19. Janji

9 5 0
                                    

BUDAYAKAN VOTE DAN KOMEN YA GENGS😘



Renjana bangun dengan mata sembab, kejadian kemarin malam sangat-sangat menohok hatinya. Semua itu tentu saja disebabkan oleh kekasih tercinta.

"Nggak sekolah?"

Kepala Renjana tertoleh ke arah ranjang, "Hmm, keknya gue kesiangan deh."

Elegi berdecak sebal, walaupun dia baru bangun dari tidur panjangnya. Tapi adik tirinya sudah menceritakan semua, salah satunya adalah gadisnya yang tidak sekolah selama seminggu hanya untuk menemani dirinya.

"Padahal hari ini si Senja sama Mala nggak akan mungkin ke sekolah," kata Elegi membuat ekspresi Renjana kembali murung.

Renjana bangkit dari sofa dan menuju kursi pinggir ranjang, dia menggenggam jemari Elegi dan mengecupnya sekilas.

"Gue males ketemu sama mereka Gi, apalagi bokap yang selalu nyalahin gue. Padahalkan..." Renjana menghela nafas, tak kuasa melanjutkan kata-kata yang membuat dadanya semakin sesak.

"Btw, lo nggakpapakan?" tanya Renjana merubah topik.

Elegi menaikan sebelah alisnya pertanda menanyakan maksud dari pertanyaan itu.

"Maksud gue, itu..."

"Kaki gue?" potong Egi membuat Ana mengangguk kikuk.

Suasana hening beberapa saat, meskipun Renjana menyesali topik yang dibawanya tadi, tapi dia benar-benar penasaran dengan perasaan kekasihnya. Karena menurutnya, menerima takdir bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagikan perjalanan hidupnya masih panjang.

"Nggak ada yang bisa tau gimana Tuhan ngerencanain takdir setiap umat, mau nyesel dan marah-marah nggak jelas juga menurut gue itu bukan solusi. Lagian ini murni kesalahan gue, ya anggep aja semua itu teguran dari Tuhan biar gue lebih bisa ngontrol emosi." Elegi menjawab dengan tenang, berbanding terbalik dengan Renjana yang mati-matian menahan air mata.

Sebersit pertanyaan melintas di kepala Renjana, "Mengapa lelakinya ini begitu tabah?"

"Lo nggak marah sama gue?" tanya Ana yang malah mengundang kekehan.

"Ngapain?"

"Yakan lo gini gara-gara dot," cicit Renjana dan semakin membuat Elegi terbahak.

"Lo mah ih, gue deg-degan ngomong gini malah diketawain!" ketus Renjana tapi tidak membuat tawa itu mereda.

Karena kesal, Ana beranjak dan berniat pergi. Hanya saja cekalan dari Elegi membuatnya urung dan kembali duduk.

"Makanya kalo gue ngomong tuh nurut, nggak ada gunanya jugakan beli dot?" tanya Elegi, susah payah dia menahan tawanya hingga membuat bibirnya berkedut.

"Yakan gue gabut tau, daripada nonton terus ujung-ujungnya mewek. Mending juga beli dot, enak buat di kenyot."

Elegi membulatkan mata sempurna, sebenarnya dia tau arah dan tujuan percakapan itu. Tapi entah mengapa semua terdengar bar-bar di telinganya.

"Daripada omongan lo makin ngelantur, mending beli sarapan sana. Gue nggak mau tanggung jawab kalo lo kenapa-kenapa," ujar Egi membuat Ana memberenggut.

"Nyenyenyenye, dasar cowok nggak berperasaan! Udah tau hayati lelah, pake disuruh ini itu!" ketus Renjana, tapi tak ayal menuruti perkataan Elegi.

Dengan malas Renjana keluar dan menyusuri setiap koridor, beberapa suster tersenyum ramah dan tentunya dia balas meskipun agak nggak ikhlas. Rasanya wajahnya ini terlalu kaku untuk digerakan, dia jadi sedikit menyesal karena tidak memakai masker sebelum keluar.

Niskala HatiWhere stories live. Discover now