11. Curhat

31 23 6
                                    

BUDAYAKAN VOTE DAN KOMEN YA GENGS😘



Dengan tatapan penuh amarah, Elegi menuju ke sebuah rumah yang terbilang cukup sederhana. Mengingat cerita dari Ana membuat dirinya merasa insecure, apalagi saat dihadapkan dengan kenyataan bahwa ayahnya sangat gila materi. Dia tidak tau saja bagaimana kondisi Egi saat ini.

"Kamu kenapa nak?" suara lembut itu berhasil melunakan pandangan yang sedari tadi terus menatap tajam segala objek yang ada di sekitarnya.

Egi menyalami wanita paruh baya yang selama ini sangat dia sayangi lebih dari siapa pun, "Egi cuma lagi kesel aja ma," dengusnya.

Mengetahui kekesalan putranya, wanita paruh baya itu menuntun Egi untuk duduk bersamanya. Diusapnya lembut lengan anak itu dengan senyuman yang membuat hati Elegi menghangat, "Mau cerita?" tanyanya tanpa tuntutan sedikit pun.

Dengan senang hati Egi mengangguk, dari semua orang yang ada di dunia ini, hanya mamanya yang dia percaya. Tanpa ragu dia menceritakan semua kejadian yang dialami oleh dia dan Ana, bahkan dia juga menceritakan perlakuan dari ayah kekasihnya yang bisa dibilang sangat tidak patut itu.

"Yang bikin Egi bingung tuh kenapa semuanya harus diukur sama harta? Terus kenapa papa dia tega ngelakuin itu ke anaknya? Lemah banget ngehajar cewek," cibirnya di akhir kalimat.

Mendengar penuturan sang putra, wanita itu tersenyum. Dia tau apa yang sedang putranya rasakan, apalagi dia sangat tau bagaimana perjuangan putra dan suaminya untuk berada di titik ini. Jatuh bangun mereka melalui semuanya bersama, sampai akhirnya takdir berkata lain. Membuat keluarga yang semula utuh dan penuh kebahagiaan itu hanya tinggal kenangan.

"Anak mama udah besar," ujarnya sambil mengelus kepala Elegi, "Kamu tau apa yang bisa membuat mama dan papa bersatu?" tanyanya yang hanya dibalas dengan gelengan.

"Dulu kondisi ekonomi papa lebih baik daripada mama, tentu itu ngebuat keluarganya papa ingin menantu yang setara. Apalah daya mama yang saat itu hanya anak seorang petani, bisa sekolah sampai SMA saja alhamdulillah."

"Tapi kamu tau? Cinta papa terlalu besar, sampai-sampai dia rela meninggalkan keluarganya dan semua harta warisan. Dia begitu tulus mencintai mama sampai tidak peduli sama apa yang harus dia hadapi kedepannya," wanita itu berhenti sebentar, kembali menatap anaknya masih dengan senyuman yang sama.

"Kalau di pikir-pikir, perekonomian kamu jauh lebih baik daripada saat papa mencintai mama dulu. Bahkan saat kamu nggak mau menerima uang dari papa walau hanya sepeser, kamu bisa menghidupi dirimu sendiri. Menurut mama itu sudah lebih dari cukup. Sekarang tinggal bagaimana kamu untuk meluluhkan hati ayahnya Renjana dan membuat dia percaya bahwa kamu sanggup dan nggak kalah sama anak-anak di luar sana."

Egi mengangguk, pemaparan dari mamanya itu memang teramat sangat jelas. Tapi hal itu tidak membuat suasana hatinya membaik, "Kalo sebesar itu rasa cinta papa ke mama, kenapa papa tega ninggalin mama?" lirihnya tanpa berani menatap wanita yang sudah berjuang menghidupinya.

"Loh, kok jadi nyalahin papa? Kan mama yang pengen pisah?" tanyanya yang langsung dibalas dengan gelengan.

"Kalo papa nggak bawa wanita itu ke rumah, mungkin sekarang kita masih hidup bahagia bersama ma." Elegi sedikit meninggikan suara, mengingat kejadian itu membuatnya semakin membenci papanya.

Helaan nafas lelah terdengar, "Dari dulu mama nggak pernah ngelarang papa buat mendua,"

Pernyataan itu tentu saja membuat Egi membelalakan matanya, mana ada wanita yang dengan suka rela diduakan oleh pasangannya? Bahkan Aisyah saja cemburu waktu Rasul menyebut nama Khadijah yang sudah tiada.

