[20.] Broken heart.

45 2 0
                                    

-ᝰ⸙-

Vanya pergi ke tempat yang sering dikunjungi banyak orang. Tempat yang di tumbuhi banyak bunga yang cantik dan harum wanginya. Taman. Adalah satu-satunya tempat yang bisa Vanya kunjungi saat ini.

Hatinya sakit ketika melihat Silvia yang terlihat lebih dekat dengan Rafael, Silvia mendekati Rafael dengan nyamannya seakan sudah lama mengenalnya. Ya memang sih, Silvia itu sudah lama mengenal sosok Rafael daripada Vanya, tapi dekatnya Silvia dan Vanya ke Rafael itu berbeda.

Kalau Vanya kan dekat karena dirinya dan Rafael menjadi teman curhat semenjak hari dimana Rafael mencurahkan isi hati dan setengah dari masalah hidupnya kepada Vanya. Sedangkan Silvia 'kan hanya 'sok dekat'. Rafael tidak pernah ingin didekati oleh Silvia, tapi Silvia-nya saja yang kecentilan. Maunya selalu nempel sama Rafael karena sudah lama menyimpan rasa cinta yang 'bertepuk sebelah tangan.

Vanya menangis terisak-isak karena disaat dirinya sadar bahwa ia ternyata mempunyai rasa cinta seperti yang Rafael rasakan, Silvia malah datang lagi dan mengacaukan semuanya. Silvia itu mengacaukan hari Vanya yang seharusnya menjadi hari yang paling indah.

"Padahal tadi gue niatnya mau traktir lo, bahkan lo udah nyatain perasaan lo ke gue. Tapi kenapa Silvia harus dateng, Sih? Dasar nenek lampir sialan!" Vanya misuh-misuh sendiri sambil menarik ingusnya yang ingin keluar dengan nada sedih campur emosi.

Vanya berusaha untuk melupakan nama Silvia untuk saat ini. Sebab dengan mengingat namanya itu hanya akan menambah beban pikiran dan kekesalannya saja.

"Lo nggak boleh nangis, Van."

Mendengar ada yang berbicara padanya, Vanya pun mendongakkan kepalanya ke atas lalu menatap pemilik suara itu. Benar saja, suara itu milik Vino. Sejak kapan cowok itu sampai di sini?

"Vino?" beo Vanya saat melihat Vino sudah berdiri di hadapannya sambil menyodorkan sapu tangan warna putih polos.

"Hapus air mata lo," ucap Vino lalu meraih tangan Vanya dan meletakkan sapu tangannya di telapak tangan Vanya.

Vanya menghapus air mata dan cairan yang keluar dari hidungnya. Memang agak kurang sopan santun, main hapus ingus pakai sapu tangan orang. Jorok namanya. Tetapi Vino tidak peduli akan hal itu, yang terpenting adalah Vanya berhenti menangis.

Tadi ia melihat Vanya keluar sekolah sambil menenteng ranselnya dari lantai tiga. Karena penasaran dengan Vanya yang sebelumnya tidak pernah bolos, Vino akhirnya mengikuti kemana Vanya pergi sampai ke sini. Ia juga membawa sebotol air mineral dan memberikannya kepada Vanya. Vanya menerima botol itu lalu meneguknya sampai habis setengah dari ukuran botol.

"Makasih, Vin. Nanti sapu tangan lo gue cuci," ujar Vanya lalu menggenggam sapu tangan milik Vino.

"Gak perlu. Buat lo aja nggak papa," titah Vino sambil menatap mata Vanya yang sembab.

Vino tahu penyebab Vanya menangis karena sebelum bergegas mengejar gadis itu, Vino terlebih dulu bertanya kepada murid-murid yang lewat habis dari perpustakaan.

Dan jujur, Vino kecewa terhadap Rafael. Sampai Vino berfikir kalau Rafael adalah cowok yang tidak bisa menjaga perasaan perempuan. Buktinya Vanya sampai menangis dibuat Rafael. Vino itu sudah menganggap Vanya seperi saudara perempuannya sendiri karena sering bersama waktu ada acara sekolah yang melibatkan OSIS.

Mereka berdua adalah ketua, dan wakil ketua OSIS, jadi wajar kalau mereka sering bersama. Kirana yang melihat itu tidak mempermasalahkan meski mempunyai perasaan yang lebih dari sekedar teman kepada Vino, itu karena Kirana tahu kalau dia dan Vino belum ada hubungan yang spesial. Jadi Kirana tidak bisa melarang Vino untuk dekat dengan siapapun. Toh, Vanya itu sahabatnya sendiri. Vanya tidak akan se-'jahat itu bukan?

RAVA : Rafael - Vanya ( SELESAI )Where stories live. Discover now