part 38

33.7K 2.8K 154
                                    

Nela menyeret Gibran untuk kembali menuju mobilnya, tidak dihiraukannya Karin yang menatapnya penuh penasaran. Dasar Karin sikap keponya tidak habis-habis.

"Ngapain kesini sih?" Kesal Nela saat mereka berdua kini sudah berada di dalam mobil Gibran. Nela tidak ingin jadi pusat perhatian akibat pertengkaran yang terjadi antara dia dan Gibran. Ini menyangkut hal privasi, Nela tidak ingin semua orang tau mengenai permasalahan dalam kehidupan asmaranya.

"Saya mau ajak kamu makan siang. Kamu jangan telat makan takutnya sakit lagi." Nela menghela nafas jengah, jadi begini cara Gibran membujuknya. Biasanya laki-laki itu akan berbicara singkat, padat dan jelas. Tapi lihatlah, saat seperti ini saja laki-laki itu malah berbicara panjang, meskipun tidak panjang-panjang amat.

"Mas liat sendiri kan aku tadi udah makan. Jadi lebih baik sekarang Mas pergi deh."

"Kalau begitu temani saya makan." Nela berdecak. Laki-laki ini tidak ingin menyerah rupanya. Apa iya ego Gibran tidak tersentil setelah diusir secara terang-terangan oleh Nela.

"Gak bisa aku masih ada kelas." Nela masih tetap berbicara ketus. Nela melipat tangan di dada, pandangannya tertuju pada jendela mobil, malas jika harus menatap wajah Gibran.

"Sebentar saja, saya mohon." Gibran menatap Nela penuh harap. Baru kali ini Gibran memohon pada seorang perempuan. Hanya pada Nela Gibran pernah seperti ini. Nela hanya melirik Gibran sekilas. Dia memilih bungkam, setidaknya sampai laki-laki itu jengah dan segera pergi dari tempat ini.

"Kamu diam berarti setuju." Nela melotot, dari mana Gibran dapat menyimpulkan seperti itu. Gibran menyalakan mobilnya dan mulai menjalankan.

"Berhenti, aku gak mau temenin kamu makan." Protes Nela. Tangannya berusaha membuka pintu mobil yang sudah dikunci oleh Gibran. Gibran hanya menggeleng, perempuan itu keras kepala sekali. Coba saja jika Gibran tidak mengunci mobilnya tadi, sudah dipastikan Nela akan terjatuh jika tetap memaksa ingin keluar.

Nela kesal, jika sudah dalam keadaan seperti ini bagaimana bisa menolak. Nela yang awalnya memegang sebuah pulpen langsung dilemparnya ke dashboard. Gibran terkekeh, sama sekali tidak marah pada gadis disampingnya. Lihatlah wajah Nela yang memerah karena marah padanya, hal itu malah terlihat imut Dimata Gibran.

"Makan didepan aja, biar cepet." Nela memerintahkan. Gibran tidak masalah asalkan makannya ditemani Nela.

Sesampainya di depan warung makan yang sama saat Nela mengantarkan makan siang kekantor Gibran, mereka berdua keluar dari mobil dan mengambil makanan prasmanan yang tersedia. Hanya Gibran yang mengambil makanan karena Nela sudah makan. Nela disini hanya bertugas untuk menemaninya saja.

"Mau makan lagi?" Gibran menawarkan. Nela menggeleng, melihat wajah Gibran yang seakan tanpa dosa saja sudah membuat selera Nela hilang entah kemana.

"Cepetan makannya, aku sebentar lagi ada kelas." Ucap Nela saat Gibran baru saja menyuapkan suapan pertama. Gibran hanya diam mendengar gerutuan Nela, Gibran tau itu hanya akal-akalan Nela saja karena tidak ingin berlama-lama dengannya. Seingat Gibran setelah ini Nela tidak ada kelas lagi bahkan siang ini gadis itu free tidak ada pekerjaan atau urusan apapun yang membuat Nela harus buru-buru, seperti informasi yang Laudi sampaikan.

Sepertinya Nela tidak menceritakan pertengkaran mereka pada Laudi. Karena jika Laudi tau bisa dipastikan bahwa Gibran tidak akan mendapat informasi jadwal Nela semudah itu.

Gibran mengunyah makanannya sambil memperhatikan Nela yang sedang memainkan handphonenya. Gibran yakin bahwa gadis itu hanya berpura-pura sibuk saja. Gibran tersenyum tipis melihat tingkah Nela jika sedang ngambek seperti ini.

"Setelah ini ikut ke kantor saya mau?"

"Aku udah bilang kan kalau aku ada kelas." Ucap Nela penuh penekan. Gibran manggut-manggut.

"Jika dilihat dari jadwal kamu hari ini, sepertinya kamu sudah tidak ada kelas lagi." Sontak saja Nela menatap Gibran. Pikirannya berkecamuk memikirkan dari mana Gibran tau tentang jadwalnya. Biasanya yang tau tentang jadwal seperti ini hanyalah Laudi juga dirinya sendiri. Nela berdecak, dasar Laudi bisa-bisa membeberkan jadwalnya pada Gibran tanpa bertanya lebih dulu.

"Mau ikut?" Tanya Gibran lagi karena Nela tidak menjawab.

"Gak." Jawab Nela tanpa perlu pikir panjang. Gibran ini punya otak gak sih? Sudah Nela bilang kan kalau dia mau break. Tapi kenapa laki-laki ini seakan ingin bersamanya setiap saat.

"Kenapa? Temenin saya kerja ya, biar lebih semangat." Gibran masih tetap membujuk. Nela berdecak, dari mana laki-laki itu belajar jadi buaya seperti ini.

"Gak." Nela masih tetap pada pendiriannya, lalu perhatiannya kembali pada handphone, menghiraukan Gibran yang menatapnya dengan kecewa.

"Ya sudah kalau tidak mau, tapi saya yang akan antar kamu pulang." Nela melirik sinis. Gibran ini sok berkuasa, punya hak apa memang dia ingin mengatur-atur Nela.

"Gak perlu, aku masih ada urusan."

"Tidak apa saya antar, kalau perlu saya tunggu sampai urusannya selesai."

"Apa sih Lo, sok perhatian banget. Dulu aja Lo gak peduli." Sembur Nela. Gibran mematung mendengarnya. Ingin tidak terima akan tuduhan Nela, tapi itu memang benar adanya. Jadilah Gibran hanya diam saja menerima ucapan Nela.

"Udah gue bilang gue capek, mau break. Lo ngerti gak sih? Gue gak mau nanti malah nyesel diakhir." Nela menghela nafas sejenak lalu melanjutkan.

"Jadi sebaiknya seperti yang udah gue bilang, kita perlu memikirkan ulang tentang hubungan ini. Sampai sini paham kan Lo? Jadi tolong jangan temenin gue sampai kita udah sama-sama yakin pada keputusan masing-masing." Nela berkata tegas lalu setelahnya dia langsung meninggalkan Gibran sendiri. Tidak perduli pada beberapa pasang mata yang tengah menatap penasaran kearah mereka. Kesabaran Nela sudah habis hingga tidak bisa mengontrol dirinya.

Gibran menatap kepergian Nela nanar. Kali ini Nela benar-benar berubah seperti awal-awal hubungan mereka terjalin dan Gibran tidak bisa menyalahkannya. Dia sadar kesalahan sepenuhnya ada pada dirinya. Dia yang tidak bisa tegas dalam menentukan hubungan ini, dia juga yang masih hidup dalam bayang-bayang masalalu.

Gibran tidak bisa jika harus kehilangan Nela, memikirkan ketidakhadiran Nela dalam hari-harinya saja sudah membuat Gibran uring-uringan. Rasa itu seperti sudah mulai tumbuh dan berkembang dihati Gibran.

"Sabar Mas, perempuan kalau lagi ngambek memang seperti itu." Ucap salah seorang bapak-bapak yang mejanya berada disamping Gibran.

"Saya yang salah Pak bukan dia, jadi wajar jika sampai marah seperti tadi. Maaf atas ketidak nyamanannya."

"Gak masalah Mas. Sebaiknya Mas beri waktu saja dulu untuk pacarnya, nanti kalau sudah dirasa tenang baru deh rayu." Gibran hanya bisa tersenyum. Setelahnya dia pamit pada bapak itu. Dia akan memberikan Nela waktu, lagi.

Gibran juga sudah punya keputusan, bahwa dia akan tetap mempertahankan Nela, secepatnya dia harus segera bertemu dengan Dina dan menyelesaikan cerita masa lalunya yang masih membayang ini.

To be continued

Banyak yang nagih suruh cepet update, padahal targetnya balum tercapai. But ok, sekarang aku udah update. Puaskan kalian?
Vote dan komennya jangan lupa, aku pantengin terus pokoknya.

Btw, baca cepat ada di Karyakarsa ya.

Selebgram in loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang