part 2

56.6K 4.2K 33
                                    

Lampu-lampu menghiasi taman yang tampak indah namun tidak bagi Nela yang duduk bersebelahan dengan Gibran dan dengan para tantenya juga. Nela malas sebenarnya bercengkrama dengan para tante sosialita tukang julid, tapi karena dia sudah terhubung dengan keluarga ini melalui Gibran mau tidak mau dia harus beramah tamah.

"Gibran gimana kabarnya Dina?" Tanya Tante Rati yang menurut Nela paling julid dari yang lainnya. Nela menghela nafas pelan, mengurangi rasa jengah nya. Ini bukan pertama kalinya Tante Gibran menanyakan tentang Dina saat ada Nela. Dengan otaknya yang tidak terlalu pintar itu, Nela dapat menyimpulkan bahwa mereka menganggap Dina lebih pantas bersanding dengan Gibran dari pada dirinya. Bodo amatlah Nela juga tidak ambil pusing tentang itu.

Jika kalian ingin tau siapa itu Dina, maka jawabannya adalah mantan kekasih Gibran saat masa kuliah dulu. Gibran dan Dina putus hubungan beberapa bulan lalu entah karena apa Nela tidak tau dan malas juga jika mengungkit tentang wanita itu.

"Aku udah lama gak ketemu Dina Tante." Jawab Gibran seadanya. Nela hanya diam saja menyimak apa yang akan mereka bicarakan tentang Dina saat ini.

"Padahal dulu Tante udah ngira kamu bakal nikah sama Dina loh, Bran." Nela berusaha menulikan pendengarannya. Meskipun sudah tau sejak awal, tetap saja jika mendengar kembali membuat Nela merasa terluka harga dirinya. Segitu tidak menghargai dirinya kah mereka saat ini? Rasanya ingin sekali Nela pergi dari acara penuh kemunafikan ini.

"Ya tidak apa sekarang kan sudah ada Nela." Lanjutnya lagi, melirik Nela dengan wajahnya yang penuh kemunafikan. Nela bukan orang bodoh yang tidak mengerti semuanya. Kenapa disini seolah-olah salahnya karena Gibran berpisah dengan Dina?

"Permisi semuanya, Nela pamit sebentar." Telinga Nela sudah pengang mendengarnya, akhirnya dia memutuskan untuk undur diri saja dari hadapan orang toxic seperti mereka ini. Tidak berlama-lama, Nela berlalu meninggalkan meja tempat mereka berkumpul termasuk Gibran. Biarkan saja tunangan tidak tau diri itu menghadapi tantenya, lagipula dia juga senang kan jika membahas tentang Dina. Seberapa sempurna sih Dina sebenarnya sampai-sampai mereka tidak rela jika Dina tidak menjadi bagian dari keluarga mereka.

Nela berjalan masuk kedalam rumah, mencari toilet yang terdekat. Setelah menemukannya, Nela masuk kedalam dan mengunci pintu dari dalam.

Nela menghadap cermin lebar yang terpasang disana. Mengamati dirinya dengan detail. Sebenarnya apa yang membuat Dina lebih unggul dari dirinya. Wajah? Banyak yang mengatakan bahwa Nela memiliki wajah cantik. Body? Profesinya sebagai model tentu saja tidak bisa diragukan lagi bagaimana body nya yang katanya ideal itu. Pendidikan? Nela menghela nafas, tentu saja dia mengakui hal satu itu bahwa dia kalah telak. Dina yang berpendidikan lulusan S1 di Australia dan sekarang tengah melanjutkan ke jenjang S2, apalah daya Nela ya bahkan belum lulus S1 ini. Bahkan dia sekarang tengah cuti selama beberapa bulan kedepan karena jadwalnya sebagai selebgram sekaligus model sangat padat.

Nela menghela nafas pasrah. Biarkan saja orang ingin berkata apa, nyatanya sekarang yang resmi jadi tunangannya Gibran adalah dirinya. Nela mengambil lipstik dari tas nya dan memakainya lagi karena yang tadi sudah mulai pudar saat dia mencicipi beberapa makanan yang dihidangkan.

Merasa penampilannya sudah kembali rapi, Nela keluar dari kamar mandi. Alangkah terkejutnya Nela saat melihat ada seseorang yang tengah menungguinya, yang tidak lain adalah Gibran.

"Kenapa?" Jutek Nela. Jangan heran jika Nela terkesan ketus pada Gibran, memang kadang dia bersikap ramah seolah adalah pasangan normal pada umumnya, tapi itu hanya dilakukan saat didepan orang tua dan keluarga saja. Diluar itu beginilah interaksi antara mereka.

"Mama nyariin." Mendengar jawaban dari Gibran, tanpa repot-repot membuka suara lagi Nela berlalu meninggalkan Gibran. Mencari keberadaan Tante Risma.

