9. Curiga

35 26 6
                                    

BUDAYAKAN VOTE DAN KOMEN YA GENGS😘



PLAK!!

Gadis yang sedari tadi menahan isak kini terduduk lesu dengan pipi yang memanas. Matanya ikut terpejam seakan merasakan setiap rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ingin rasanya berteriak, namun semua terasa percuma. Ruangan ini bagaikan ruang kedap suara, dan dia yakin tak ada satu pun orang yang mampu menyelamatkannya.

"Kenapa kamu putus sama Senja? Bukannya papa udah bilang buat pertahanin hubungan kalian?! Dasar bodoh!" maki pria paruh baya murka.

"Masa depan kamu sama dia bakal gemilang! Dia anak temen papa yang nantinya bakal jadi pewaris tunggal keluarga Mayananda, emangnya kamu nggak liat gimana hebatnya temen papa? Selain jadi CEO, dia juga punya banyak perusahaan sukses di luar negeri!"

Denyutan ngilu di hati Ana semakin terasa, entah apa yang sedang merasuki papanya itu. Yang jelas dia hanya mengetahui betapa bodohnya anak gadis itu untuk melepas seseorang yang sangat dia kagumi. Tetapi yang tidak pernah dia ketahui adalah rasa sakit yang selama ini anaknya derita.

"Apa cuma papa aja yang bisa nentuin hidup aku? Aku juga berhak pa," lirih Ana tanpa berani menatap ayah kandungnya sendiri.

Suara tawa begitu menggelegar, seakan menggema di indera pendengaran Ana.

"Apa yang kamu tau? Kamu mau usaha yang papa bangun mati-matian ini ancur cuma karena kebodohan kamu? Dasar anak nggak tau di untung!"

Merasa tidak sanggup lagi, Ana segera bangkit. Rasa sakit di tubuhnya ini ternyata tidak sebanding dengan apa yang hatinya rasakan. Semuanya tampak begitu abu-abu, apalagi jika berebagai macam pertanyaan melintas di pikirannya.

"Padahal baru kemaren hidup gue tentram," batinnya, sebelum Ana memutuskan untuk meninggalkan ruangan. Tanpa peduli dengan makian yang terus saja terlontar untuk dirinya.

BRAK!

Huft!

Ana merebahkan tubuhnya di atas ranjang, kilasan balik tentang kehidupannya berputar dengan cepat. Keluarga yang dulu selalu menjadi tempatnya berpulang, kini justru menjadi sesuatu yang ingin dia hindari. Semuanya berubah begitu saja saat ibunya memilih untuk berhenti berjuang. Entah Tuhan yang begitu sayang atau memang ibunya sudah lelah, namun mengapa semua rasa benci itu harus ditujukan pada dirinya?

"Kalo bokap tau alasan gue putus, apa dia masih marah sama gue? Jangan-jangan gue bakal diomelin lagi gara-gara ngggak bisa jaga si kunyuk satu itu, jadinya dia berpaling dari gue."

"Heran deh sama cowok, padahal di dunia ini ada prinsip wanita selalu benar. Tapi kok nggak berlaku ya buat gue? Perasaan gue mulu yang ngalah, nyebelin binggo!" omel Ana seakan melupakan memar yang ada di tubuhnya.

Masih dalam posisinya, sebuah notif membuat Ana terlonjak kaget. Dalam hati dia terus mengumpat kepada bestienya yang selalu serba dadakan itu.

"Kalo bukan temen udah gue mutilasi tu orang," umpatnya sembari berlari ke arah cermin, dilihatnya muka yang terdapat lebam di beberapa sudut. Belum lagi pipi sebelah kirinya yang memerah.

Dengan cekatan Ana mengambil seperangkat alat make up dan juga memoles wajahnya yang sudah tidak karuan itu. Untung saja dia sudah pro dengan semua ini, kalau tidak entah apa jadinya dunia perbestiean ini.

"Lo lagi ngapain?"

"ASTOGEH EMAK GUE KOID!"

Sebuah toyoran mendarat dengan mulus di kepala Ana. Tidak seperti wanita pada umumnya, bukannya mengaduh yang ada dia malah menggeplak seseorang yang sudah menerobos masuk tanpa ijin itu.

"Aww, lo tuh bisa nggak sih jadi anggun dikit. Aneh deh!" gerutu Mala sembari memegangi kepalanya.

