part 33

33.5K 2.2K 46
                                    

Pagi yang cerah datang menyapa, tapi tidak dengan wajah seorang Nela yang tengah berbaring diatas ranjangnya. Saat bangun tidur tadi, Nela sudah merasakan ada yang berbeda dengan dirinya. Kepalanya pusing, tapi Nela masih tetap memaksakan untuk beranjak dari tempat tidurnya.

Dan beginilah akhirnya, Nela sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Kakinya terasa lemas seperti jelly. Jika tetap dipaksa untuk bangun, bukan tidak mungkin Nela akan merosot jatuh. Nela sudah menghubungi Laudi agar datang ke apartemen dan membantunya setidaknya hingga Nela merasa baikan. Tapi Laudi sedang tidak bisa melakukannya, karena dia sekarang sedang berada diluar kota dengan orangtuanya.

Tidak ada pilihan lain, akhirnya Nela memilih untuk menghubungi Gibran saja. Hanya nama itu yang terlintas dikepalanya. Dan beruntunglah Gibran karena merasa tidak keberatan sama sekali untuk datang.

Nela sudah memberikan kode apartemennya pada Gibran, hingga Gibran bisa langsung masuk jika sudah sampai nanti.

Diluar sana kini Gibran telah sampai di depan unit Nela. Tidak sendiri, melainkan ada seorang wanita bersamanya yang tidak lain adalah Mamanya. Saat mendapatkannya telepon dari Nela yang memintanya untuk datang Gibran jadi begitu terburu-buru, dia hendak melewatkan sarapan tapi mamanya itu melarang dan berakhir Gibran harus menjelaskan alasannya. Dan seperti yang sudah-sudah, mamanya itu akan memaksa untuk ikut karena khawatir dengan Nela. Gibran bisa apalagi selain menyetujuinya.

Sampai didepan unit, Gibran langsung menekan pin yang sempat Nela kirimkan padanya. Pintu terbuka, lalu dengan segera kedua orang itu masuk dan menunju pada kamar tempat Nela berada. Dibukanya kamar itu, dan yang terlihat kini yaitu pemiliknya yang sedang berbaring tak berdaya diatas ranjang.

"Nela kamu kenapa sayang?" Tante Risma dengan ke khawatir yang tidak bisa disembunyikan, segera menghambur pada Nela lalu memeluknya.

"Panas banget kamu. Kita ke dokter ya." Tante Risma mengecek suhu badan Nela menggunakan tangannya.

"Nela cuma pusing aja kok Tan." Ujar Nela lemah.

"Sudah sarapan?" Tanya Gibran yang mendapat gelengan lemah dari yang ditanya. Gibran menghela nafas melihatnya.

"Saya beli bubur didepan." Tanpa menunggu persetujuan, Gibran segera keluar untuk membelikan Nela sarapan.

"Kita ke dokter aja ya, biar jelas kamu kenapa." Bujuk Tante Risma. Nela tersenyum tipis mendapat perhatian dari Tante Risma. Tante Risma Sudah terlihat seperti ibunya saja. Dan Nela tersadar bahwa dia belum memberitahu kondisinya kepada orangtuanya sendiri.

"Tante, jangan kasih tau ke orangtuaku ya kalau aku sakit."

"Gak bisa gitu sayang, mereka orangtua kamu, berhak tau apa yang terjadi sama kamu.."

"Nela mohon Tan. Nela gak mau mereka khawatir." Nela memberikan tatapan memohon nya. Tante Risma menghela nafas dan mengangguk dengan berat hati.

"Makasih Tante. Tante jangan nangis nanti Nela juga ikutan nangis." Nela mengusap air mata yang jatuh dari kelopak mata Tante Risma.

"Tante khawatir sama kamu."

"Nela cuma pusing aja kok Tan. Mungkin magh Nela kumat."

"Jangan telat makan sayang, atau kamu mau tinggal sama Tante aja biar nanti ada yang ingetin kamu makan terus."

"Akhir-akhir ini Nela lagi sibuk kuliah aja Tan, makanya sering telat makan." Nela berusaha menjelaskan agar Tante Risma bisa lebih tenang sedikit.

"Makan." Gibran yang baru saja masuk kedalam ruangan itu menyodorkan bubur yang telah dibelinya pada. Nela dibantu oleh Tante Risma untuk duduk dan Gibran langsung saja memberikan bubur itu pada Nela.

"Suapin dong." Tante Risma menggeplak tangan Gibran, untung saja bubur itu sudah berhasil berpindah tangan jika tidak maka bisa dipastikan bahwa bubur itu akan berakhir mengenaskan ditempat sampah.

Tidak ingin terjadi perdebatan panjang lagi, Gibran kembali mengambil kembali bubur dari tangan Nela. Lalu Gibran menyeret kursi meja rias menjadi disamping Nela. Seperti yang sudah Mamanya perintahkan, kini Gibran akan dengan senang hati menyuapi Nela sarapan.

Setelah Nela berhasil duduk dengan benar, Gibran menyuapkan suapan pertama yang diterima dengan baik oleh Nela lalu dilanjutkan dengan suapan-suapan berikutnya.

"Udah." Nela menolak suapan dari Gibran. Bubur masih sisa setengah tapi Nela sudah tidak ingin memakannya lagi.

"Sedikit lagi." Gibran berusaha untuk Nela kembali membuka mulutnya. Tapi Nela menggeleng tanda tidak ingin memakan bubur lagi.

"Kenyang." Nela terdengar seperti sedang merengek agar tidak dipaksa. Tidak menyerah sampai disitu, Gibran kembali hendak menyodorkan se-sendok bubur ke depan bibir Nela yang ditutup rapat. Nela menggelengkan pada Gibran.

"Satu kali lagi." Putus Gibran memilih mengalah. Mereka berdua sudah terlihat seperti seorang ayah yang tengah membujuk anak gadisnya yang sedang sakit untuk makan.

Masih pada pendiriannya, Nela tetap menggeleng. Sejujurnya, Nela tidak begitu suka dengan bubur. Meskipun sakit, biasanya Nela tetap memakan nasi seperti biasa. Jika makan bubur terlalu banyak malah akan membuat Nela mual dan tidak berselera lagi.

"Sekali lagi, setelah itu selesai." Gibran mengatakan dengan tegas, tanda bahwa dia tidak ingin dibantah. Dengan berat hati akhirnya Nela membuka mulut dan menerima suapan terakhir dengan terpaksa. Nela mengunyah pelan bubur itu, tapi semakin dipaksa malah membuat Nela semakin merasakan mual.

Gibran yang menyadari perubahan wajah Nela, segera mengambil air dan memberikannya pada Nela. Dengan cepat, Nela mengambil air itu dan meminumnya lalu ditelan bersama bubur. Setelahnya Nela menghela nafas lega, karena setidaknya dia tidak muntah.

"Gak suka bubur. Mau nasi aja." Ucap Nela dengan mata berkaca-kaca. Salah satu kebiasannya saat sedang sakit yaitu dia gampang sekali untuk menangis. Gibran mengusap rambut Nela pelan, lalu di dekapnya gadis itu dalam pelukan.

"Maaf, saya tidak tau. Lain kali saya belikan nasi saja." Gibran berusaha menenangkan Nela. Nela membalas pelukan Gibran dan mengangguk dalam pelukannya.

Jangan tanya kemana Tante Risma, karena Mama Gibran itu sedari tadi hanya diam memperhatikan dua manusia didepannya. Sesekali bahkan Tante Risma mengabadikan momen itu lewat handphone nya. Kapan lagi kan melihat anaknya perhatian begitu, apalagi ini pada calon mantu. Berbunga-bunga rasanya hati Tante Risma menyaksikan itu.

"Hmm hmm." Tante Risma pura-pura batuk agar Gibran dan Nela menyadari keberadaannya yang sempat dilupakan.

Nela dan Gibran melepaskan pelukan mereka, menoleh kearah Tante Risma dan merasa tidak enak, karena sudah melupakan keberadaan wanita baik hati itu. Nela mengulurkan tangan, meminta untuk dipeluk. Dengan senang hati, Tante Risma menghampiri Nela dan segera memeluknya erat.

"Manjanya calon menantu Tante kalau lagi sakit begini." Itu bukan sebuah sindiran. Mana mungkin Tante Risma tega menyindir Nela yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Tante Risma mengecup sayang puncak kepala Nela. Nela hanya terkekeh mendengar ucapan Tante Risma, karena memang benar adanya seperti itu. Itulah mengapa, jika Nela sedang sakit begini dia butuh seseorang untuk menemani. Jika ada orangtuanya, pastilah dia tidak akan ditinggal barang sedikitpun. Tapi berhubung sekarang dia sudah beda kota dengan orangtuanya jadi Nela harus bersyukur karena ada keluarga Gibran yang bersedia menggantikan peran orangtuanya. Nela sangat bersyukur sekali dipertemukan bahkan sampai bisa menjadi calon menantu dari nyonya Risma Pramudya.

To be continued

Tante Risma nih keliatan sayang banget sama Nela gak sih. Sikapnya tuh kayak nganggap Nela seperti anak sendiri bukan lagi menantu.

Rugi gak sih Gibran nih kalau akhirnya bukan sama Nela. Secara dia gak cuma bakal nyakitin Nela tapi juga bakal nyakitin Mamanya juga.

Tapi jadi Nela sebenarnya juga rugi, karena percuma dia diperlakukan seperti itu kalau sebenarnya Gibran nih masih belum sepenuhnya move on dari mantan.

Eh, menurut kalian Gibran ini udah move on gak sih guys?

2K vote, 20 coment, 2,9K followers for faster update.

Selebgram in loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang