PRM 5

530 72 24
                                    

Tuan Patthiyakorn berlari sebisa mungkin. Sejak tadi Thev terus menelponnya melalui HP Chimon karena keadaan Gun yang harus segera ditangani. Tadi sebenarnya dia sedang menjalankan meeting akan tetapi saat dia mendenger suara Chimon yang berkata Gun butuh perawatan yang jauh lebih intensif dia langsung membatalkan meetingnya.

Jika Chimon tidak ingin membiarkan Gun pergi, maka ada Tuan Patthiyakorn yang tidak ingin hal yang sama terjadi kepada Gun seperti bagaimana dulu terjadi pada istrinya. Dulu istrinya ditabrak dan penabaraknya kabur begitu saja tanpa bertangung jawab sedikitpun dan hal itu membuat Istrinya meregang nyawa padahal sebenarnya dia masih bisa diselamatkan jika saja penabrak itu tidak melarikan diri.

Begitu sampai di ruangan ICU dia langsung masuk dan mencari keberadaan Putranya. Dia melihat sebuah Bangsal yang tirainya terbuka dan terdapat Thev yang sedang menyender pada tembok karena posisi Bangsal Gun memang di ujung ruangan.

Chimon memegang tangan Gun. Dia tidak melepaskannya sama sekali seolah-olah jika dia melepaskannya maka malaikat akan membawanya pergi dan dia akan kehilangan sosok mungil nan indah tersebut.

“Chi...,” panggil Ayahnya.

Chimon sontak saja mengalihkan pandannya ke sang Ayah, sedangkan Thev yang melihat kehadiran bosnya langsung membungkuk hormat sebentar dan kembali menormalkan posisinya.

“Ada apa dengan Gun?”

“Yah, Kaka Gun diduga ngalamin kerusakan otak, dia harus dibawa ke Rumah Sakit Russia karena peralatan disini gak mumpuni buat kondisi Kaka itu.”

“Kerusakan otak? Russia? Separah itukah kondisinnya?”

“Katanya Kaka Gun sering minum obat dalam sekala panjang dengan dosis yang gak seharusnya, kayanya itu salah satu penyebabnya deh.”

Tuan Patthiyakorn menghela napas dengan kasar, memijat pangkal hidungnya dengan pasrah. Siapa yang menyangka semuanya akan jadi seperti ini? Namun jika bukan karena kecelakaan itu mungkin saja tidak akan ada yang tahu kalau misalnya Gun berpotensi mengalami kerusakan otak.

Itu semua takdir. Memang seperti ini jalannya untuk mengetahui kondisi Gun yang berpontesi mengalami kerusakan otak.

Kerusakan otak benar benar bisa berakibat fatal jika tidak segara ditangani secepat mungkin. Otak akan mati dan tubuh tidak dapat menerima sinyal apapun karena bagian pengendalinya sudah mati dan saat hal itu sudah terjadi pemilik raga hanya bisa hidup untuk menunggu kematiannya, karena tidak ada hal lain yang bisa meraka lakukan jika otaknya sudah mati.

Tuan Patthiyakorn melihat kearah tubuh Gun yang terbaring lemah dengan segala alat yang ada ditubuhnya. Pria yang malang, harusnya hari ini dia mengikuti ospek jurusan tapi ternyata dia malah terbaring berjuang antara hidup dan mati disini.

Dan seharusnya dimalam itu Off dan Gun dinner dan membagi cinta mereka, bukan justru tertabarak dan harus merasakan sakit yang begitu parah....

Gun meneteskan air matanya. Meski tubuhnya tidak merespon apapun dan bahkan dirinya belum sadar tetapi air matanya mengalir begitu saja tanpa diminta.

“Kaka?” Chimon menyadari air mata Gun yang mengalir secara tiba tiba. Tangan Chimon terulur mengusap air matanya sedang sang Ayah memerintahkan Thev untuk memanggil Dokter, takut kalau ada sesuatu yang serius.

Tuan Patthiyakorn langsung berdiri tepat disebelah kanan Gun yang disebelah kiri sudah diisi oleh putranya.

“Kaka apa ada yang sakit? Kaka kumohon merespon lah,” tanya Chimon denga panik karena air mata itu terus keluar dari kelopak mata Gun yang enggap terbuka.

“Gun? Apa kau baik baik saja? Kau bisa dengar kami?”

Tidak lama kemudian Thev datang dengan Dokter yang menangani Gun. Dia langsung menayakan apa yang terjadi karena sepengawasannya tadi tidak ada yang harus dikhawatirkan kecuali kemungkinana kerusakan otaknya.

Pliss! Remember Me (END)Where stories live. Discover now