part 22

30.8K 1.9K 29
                                    

Nela terbangun saat jam menunjukkan pukul 11 malam, diamatinya kamar yang biasa di tiduri. Seingat Nela tadi dia ketiduran saat menonton dengan Gibran, Nela langsung berasumsi bahwa Gibran yang telah memindahkannya. Lalu dimana laki-laki itu sekarang?

Nela keluar dari kamarnya, tempat mereka nonton tadi kini sudah bersih seperti sedia kala. Tatapan Nela masih mencari seseorang yang sedang bersamanya tadi, tapi setelah mencari ke berbagai ruangan yang berada di apartemen, Nela tidak menemukannya dan dapat dipastikan bahwa Gibran sudah pulang.

Akhirnya Nela memilih untuk ke dapur saja mengambil minum, tenggorokan kini terasa kering. Setelah minum Nela kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya yang sempat terbangun.

Sebelum kembali terlelap, Nela menyempatkan untuk mengecek handphone barang kali akan ada pesan dari Gibran mengingat laki-laki itu belum sempat pamitan pada Nela. Tapi ternyata tidak ada dan hal itu sedikit banyak membuat Nela kecewa.

"Udahlah lagian salah aku juga, kenapa mesti ketiduran sih." Gerutu Nela pada dirinya sendiri.

Sudah sejak beberapa menit yang lalu Nela mencoba tidur kembali, tapi seakan kantuk sudah menghilang dari dirinya, kini dia sibuk berbalik dari kanan ke kiri ataupun sebaliknya. Nela jadi menyesal sendiri jika begini, besok dia masih ada kerjaan dan tidak mungkin malam ini dia begadang dengan tanpa alasan yang jelas.

Nela kembali meraih handphonenya di laci samping ranjang, niat hati dia ingin bermain sebentar, karena biasanya dengan bermain ponsel dia akan cepat merasa ngantuk apalagi dengan posisi rebahan seperti ini.

Seperti tidak terkontrol, jari Nela bergerak sendiri mencari kontak Gibran, tidak tanggung-tanggung bahkan sampai menekan icon Vidio call. Tepat di dering ke tiga, Nela tersadar dengan apa yang dilakukannya, cepat-cepat Nela hendak menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan itu.

Tapi sudah keduluan diterima oleh Gibran, terpampang wajah Gibran yang hanya terlihat separuh di layar handphone. Nela terperangah, tidak menyangka bahwa Gibran akan mengangkat panggilannya. Mengingat malam yang sudah larut, Nela seakan tersadar. Apa mungkin Gibran masih belum tidur? Atau malah terbangun karena panggilan darinya? Jika memang benar seperti itu, Nela sangat merasa bersalah karena sudah mengganggu waktu tidur pria itu. Tapi hati Nela juga merasa senang karena bisa melihat wajah pria yang berhasil membuatnya nyaman berada di sisinya.

"Kenapa?" Tanya suara berat disana, Nela terdiam hanya mengamati layar handphonenya yang memperlihatkan wajah Gibran.

"Mas belum tidur?"

"Baru selesai mandi, terus kamu telepon." Nela mengangguk-angguk, artinya dia tidak menganggu waktu tidur pria itu kan.

"Kenapa telepon?" Layar yang tadinya memperlihatkan wajah Gibran kini sudah tidak tampak lagi, hanya menampilkan bagaian atap rumah yang Nela tidak tau itu ada dimana.

"Mas lagi ngapain?" Tanya Nela penasaran karena sepertinya Gibran meninggalkan handphonenya begitu saja, sedangkan orangnya tidak tau kemana.

"Pakai baju." Jawab Gibran gamblang. Nela tercekat mendengarnya, jadi maksudnya sejak tadi Gibran tidak memakai baju? Duh otak Nela jadi membayangkan yang tidak-tidak sampai membuat pipinya merona sendiri.

"Hmm." Suara deheman disebrang sana membuat Nela sadar dari keterdiamannya, sudah tidak bisa terbayangkan bagaimana ekspresinya saat ini. Jangan-jangan tadi Gibran sempat memergokinya dengan ekspresi mupeng. Mau taruh dimana wajah Nela, dia merasa sangat malu saat ini.

"Mas aku ngantuk nih. Aku matiin ya teleponnya." Dari pada semakin malu, Nela memilih mematikan teleponnya saja.

"Tunggu." Cegah Gibran sebelum Nela benar-benar merealisasikan ucapannya.

"Saya masih ingin melihat wajah kamu." Lanjut Gibran setelahnya, entah terkena angin apa sampai Gibran bisa mengatakan hal seperti itu. Nela ya mendengarnya, menjadi semakin merona. Sudah semerah apa wajahnya kini?

Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Nela masih malu mendengar gombalan Gibran yang membuat hatinya bergetar, dia sudah sering mendapat gombalan serupa, tapi lagi-lagi jika Gibran yang mengatakannya membuat Nela merasa berdesir, ada sesuatu yang beda terasa di hatinya.

"Oh iya maaf ya Mas aku tadi ketiduran. Kenapa gak Mas bangunin waktu mau pulang?"

"Saya bisa pulang sendiri, tidak perlu sampai membangunkan kamu."

"Ya bangunin buat pamitan gitu loh, biar pas waktu aku kebangun gak bingung nyariin kamu." Jelas Nela, karena Gibran tidak kunjung mengerti maksud dirinya.

"Kamu nyari saya?"

"Ya iya dong Mas. Seingat aku tadi aku tidur waktu kita nonton pas bangun udah gak ada kamu. Ya aku refleks nyariin dong, apalagi tiba-tiba aja aku udah ada di kamar."

"Saya yang pindahin kamu." Gibran memberitahu hal yang sudah Nela duga.

"Kenapa gak bangunin aja sih Mas, kamu pasti merasa berat ya gendongan aku? Apalagi lagi akhir-akhir ini aku makannya banyak." Nela jadi panik sendiri saat sadar bahwa dia belakangan ini tidak menjaga pola makannya dengan baik, apalagi jadwal gym nya sekarang sudah tidak se-rutin dulu. Semoga saja berat badan Nela tidak tambah membengkak, karena pasti dia harus menjalani diet jika itu terjadi.

"Tidak berat. Berapa berat badan kamu?" Nela berjalan menuju timbangan yang berada di samping meja riasnya, lalu memperlihatkan timbangan yang menampilkan berat badannya.

"Tuh kan berat badan aku nambah. Harus diet ini mah biar balik lagi." Dengan lesu Nela kembali ke atas ranjangnya. Merebahkan dirinya, masih tetap melakukan Vidio call dengan Gibran. Sebentar, apa Nela saat ini bisa disebut sedang sleep call? Ini adalah pengalaman pertama untuk Nela dan rasanya ternyata asik sekali.

"46, Itu tidak berat. Saya sering olahraga, tidak masalah jika hanya menggendong kamu dengan bobot segitu."

"Biasanya berat aku cuma 45 Mas, pokonya harus diet." Ucap Nela dengan penuh keyakinan. Nela sendiri sudah sering melakukan diet, tapi dia juga sama seperti wanita pada umumnya yang masih susah untuk menahan godaan dari makanan lezat yang biasanya mengandung kalori tinggi.

"Jangan diet." Cegah Gibran tidak setuju dengan ide Nela.

"Gak bisa Mas. Kalau aku tambah gendut nanti followers aku kabur lagi. Terus nasib karir aku gimana?"

"Olahraga rutin saja. Saya akan temani kamu." Refleks Gibran mengatakan hal tersebut. Entah mengapa dia merasa kurang suka jika Nela melakukan diet padahal menurut Gibran tubuh Nela sudah termasuk ideal dan Gibran menyukainya. Eits jangan salah paham dulu, suka yang dimaksud Gibran disini itu hanya sekedar enak dipandang bukan suka karena mencobanya. Tidak munafik, Gibran masih laki-laki normal yang pastinya mempunyai hasrat, tapi dia bisa menahannya karena tidak ingin menodai Nela, kecuali jika mereka nanti sudah menikah Gibran bebas jika ingin memintanya, karena itu sudah termasuk hak nya. Pikiran Gibran kembali mengingat kejadian beberapa waktu lalu di apartemen Nela.

"Mas kenapa? Kok bengong?" Suara Nela menyadarkan Gibran dari lamunannya. Gibran menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran tidak senonoh yang menggerayangi otaknya.

"Sudah malam. Sebaiknya kita tidur, besok masih harus bekerja." Tanpa menunggu persetujuan Nela, Gibran langsung menekan tombol merah dan dalam sekejap panggilan mereka berakhir.

Gibran merasa tidak sanggup lagi untuk melihat wajah Nela saat ini, karena pasti pikiran kotor langsung menyerbunya, tidak ini bukan salah Nela. Gibran mengakui bahwa ini salahnya sendiri, Nela tidak melakukan apapun tapi hasrat Gibran terpancing sendiri. Dalam hatinya Gibran berdoa Semoga saja dia masih bisa menahan diri sampai kata sah mengikat mereka.

TBC

Bantu ramein cerita baru aku ya guyss.

Selebgram in loveWhere stories live. Discover now