4. Perjanjian

46 33 19
                                    

BUDAYAKAN VOTE DAN KOMEN YA GENGS😘



PLAK!

Dengan beringas Ana menampar pipi seorang pria yang kini menatapnya kesal. Tidak hanya itu, gadis yang ada di sampingnya dan seseorang yang sekarang bernotaben sebagai pacarnya juga menatap dia tidak percaya.

"Lo apa-apaan sih Na?" tanya Mala setelah tersadar dari keterkejutannya.

"Gue baru inget kalo kemaren gue liat dia pelukan sama cewek lain!" jawab Ana tanpa berniat untuk menghilangkan tatapan tajamnya.

Mala menatap Senja dan Ana secara bergantian. Ada raut kekecewaan disana, terlebih kemarin dirinya habis di bully oleh seseorang yang mengaku sebagai pacar Senja. Dan sekarang, satu fakta itu kembali menohok dirinya.

"Sama siapa?" tanya Senja tak terima.

"Ya mana gue tau bambwang! Kan tu cewek sama lo!" dengus Ana geram, emosinya sudah terlalu naik untuk di pendam.

"Kemaren gue sama Egi, gak usah fitnah lo!" jawabnya ikut ngegas yang hanya dibalas anggukan oleh bestienya.

Mendengar hal itu Ana diam beberapa saat dan menghela nafas kasar, "Pokoknya di mimpi gue lo pelukan sama cewek lain!"

"Awas aja kalo lo berani nyelingkuhin Mala, jangan harap hidup lo bisa tenang!" ancamnya lalu kembali menyuapkan nasi goreng yang mulai mendingin.

Seakan baru mencerna apa yang gadis itu katakan, sontak Mala menjitak sahabatnya penuh perasaan. Bisa-bisanya siluman satu itu membuat perasaannya naik turun dengan cepat.

"Kalo mimpi kenapa lo bawa-bawa ke real life Maemunah?" gereget Mala.

"Heh Sukinem, justru ini adalah langkah pertama biar dia gak keterusan. Bisa jadi mimpi gue tu pertanda sesuatu, kan gue titisan Mama Loren." Ana menjawab dengan bangga.

"Kak Egi, lo yang sabar ya punya cewek kek dia. Gue aja nyesel kenapa ditakdirkan jadi bestie dia." Mala berucap sedih, apalagi saat dia melihat raut wajah datar yang diberikan kepadanya.

Srek.

"Gue mau latihan dulu," ucap Ana yang sudah bangkit dari duduknya.

"Latihan apa?" tanya Egi setelah hampir satu jam hanya menjadi patung berjalan.

"Break dance sama rumput yang bergoyang," jawabnya lalu langsung berlari sebelum kena amukan masal.

Seakan mengerti, Egi memutuskan untuk mengikuti langkah kekasihnya. Walaupun dia tidak tau apakah hubungannya bisa disebut sebagai kekasih, namun tidak ada salahnya berharap bukan? Toh waktu itu Ana hanya menjawab dengan kata "Jalanin aja dulu,".

"Mau sampe kapan lo pura-pura kuat?" ucap Egi membuat langkah Ana terhenti.

Bukannya menjawab, Ana justru menaikan sebelah alisnya.

"Rambut lo di warnain coklat gelap di dalem, dan menurut riset kalo cewek udah mainin rambutnya berati dia lagi gak baik-baik aja."

Suara hembusan nafas terdengar, walaupun sedatar triplek, namun pemilik mata teduh itu sangat jeli dalam urusan memperhatikan sesuatu.

"Ya menurut lo aja gimana," jawab Ana tak acuh.

"Terus mau sampe kapan lo jadi cewek gue?"

Pandangan mereka saling beradu, namun Ana memilih untuk memutuskan kontak lebih dulu.

"Sampe lo capek sama tingkah gue."

"Tapi sampe sekarang gue gak pernah capek," jawab Egi cepat, tentunya hal itu semakin membuat perasaan Ana semakin tidak karuan.

Kedua manusia itu berjalan beriringan menuju rooftop, sepertinya hubungan mereka membutuhkan kejelasan yang benar-benar jelas.

"Sama gue lo bakal sakit kak," ucap Ana sembari menatap lelaki itu dalam.

"Tapi gak sama lo gue yang sakit," balas Egi tak kalah dalam hingga Ana dibuat menggeleng tak percaya dengan jawaban yang dia dapatkan.

"Kalau pun hubungan ini cuma jadi tameng buat lo biar terhindar dari Senja, gue ikhlas." Lanjutnya lagi membuat Ana semakin tidak paham dengan jalan pikiran lelaki satu ini.

Dalam hati dia berteriak. Mengapa harus Elegi? Jika saja itu orang lain, mungkin dirinya tidak akan segan untuk membuat orang itu sebagai pelampiasan. Hanya saja untuk manusia satu ini dia tidak tega.

"Na dengerin gue," ucapan itu membuat Ana menghentikan lamunannya, "Sekali pun di hati lo masih ada Senja, tapi ijinkan gue untuk ada disisi lo. Seenggaknya sampe luka lo sembuh, karena gue tau ini gak akan mudah buat lo."

Entah mengapa sebulir air mata meluncur tanpa bisa dicegah, "Gue cuma gak mau nyakitin lo aja kak, karena kalo gitu nanti gue sama aja kek Senja."

Elegi merengkuh tubuh Ana tanpa ada sedikit pun penolakan. Hatinya begitu sakit saat melihat gadis yang selalu ingin dia jaga justru menangis karena temannya sendiri, terlebih takdir membuat semuanya terasa begitu rumit.

"Justru ngeliat lo nangis gue malah tambah sakit," lirih Egi yang tentunya dapat didengar jelas oleh Ana.

Cepat-cepat Ana menguraikan pelukan dan kembali menatap pemilik mata teduh, "Jadiin gue orang yang bisa buat lo bahagia, seenggaknya selama sebulan. Kalo ternyata gagal, gue yang akan pergi tanpa pamit."

Pernyataan itu tentu saja membuat jantung Egi berdebar dengan cepat. Bagaimana bisa gadis itu menawarkan penawaran seperti itu? Tentu saja dia akan selalu bahagia, bahkan untuk saat ini saja sebuah senyuman sudah tersungging di bibirnya.

Berbanding terbalik dengan Ana, kini di hatinya penuh dengan kebencian. Tentunya semua itu ditujukan untuk dirinya sendiri. Karena lihatlah, baru seperti ini saja lelaki itu sudah menunjukan senyuman tulusnya. Bagaimana jika dia pergi nanti? Apakah dirinya sanggup melihat kehancuran lelaki yang selama ini selalu setia menjadi teman keluh kesahnya?

Argh!

Hanya membayangkannya saja dia tidak sanggup, bagaimana jika semua itu benar terjadi?

"Lo gak usah mikir yang aneh-aneh." Ucap Egi menghentikan perang batin yang sedang terjadi, "Sekalipun nanti lo milih pergi, gue tetap akan bersyukur karena Tuhan mau berbaik hati buat lo dan gue bersatu."

"Meskipun gak ada nama gue sama sekali di hati lo," lanjutnya dalam hati.

Ana hanya mengangguk saja sebagai jawaban, susah payah dia tersenyum dan kembali menenggelamkan wajahnya di dada bidang lelaki berhati lapang ini.

"Jangan pernah benci gue kak," kata-kata Ana teredam dalam dekapan, setidaknya itulah cara dia untuk mengurangi rasa bersalah yang terus saja menjalar di dadanya.

"Makasih."

"Buat?" tanya Ana heran.

"Karena lo mau ngorbanin perasaan lo buat gue, dan yang harus lo inget adalah ini bukan salah lo. Soalnya gue yang minta hati lo duluan," balas Egi dengan senyuman paling manis yang mungkin baru dia tunjukan kepada orang lain.

Andai saja ada orang yang melihat kejadian ini, mungkin mereka akan meleyot dengan keuwuan dua insan yang memiliki sifat bertolak belakang. Namun siapa sangka jika keduanya harus menekan sakit saat mengucapkan kata bersama?

Lalu siapakah yang patut disalahkan? Elegi yang mau dijadikan pelampiasan? Atau justru Renjana yang dengan suka rela menerima penawaran itu?

Hanya saja mereka tidak menyadari, bahwa sedari tadi ada orang yang menyaksikan semuanya dalam diam.

°°°

Holla gaees, setelah berabad-abad author menghilang dari peradaban. Akhirnya muncul lagi nih dengan segala keterbatasan otak ini😐

Enjoy ya gaees, jan lupa vote dan komen juga😘

Lopyuuu💜

Niskala HatiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