"Lah itukan salah lo sendiri, kenapa coba tiba-tiba ada di sebelah gue? Kek setan aja," balasnya dengan wajah tanpa dosa sedikit pun.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Ana masih sibuk merapihkan meja riasnya.

Mala mendengus kesal saat mendapati pertanyaan seperti itu, apakah bestienya ini tidak mau dirinya datang? Huft, sungguh biadab sekali dia.

"Eh, lo kesini sama siapa?" tanyanya lagi yang hanya dibalas dengan cengiran.

Mampus!

Tanpa menghiraukan Mala, Ana langsung bergegas turun dan mendapati papanya sedang bersenda gurau dengan lelaki yang amat dia benci. Diam-diam tangannya sudah mengepal, namun ternyata kedua lelaki itu menyadari kehadirannya.

"Anak papa udah di sini. Sini nak," ucap pria paruh baya lembut.

Ingin sekali Ana berdecih saat ini juga, namun dia sangat sadar bahwa lelaki yang ada di hadapannya ini adalah ayahnya sendiri. Jadi dia harus bertingkah sedikit lebih sopan bukan?

"Pacar barunya Senja itu sahabat kamu ternyata."

Kalimat pembuka itu sungguh menyayat hatinya, dia berharap semoga papanya tidak mengucapkan hal-hal aneh. Apalagi sampai mengatakan hubungannya dengan Senja.

"Iya om, kayanya om udah deket banget ya sama pacar aku?" timpal Mala yang kini tengah bersalaman.

"Ya gimana nggak deket, orang dia sama Egi suka main ke rumah gue kok." Ana menyela ucapan papanya sembari memberikan tatapan penuh arti.

"Haha iya, mereka bertiga tuh emang sering kemana-mana bareng. Om aja nggak nyangka kalo Ana bisa jadi sama Egi."

"Senja sialan!" batin Ana berteriak, bisa-bisanya dia menceritakan hal itu kepada papanya. Kalau sudah beginikan nantinya dia akan semakin terikat dengan Egi. Apalagi lelaki itu merupakan salah satu pentolan sekolah dan juga sudah memiliki bisnis sendiri di usia dini.

"Ya udah, om tinggal dulu ya." Ucapnya membuat Ana dapat bernafas lega.

Mala merangkul lengan Senja manja, sedangkan Ana hanya dapat memutarkan kedua bola matanya malas. Mengapa juga duo bucin itu harus menjadikan rumahnya untuk bermesraan? Padahalkan masih banyak tempat bagus yang bisa dijadikan tongkrongan.

"Langsung ke intinya aja, kalian mau ngapain? Hari ini gue sibuk." Ana memasang wajah sedatar mungkin.

"Lo kenapa sih Na? Sekarang kok jadi nggak asik gini?" tanya Mala yang membuat Ana tersentak.

Apakah perubahannya seterlihat itu?

"Bukan gitu Mal, tapi besok kan ada tugas dari Pak Sableng. Belum lagi ulangan matematika, bisa mati di tempat gue kalo nggak belajar." Ana mencoba untuk menjelaskan dengan tenang.

Mala mengangguk lesu.

Walaupun jawaban Ana sangatlah masuk akal, tetapi bukan berati Mala akan mempercayai semuanya begitu saja. Karena apa? Ana merupakan salah satu anak pintar yang hanya membaca buku secara sekilas, jadi sangat tidak mungkin bukan jika dia harus bersusah payah untuk menghafal barisan angka itu?

"Next time aja yak, gue bener-bener nggak ngerti sama penjelasan kemaren, jadikan gue harus belajar sendiri demi kesejahteraan bersama." Ana kembali melakukan sandiwaranya.

Kalau sudah begini dengan berat hati Mala hanya bisa mengangguk dan menghela nafas pasrah. Sepertinya memang ada sesuatu yang tidak beres dari bestienya ini.

"Oke deh, gue pulang. Besok jangan pelit contekan!" ucap Mala setelah memeluk Ana singkat.

°°°

Mala : Si Ana kenapa ya jadi aneh gitu?

Senja : Nggak tau, lagi sariawan mungkin.

Renjana be like : Sariawan pala lo peang! Dasar cowok nggak berperasaan! Puas lo bikin gue sengsara,-

Author : Sabar, ini ujian.

Renjana : DIEM!

Karena author nggak mau kena amuk, jadi sekian untuk hari ini ya gengs💃

Niskala HatiWhere stories live. Discover now