"Dari jaman pacaran, mama selalu ngasih kebebasan buat papa. Mau dia main sama perempuan lain, mau dia nggak ngasih kabar, mama nggak pernah marah sedikit pun. Hanya saat kita sudah memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius, mama bilang kalau suatu saat nanti papa merasa bosan dan memilih mencintai wanita lain, mama akan mundur dengan suka rela."

"Toh papa nggak mau ngelepas mamakan? Dia tetap ingin mama tinggal bersamanya?"

Mata Mama Elegi menerawang, seulas senyum kembali terukir yang tentu saja membuat anaknya tidak habis pikir dengan malaikat di hadapannya ini.

"Meskipun sekarang mama nggak pernah ketemu papa, tapi mama yakin papa masih mencintai mama. Entah itu hanya 30 persen, tapi itu sudah cukup buat mama."

"Jadi... kamu jangan menghindar dari papamu ya? Sebagai orang tua, mama bisa tau gimana perasaan papa. Lagian orang tua mana yang nggak ngerasa sedih waktu nggak dianggap sama anaknya?"

Elegi tetap bergeming, tidak ingin menerima fakta yang merugikan mamanya. Biar bagaimanapun juga mendua tidak bisa dibenarkan, meskipun itu diperbolehkan oleh agama. Dia juga tidak yakin kalau papanya bisa berlaku adil untuk mamanya dan perempuan itu.

"Kamu tau kenapa selama ini bisnismu bisa lancar?" tanya mama, "Kalau kamu ingat-ingat lagi, semua ada campur tangan papamu. Mulai dari perizinan sampai promosi. Mana mungkin anak seumuran kamu bisa mendapat izin begitu mudah tanpa campur tangan orang tua? Dan mobilmu itu, itu bukan semata-mata hadiah dari bank atau apalah itu. Papa sengaja memberikannya sebagai kado ulang tahunmu ke tujuh belas."

Kalimat terakhir mamanya membuat emosi Elegi meningkat, "Jadi selama ini mama ngebantu papa buat ngasih ini itu ke Egi?" tanyanya geram.

Seakan mengerti dengan reaksi yang akan diberikan oleh anaknya, sang mama hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa ma?! Egi nggak sudi nerima semuanya! Nanti bakal Egi balikin semua biar papa nggak besar kepala!" dengusnya.

Dengan tenang mama mengangguk, "Kalau suatu saat nanti barang yang kamu kasih nggak diterima Renjana, jangan kecewa ya?"

Skakmat!

Elegi tidak dapat berkata-kata lagi, "Harusnya kamu bersyukur karena meskipun nggak satu atap tapi papa sangat menyayangimu. Gimana kalau kamu bertukar posisi sama Renjana? Dia selalu melihat kehadiran ayahnya, tapi dia selalu tersiksa bahkan dia nggak bisa mengungkapkan isi hatinya sendiri?"

"Gadis itu... walaupun sudah ditinggal sama ibunya dan kehilangan sosok ayah, tapi dia masih kuat menjalani kehidupan. Dia sakit, tapi dia nggak mendendam. Mama harap kamu bisa memahami maksud mama ya?"

Setelah mengucapkan itu, sang mama memilih untuk menuju kamarnya. Dia harap anaknya itu bisa menerima semua keputusan yang telah dia lakukan bersama suaminya, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini.

Disatu sisi Elegi masih terdiam, mencerna kalimat demi kalimat yang telah mamanya ucapkan. Kalau dipikir-pikir dirinya ini memang tidak pernah bersyukur, dia bahkan tidak ingat jika ada orang yang jauh lebih menderita daripada dirinya. Dan Ana...

Bahkan setelah dia disakiti oleh Senja, gadis itu masih bisa berdiri tegak walau dibalik semua itu ada tangis yang dia pendam. Dia tidak pernah membenci sahabatnya yang sudah memberikan jawaban egois padanya, dan dia mau mengalah untuk berusaha mencintai orang yang sama sekali tidak ada di hatinya.

Elegi mengusap wajahnya kasar, "Kenapa lo bisa sebaik itu Na?"

°°°

Dikarenakan sekarang member Niskala Hati lagi holiduy, jadi nggak akan ada dialog ala-ala yang tentunya sangat unfaedah yaak.

Kalau ada yang kangen sama mereka bisa komen, nanti author sampein😌

Niskala HatiWhere stories live. Discover now