Episode. 47

560 43 0
                                    

"Oh, iya! Baru ingat waktu itu Reva pernah nyebut nama ka Zee. Berarti, kalau Zee itu kakanya Reva. Reva juga anaknya om itu dong?" gumam Ashel sambil mengarahkan mobilnya menuju sekolah.

"Tapi kenapa tiba-tiba gue mimpiin hal itu, ya? Random banget. Apa jangan-jangan itu tandanya gue emang harus menyelidiki lebih jauh mengenai tragedi itu?" ucapnya pada dirinya sendiri.

"Ka Celine kasih tau nggak, ya. Ah, jangan, deh. Dia kan lagi belajar di sana. Ntar studinya keganggu lagi. Lagian sejauh ini kan cuma asumsi gue doang. Nyoba nganalisis sendiri. Terus siapa tau semua yang gue bayangin cuma isi pikiran gue sendiri doang.

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, nggak ada salahnya juga kali ya kalau gue coba selidikin. Ya, selidik selidik santai aja sih. Kan, siapa tahu dari situ gue bisa nemu keajaiban, kalau sebenarnya orang tua gue seperti masih hidup misalnya. Yah, ini gokil, sih kalau sampai beneran begitu. Ih, kok, gue jadi mikirnya gitu, sih. Astaga, sadar Shel sadar, istigfar, mereka udah nggak ada lagi. Udah 10 tahun lebih lho mereka hilang!" Ashel berusaha menyadarkan dirinya sendiri.

Ashel memarkirkan mobilnya bersamaan dengan mobil Reva yang juga berhenti tepat di samping mobilnya. Ashel tak langsung keluar. Seketika ia jadi kepikiran sesuatu.

"Eh, kalau misal kapal yang gue naikin sekeluarga waktu itu adalah rencana pembunuhan dari bapaknya Adel gimana?" katanya tiba-tiba sambil melihat Reva yang keluar dari mobilnya dan berjalan begitu saja tanpa berniat menunggunya keluar dari mobilnya.

"ADEL!" "REVA!" Panggil Ashel dan Flora secara bersamaan.

Reva langsung menengok pada Flora dan menuju ke arahnya. Ashel tak lagi memanggil dan membiarkan mereka jalan lebih dulu.

"Udahlah, nggak mesti tiap kali ketemu gue harus selalu bareng sama Adel terus, kan. Temannya kan nggak cuma gue doang." ucap Ashel yang kemudian menyusul berjalan menuju koridor.

_______________

"Ci!" panggil Gracia pada Shani yang sedang sibuk membaca di taman depan kelas. Taman mini gitu, terus ada bangku panjangnya.

"Hm?" sahut Shani masih tak melepaskan pandangannya.

"Kamu tau, nggak?" tanya Gracia.

"Tau apa?" sahut Shani balik tanya.

"Akhir-akhir ini tuh perasaan aku mulai nggak enak terus tau." katanya.

"Emang kamu punya perasaan?" tanya Shani jahil.

"Ish, kamu mah. Aku serius tau!" - Gracia.

"Perasaan kek gimana, sih, emangnya, Gee?" - Shani.

"Dengerin dulu makanya, jangan asik baca buku terus." Omel Gracia dengan melirik julid.

Shani melihat jam pada arloji di tangan kirinya. Masih ada waktu 10 menit lagi untuk bel masuk. Ia lantas menutup bukanya dan bersiap untuk mendengarkan keluhan Gracia.

"Perasaan aku nggak enak, Ci. Aku cemas. Aku khawatir. Tapi nggak tau yang aku cemasin apaan. Aku kayak takut tapi nggak tau takut sama apa. Kamu pernah nggak ngerasain hal yang kayak gitu?" - Gracia.

Pernah. Sering malah." - Shani.

"Kasih tips-nya dong biar tenang. Nggak enak tau menjalani hari-hari dengan rasa gelisah, tuh. Kek mau kabur tapi nggak tau apa yang dihindari. Aneh banget. Nggak jelas." Gracia menggurutu cemas sekaligus sebal.

"Caranya ya kamu jangan terlalu peduli sama perasaan cemas itu. Maksudnya kek, jangan diam doang nggak ngapa-ngapain gitu. Jangan biarkan pikiran kamu lebih berkuasa dalam kepala. Jangan sampai dia yang jadi kontrol emosi kamu. Kamu harus lawan dia dengan berkegiatan yang banyak. Seperti menari, menyanyi, atau baca buku kayak aku ini. Nanti lama-lama juga perasaan itu bakalan hilang." - Gracia.

"Gimana kalau sudah banyak berkegiatan, terus cape, istirahat, tapi perasaan cemasnya lanjut kembali muncul? Berarti percuma dong kegiatannya tadi?" tanya Gracia.

Shani menghela napasnya dengan berat.

"Serahkan semuanya sama Tuhan kalau gitu. Setidaknya kamu sudah usaha dan kalau masih tetap takut dan cemas, berarti Tuhan lagi punya rencana lain. Entah itu sebuah masalah baru yang harus kamu hadapi, atau itu adalah bagian dari proses pendewasaan diri. Kalau itu bagian proses pendewasaan, maka perasaan cemas dan takut itu wajar, Gee. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Apalagi untuk orang-orang yang udah berumur kepala dua. Ketakutan dan kecemasannya pasti lebih besar dibandingkan kita yang masih jadi anak sekolah. Intinya ya, kamu harus tetap bisa kuat dan bertahan dengan apapun yang terjadi ke depannya. Harus siap juga dengan segala kemungkinan yang terjadi. Entah itu baik atau buruk. Kamu harus ikhlas menerimanya. Karena dunia selalu nggak pernah adil untuk semua orang, Gee." kata Shani panjang lebar.

Gracia tersenyum dan langsung memeluk Shani dengan erat.

"Terima kasih my bestfriend forever-nya aku atas wedangannya." ucap Gracia sambil memeluk.

"Wejangan, Gee, bukan wedang. Itumah ronde." sahut Shani dengan terkekeh.

"Iya, maksud aku itu. Ah, kamu mah. Aku kan lagi terpukau sama omongan kamu barusan, Ci." ucap Gracia dengan mencebik.

"Ah, udahan, ah. Kita ke kelas aja, ayo!" kata Shani dengan mencoba melepaskan pelukan Gracia. Tapi nggak bisa.

"Gee." panggil Shani dengan lembut.

"Nggak mau. Gendong." sahutnya dengan manja.

"Ih, malu, Gee. Udah gede masa minta gendong." - Shani.

"Gapapa. Selagi yang digendong itu aku." - Gracia.

"Nggak!" tekan Shani yang kemudian memasang muka tegasnya.

"Heh, anak kembar beda bapak! Ayo, masuk kelas!" tegur Sisca yang sudah berdiri di pintu kelas mereka.

"Bu Sisca, minta gendong, dong!" rengek Gracia tiba-tiba. Mendengar itu Shani langsung menyeret Gracia begitu saja untuk cepat masuk kelas.

"Maaf, Bu. Anaknya emang agak suka rada-rada." kata Shani dengan tersenyum meringis.

•••









Ditulis, 27 Juli 2022

AFTER RAIN [48] | {Completed} (DelShel, ZeeSha, Greshan & CH2) Where stories live. Discover now