"Tante nyari aku?"

"Nela dari mana aja sayang. Tante nyariin tau."

"Maaf Tante, tadi Nela dari toilet."

"Ya udah tidak apa. Tante tadi udah sempat berpikir kamu pulang tau."

"Gak mungkin lah Tan. Kalaupun Nela pulang masa iya gak pamitan."

"Ma Tante Ani datang." Gibran muncul, memberitahu kedatangan salah satu tantenya.

"Sebentar ya Nela. Gibran temenin Nela jangan biarin pulang duluan." Ucap mamanya pada Gibran. Dalam hati Nela merutuk, mengapa Tante Risma harus menyuruh Gibran menemani dirinya sih. Nela lebih memilih sendiri dari pada ditemani manusia dingin menyebalkan macam Gibran.

Nela berjalan menuju stand makanan, dia sudah merasa lapar saat ini. Melihat banyaknya berbagai makanan yang tersedia membuat Nela sempat bingung hendak memilih yang mana.

"Saya lapar." Nela berjengit kaget. Menoleh kebelakang dan melayangkan tatapan sinis pada Gibran.

"Ya terus kenapa kalau lapar?" Tidak tertarik berbicara lebih lanjut dengan Gibran, Nela kembali melihat-lihat makanan mana yang akan dipilihnya.

"Ambilkan saya makanan." Bukan permintaan tapi sebuah perintah.

"Punya tangan kan?" Tentu saja Nela tidak akan dengan mudah diperintah oleh seorang Gibran, sekalipun Gibran adalah tunangannya.

"Nela gimana sih. Masa Gibran minta ambilin makanan malah gak mau." Celetuk Tante Rati yang tiba-tiba muncul diantara mereka. Lagi-lagi Tante satu ini membuat Nela naik pitam, tapi Nela tidak bisa membalasnya.

"Nggak kok Tante. Tadi Nela cuma mau isengin Mas Gibran aja." Nela membuat mimik muka yang terlihat meyakinkan.

"Mas Gibran mau makan apa?" Nela beralih menatap Gibran dan sudah siap dengan piring ditangannya. Gibran menyebutkan makanan yang akan dimakannya dan dengan sigap Nela segera mengambilkannya.

"Kamu tuh harusnya sudah mulai belajar jadi istri yang baik. Masih tunangan aja kamu ngomongnya gitu sama Gibran. Gak kebayang gimana nanti kalau sudah jadi istri." Nela menulikan telinganya atas ucapan yang menyakitkan itu.

Gibran hanya diam saja mendengar ucapan tantenya pada Nela. Inilah sikap Gibran yang membuatnya sakit hati. Kenapa Gibran tidak berusaha membelanya seakan-akan dia sama sekali tidak berharga di hidup Gibran. Harga diri Nela rasanya tercabik-cabik mendapat perlakukan seperti ini.

Nela memberikan piring yang sudah terisi makanan itu pada Gibran. Rasa lapar yang dirasanya tiba-tiba saja menghilang mendengar perkataan Tante Rati. Dapat Nela rasakan bahwa Tante Rati masih tetap memperhatikan dirinya juga Gibran, karena Nela tidak ingin menjadi serba salah Nela mengikuti kemana Gibran akan duduk dan menemani Gibran makan.

"Mas kamu gak bisa gitu sekali-kali ngebela aku didepan Tante kamu?" Ucap Nela sepelan mungkin agar hanya dia dan Gibran yang dapat mendengarnya. Gibran menghentikan makannya dan menatap Nela.

"Apa yang harus saya bela? Bukannya sikap kamu tadi memang salah?" Nela tercengang mendengarnya. Amarah tiba-tiba menguasai dirinya tapi dia sadar tidak bisa melampiaskannya sekarang.

"Kamu gak sadar Mas gimana sikap kamu selama ini ke aku?"

"Sikap kamu buat aku merasa gak dihargai tau gak? Kamu sama Tante kamu bahas Dina didepan aku. Kamu jelas tau maksud mereka apa bahkan kamu gak menyangkal saat mereka bilang kalau Dina lebih pantas sama kamu dari pada aku." Nela masih mempertahankan nada suaranya agar tetap normal. Menatap Gibran dalam, berusaha mencari penyesalan didalamnya. Tapi nihil dia tidak menemukannya sama sekali. Nela bangkit lalu mengambil tasnya.

"Bilang sama Tante aku pulang." Ujar Nela setelahnya. Cukup sudah dia tidak ingin mengemis pada manusia seperti Gibran. Nela sekarang sudah tau bagaimana posisi dirinya dalam hidup Gibran.

TBC

Ada yang nungguin kah?

Semangat yuk vote nya. Koreksi typo juga.

Bye. See you 👋

Selebgram in loveМесто, где живут истории. Откройте их для себя