part 9

43.2K 3K 74
                                    

Waktu makan malam tiba. Berbagai hidangan kini telah tersaji di atas meja makan, bahkan kursi disana pun telah terisi oleh 4 orang yang akan melaksanakan makan malam bersama. Seperti dugaan Nela, kini dia harus duduk tepat di sebelah Gibran.

Karena keberadaan orang tua Gibran, maka Nela suka rela harus melayani Gibran. Mengambilkan nasi dan lauk yang akan Gibran makan dan menghidangkannya dalam piring. Nela bahkan memberikan senyum palsunya pada Gibran dengan sangat terpaksa. Andai tidak ada orang tua diantara mereka, mungkin saja Nela sudah meninggalkan Gibran untuk makan sendiri.

Makan malam berjalan lancar ditemani keheningan yang terjadi, hanya terdengar suara sendok yang berdenting saat beradu dengan piring. Nela tidak berani membuka suara duluan, karena pastinya setiap keluarga mempunyai prinsip makan yang berbeda-beda. Bisa saja keluarga Gibran menganut tidak ada omongan saat sedang makan, dan Nela tidak ingin mencari masalah untuk kali ini. Cukup masalahnya dengan Gibran saja yang tidak tau kapan akan selesai.

Setelah makan malam selesai, Nela membantu merapikan sisa makanan tadi. Memindahkan piring kotor ke tempat cucian, tapi tenang Nela tidak akan mencucinya karena sudah akan ada pelayanan yang melakukannya. Nela diajak Tante Risma untuk berkumpul di ruang keluarga, katanya sih untuk membicarakan mengenai liburan mereka.

"Nela duduk sama Gibran saja ya." Nela tidak bisa menolaknya, karena Tante Risma kini sudah menekan bahu Nela agar segera duduk disebelah Gibran. Nela rasa kini mereka lebih cocok di bilang sedang rapat dari pada berbicara santai.

"Gibran minggu depan bisa kan libur dulu?" Pertama Tante Risma yang membuka suara.

"Bisa Ma. Baru di ACC tadi pagi."

"Bagus dong. Mama gak sabar deh mau cepet-cepet Minggu depan." Tante Risma terlihat bahagia sekali di tempatnya.

"Eh iya Nela malam ini nginap saja ya? Sudah malam loh ini gak baik anak cewek pulang sendirian." Nah kan apa Nela bilang. Tante Risma ini seperti tidak pernah menyerah mengajak Nela untuk nginap.

"Maaf ya Tante. Nela gak bisa, ada kerjaan yang harus diurus." Nela menampilkan wajah tidak enaknya karena sudah menolak ajakan calon mertua. Mudah-mudahan saja Tante Risma tidak mencoretnya dari daftar menantu idaman setelah ini.

"Padahal Tante berharap banget loh kamu bisa nginap disini." Tante Risma tampak kecewa dan Nela juga menjadi semakin tidak enak jika begini.

"Jangan dipaksa Ma. Nela pasti sibuk." Bukan Nela yang menjawab tapi Gibran. Mudah-mudahan saja dengan jawaban yang diberikan Gibran, Tante Risma tidak lagi memaksanya.

"Ya sudah, tapi pulangnya diantar Gibran saja." Ujar Tante Risma tidak bisa dibantah. Duh Nela pusing membayangkan akan se akward apa suasananya jika dia hanya dibiarkan berdua dengan Gibran apalagi dengan kondisi mereka terakhir kali.

"Gibran antar sekarang saja Ma. Takutnya nanti kemalaman." Tante Risma tampak tidak setuju, tapi segera ditegur oleh suaminya dan akhirnya membiarkan Nela pulang.

Nela cengo, apa barusan dia baru saja diusir secara tidak langsung oleh Gibran? Apa Nela begitu tidak pantasnya dekat dengan keluarga Gibran hingga sampai diusir seperti ini. Dengan linglung, Nela berdiri hendak mengambil tas nya yang berada di kamar tamu.

Lemas rasanya Nela, di usir secara halus dan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dalam mobil nanti. Apakah akan terjadi peperangan antara mereka berdua, atau akan berdiam diri mengheningkan cipta?

***

Nela dan Gibran kini telah berada dalam mobil yang baru saja keluar dari gerbang. Nela mengambil handphone nya untuk membunuh rasa jenuh, bingung juga apa yang harus dilakukannya. Ingin mengajak Gibran ngobrol terlebih dulu gengsi dong.

Masa sudah marah-marah waktu terakhir kali dan sekarang saat ketemu lagi malah ngajak ngobrol duluan, tanpa bujukan lagi. Sebagai perempuan seperti lainnya Nela tentu ingin dibujuk rayu oleh Gibran, tapi sayangnya Gibran tidak peka. Eh salah bukan tidak peka tapi tidak ada rasa. Miris sekali Nela harus menjalani kehidupan seperti ini.

"Maaf." Itu adalah kata pertama yang Gibran ucapkan sejak mereka memasuki mobil. Nela tertegun sejenak, apa benar ini Gibran Pramudya yang sedang berbicara atau malah dia kesurupan jin baik hingga bisa berkata seperti itu?

Tidak ingin terlalu percaya diri, Nela memilih mengabaikan Gibran dan melanjutkan scroll sosial media. Melihat komen-komen yang diberikan followers nya di foto yang di-posting nya tadi.

"Cantik." Nela menghentikan jarinya yang menari-nari di atas layar. Gibran ini sebenarnya ngobrol dengan siapa? Nela tidak berani menatap Gibran, siapa tau saja Gibran sedang bertelepon dengan seseorang dan memuji orang disebrang sana, bisa malu Nela jika sampai kepedean.

"Baju yang kamu posting cantik. Kayak peri." Nela mendongak, melihat Gibran yang kini juga melihat padanya tapi tidak lama karena harus fokus menyetir. Nela ingin tersenyum tapi ditahannya.

"Ngomong sama aku?" Nela pura-pura jutek. Dalam hati dia sudah jumpalitan karena dapat pujian cantik. Meskipun sudah sering kali mendengarnya dari orang-orang tapi entah mengapa kalau Gibran yang mengatakannya terasa berbeda, dan Nela menyukainya.

"Iya."

"Oh." Nela kembali menatap layar ponselnya. Gibran sudah kembali dalam mode pabrik rupanya.

"Saya minta maaf." Nela melirik Gibran lewat ekor matanya.

"Hmmm." Jawab Nela, biarkan saja Gibran merasakan bagaimana jika dijawab dengan singkat dan menggantung. Tiba-tiba Nela teringat dengan perintah Laudi tentang kepastian. Nela menatap Gibran dan melontarkan pertanyaan yang beberapa hari sangat mengganggu pikirannya.

"Aku mau tanya sesuatu." Gibran menatap Nela dan memberi anggukan.

"Gimana hubungan ini?" Gibran mengernyit bingung. Nela yang menyadarinya langsung menjelaskan maksud dari pertanyaannya.

"Kamu mau putus?" Tanya Nela pelan. Dalam hati Nela sangat menyayangkan jika Gibran menyetujuinya. Tidak munafik, Gibran adakah sosok suami idaman para wanita. Wajah tampan, pekerjaan mapan, dan juga kaya raya. Dimana lagi bisa dapat laki-laki paket komplit seperti ini.

"Kita tidak pacaran."

"Bukan gitu maksudnya. Kamu cinta kan sama Dina? Kamu juga mau bareng dia terus, berarti kamu mau batalin pertunangan ini kan."

"Kapan saya bilang begitu?" Nela kelabakan, ya memang Gibran tidak mengatakannya. Tapi kan.

"Ya aku dapat menyimpulkan dari perlakuan Mas Gibran selama ini."

"Kamu tidak bisa menyimpulkan semuanya sesuka hati."

"Ya terus Nas Gibran maunya gimana? Kasih aku kepastian dong." Habis sudah kesabaran Nela. Niat awal ingin bicara baik-baik malah berakhir seperti ini.

"Kita sudah tunangan, dan cepat atau lambat akan menikah. Apa itu masih belum pasti?" Gibran mengatakannya dengan yakin. Nela meleleh mendengarnya, tapi tidak bisa semudah ini.

"Aku gak mau Mas. Kamu masih cinta sama Dina." Lain di mulut, lain di hati. Hati Nela menginginkan Gibran tapi mulutnya tidak.

"Dina hanya masalalu."

"Masalalu yang gak bisa kamu lupain lebih tepatnya." Gibran tertohok mendengar ucapan Nela yang tepat sasaran. Gibran membasahi bibirnya yang terasa kering.

"Bantu saya melupakan masalalu itu. Kamu mau kan?" Nela menatap Gibran. Apa Nela tidak salah dengar? Berarti Gibran lebih memilihnya dari pada Dina? Benarkah?

Gibran mengulurkan tangannya dan mengusap lembut pucak kepala Nela. Hati Nela tidak kuat menerimanya. Tanpa perlu dikomando, Nela menganggukkan kepalanya. Gibran tersenyum, senyum pertamanya untuk Nela. Tidak kuasa menahan rasa bahagianya, Nela bangun dari kursinya dan memeluk Gibran.

Aduh ini sangat berbahaya sekali. Jangan ditiru ya adik-adik. Untung saja Gibran sudah handal dalam menyetir hingga mobilnya tidak oleng kemana-mana.

TBC

Haloooo. Seperti biasa cuma mau ngingetin untuk vote nya. Semangat.
See you.

Selebgram in loveWhere stories live. Discover now