover now