part 37

32.1K 2.8K 286
                                    

Sudah dua hari ini Nela dan Gibran tidak lagi saling berkomunikasi. Gibran merasa ada sesuatu yang kurang dalam hari-harinya. Biasanya Nela akan menghubungi dikala waktu senggang gadis itu, entah itu via telepon ataupun hanya pesan semata. Gibran sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Nela di hidupnya.

Dua hari terlewati, mungkinkah Nela sudah tenang dan tidak emosi lagi pada Gibran? Hari ini Gibran memutuskan untuk menemui gadisnya itu. Gibran berencana untuk mengantar Nela ke kampus pagi ini.

Gibran sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan yang dikenakannya. Sengaja Gibran berangkat lebih pagi bahkan Gibran tidak ikut sarapan dengan keluarganya. Gibran berencana untuk mampir ke rumah makan yang biasanya buka pagi hari. Dikarenakan Nela yang tidak suka bubur, maka Gibran memutuskan untuk membeli nasi saja sebagai menu sarapan mereka nanti.

"Berangkat Pa, Ma." Gibran menyalami tangan kedua orang tuanya.

"Jangan lupa sarapan, Nela juga bilangin jangan telat makan biar magh nya gak kambuh lagi." Pesan Tante Risma. Setelah berpamitan Gibran langsung masuk kedalam mobil yang telah disiapkan sebelumnya. Mudah-mudahan saja Nela masih belum berangkat.

Setelah membeli sarapan untuk keduanya, Gibran bergegas menuju apartemen Nela. Setelah memarkirkan mobilnya, Gibran menenteng dua porsi sarapan yang dibelinya tadi. Semoga saja Nela suka. Sampai didepan unit, Gibran memencet belnya. Meskipun Gibran masih ingat betul sandi apartemen itu, tapi rasanya tidak etis jika langsung masuk saja apalagi mengingat insiden terakhir dengan tuan rumah. Tidak menunggu waktu lama, pintu itu terbuka, menampilkan Nela yang masih menggunakan piyama tidurnya.

"Saya bawa sarapan." Gibran memperlihatkan makanan yang dibawanya. Nela menatapnya datar, tidak ada ekspresi yang ditunjukkan.

"Saya boleh masuk?" Tanya Gibran setelah beberapa menit mereka hanya berdiam didepan pintu.

"Gak enak sama tetangga. Kalau gak ada kepentingan sebaiknya gak perlu datang." Masih dengan wajah datarnya Nela berkata seperti itu. Gibran tersentak, bukankah Nela pernah bilang hal yang bertolakbelakang?

Rupanya dua hari waktu yang kurang untuk meredakan emosi gadis itu. Saat Nela menutup pintunya, Gibran segera meraih tangan Nela.

"Saya beli sarapan untuk kamu, meskipun kamu masih marah pada saya setidaknya terima ini." Gibran menyerah makanan yang dibawanya pada Nela. Dia sudah tidak berselera untuk makan jadi dia juga memberikan makanan miliknya pada Nela.

"Saya akan antar kamu ke kampus. Saya tunggu di lobby."

"Gak perlu, aku bisa pergi sendiri." Tolak Nela. Gibran menggeleng tidak menyetujui.

"Saya akan tetap antar."

"Terserah." Tepat setelah mengatakan itu, Nela menutup pintu agak keras didepan Gibran. Gibran menghela nafas, lalu akan menuju lobby. Ternyata seperti ini rasanya tidak dihargai, apa rasa ini juga yang Nela rasakan dulu?

Cukup lama Gibran menunggu Nela di lobby, mungkin sekitar 1 jam lebih. Disana terlihat Nela baru saja keluar dari lift, Gibran berdiri dan menghampiri Nela.

"Ayo." Nela yang fokus pada handphonenya pun terperanjat. Untung saja handphone itu tidak sampai jatuh. Nela menatap Gibran dengan datar, sama seperti tadi.

"Aku udah bilang kan kalau bisa sendiri." Ucap Nela dengan penuh penekanan. Dia lanjut melangkah, tapi lengannya lebih dulu dicekal oleh Gibran. Nela menghempas cekalan Gibran dengan cukup kasar.

"Nela saya tau saya salah, tapi apa harus sampai seperti ini?" Nela menghela nafas jengah mendengar ucapan Gibran.

"Tolong Mas aku lagi gak mau diganggu, seperti yang udah aku katakan kemarin kita berdua perlu berpikir lagi tentang kelanjutan hubungan ini." Saat Gibran hendak membuka mulutnya untuk menjawab, Nela lebih dulu menghentikan dengan tangan.

Setelahnya Nela keluar menuju luar gedung apartemen. Gibran menghela nafas sebelum mengejar Nela. Gibran meraih tangan Nela untuk digandengnya, Nela hendak melepaskan tapi Gibran malah tambah mengeratkan genggaman tangannya.

"Saya minta maaf." Gibran mengucapkan sambil kedua tangannya menggenggam tangan Nela. Lagi-lagi Nela ingin melepaskan genggaman itu, dia tidak mau luluh untuk saat ini. Dia tidak ingin Gibran menganggap sepele hubungan ini. Gibran harus berjuang dan Nela juga ingin diperjuangkan.

"Permisi, atas nama kak Nela?" Laki-laki mengenakan jaket hijau khas ojek online menyela, Nela segera menarik tangannya dari genggaman Gibran.

"Iya Mas, ayo cepetan saya buru-buru." Setelah mengenakan helm, Nela segera naik ke atas motor dan dia pun pergi dari hadapan Gibran.

Gibran menatap kepergian Nela dengan nanar, ternyata seperti ini perjuangan yang berujung sia-sia itu. Tapi Gibran tidak bisa jika harus menyerahkan begitu saja, dia masih akan terus membujuk Nela hingga perempuan itu mau memaafkannya. Dia merasa tidak rela jika sampai Nela harus pergi darinya? Apa itu adalah suatu pertanda bahkan saat ini Gibran sudah menaruh hatinya pada Nela?

• • •

Gibran tidak bisa fokus bekerja, pikirannya selalu tertuju pada Nela. Gibran sudah mencoba menelepon Nela beberapa kali tapi tidak dihiraukan oleh gadis itu, mengirim beberapa pesan juga sudah Gibran lakukan tapi hanya berakhir dengan centang dua biru tanpa adanya balasan.

Waktu makan siang, Gibran sempatkan untuk menghampiri Nela dikampusnya. Mobil Gibran kini telah terparkir, Gibran menghubungi Nela tapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Gibran keluar dari mobil, tujuannya adalah kantin. Entah kantin mana yang akan Gibran datangi, Gibran akan mencari keberadaan Nela hingga bisa ketemu dengan gadis itu.

Bermodalkan bantuan dari Laudi, sahabat Nela kini Gibran sudah bisa melihat didepan sana Nela tengah duduk berdua dengan seorang perempuan yang Gibran tafsir adalah teman kuliah Nela. Banyak pasang mata yang menatap Gibran saat dia menginjakkan kakinya di kampus. Gibran tidak menghiraukannya karena tujuannya saat ini hanyalah Nela.

"Nela." Panggil Gibran saat dia sudah berhasil menghampiri meja yang ditempati Nela. Nela melotot melihat sosok Gibran yang saat ini sudah berdiri dengan gagah didepannya. Pandanyg Nela menyusuri kantin, dia bisa melihat bahwa disana banyak pasang mata menatap penasaran pada mereka.

"Ngapain datang kesini?" Ketus Nela, dia tidak suka jika Gibran tiba-tiba datang tanpa sepengetahuannya.

"Siapa Nel?" Tanya Karin dengan penasaran, baru saja Nela ingin menjawab bukan siapa-siapa tapi Gibran sudah lebih dulu menyela.

"Saya Gibran, tunangan Nela." Jawab Gibran dengan lugas. Karin melotot, orang yang berada disekitar mereka juga melakukan hal yang sama. Memang sih Nela sudah pernah mempublish Gibran tapi kan orang-orang taunya Gibran dan Nela hanya sekedar pacaran. Dih kacau, Gibran ini kenapa sih bersikap seenaknya saja, apalagi kondisi mereka berdua sedang tidak baik.

Terdengar sudah beberapa bisik-bisik orang-orang yang tengah membicarakan Nela.

"Serius itu tunangan Nela? Pantes aja berani nolak kak Yuda."

"Ganteng banget tunangan si Nela, pantes gak pernah publish mukanya takut direbut kali ya."

"Gila ini bakal jadi trending topik sih dikampus."

"Mandang fisik itu si Nela, paling juga perawatannya minta sama tunangannya."

Nela hanya dapat menghela nafas mendengar beberapa bisikan yang ditujukan padanya. Dia harus bersikap bodo amat dengan ucapan-ucapan negatif yang ditujukan padanya. Biarlah mereka mau berpendapat seperti apa tentangnya.

Itu tidak terlalu penting bagi Nela, karena yang tau seluk beluk kehidupannya hanya dia dan orang lain tidak akan peduli dengan itu.

To be continued

Si Gibran main ngaku-ngaku aja, padahal awalnya yang minta backstreet tuh dia sendiri. Tau Nela mulai menjauh malah kebakaran jenggot dia.

Btw terimakasih atas vote dan komen kalian yang membludak kemarin. Seneng banget atas apresiasinya. Jujur aja gak nyangka banget bakal capai target secepat itu.

3k vote and 200 comment, for next.

Selebgram in loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang