Episode. 63

392 41 3
                                    


Jam 17:15, mobil Reva dan Ashel tiba di halaman rumah kediaman keluarga Albarach. Keduanya keluar bersamaan dan menuju pintu untuk masuk. Akses pintunya menggunakan finger print.

"Nggak usah sok ngegaya norak lu, Shel. Rumah lo aja gue tafsir begini juga kan bentukan dalamnya?" tegur Reva pas mereka tiba di ruang tengah.

"Ih, nggak, Del. Rumah gue gede, emang. Tapi dalamnya nggak seartistik rumah lo tau!" katanya yang masih dengan menatap takjub pada sekitar. "Ih, gila, ya. Ini mah lebih mirip kastil tauk, bukan rumah. Mana pilarnya gede-gede banget lagi." lanjutnya lagi dengan takjub.

"Ck, udah ah. Jangan disanjung mulu. Ini semua cuma titipan doang. Semuanya milik Allah. Keluarga gue cuma jagain aja." kata Reva seraya narik Ashel buat naik tangga spiral menuju kamarnya.

"Eh, lo mau bawa gue ke mana?" tanya Ashel berhenti di undakan tangga pertama.

"Kamar gue. Kenapa? Nggak mau? Mau langsung ke perpustakaan? Yaudah lo tungguin di sini dulu kalau gitu, gue ganti baju bentar ke atas." kata Reva dengan entengnya.

"Iya. Gue di sini aja, deh. Nungguin. Nggak enak gue baru pertama kali ke rumah lo udah lancang aja berani masuk kamar." sahut Ashel agak meringis.

"Oke. Tunggu bentar, ya. Nggak lama, kok. Paling cuma 2 jam." kata Reva berkelekar.

Kalau benaran 2 jam gue rampok rumah lo, Del." - Ashel.

"Rampok aja silakan. Anggap aja gue sedekah bagi yang membutuhkan." - Reva.

"Idih!"

Tak ada sahutan dari Reva karena ia sudah masuk ke dalam kamarnya dengan berlari.

Mendapati kesempatan sudah berada di rumah Reva. Ashel pun mulai melihat-lihat ke dinding sekitar. Ia mau cari foto keluarganya Reva. Alih-alih ketemu, ia malah disuguhkan oleh banyaknya karya lukis abstrak yang terpampang di sepanjang dinding rumahnya. Tata letaknya sudah seperti galeri seni lukis saja.

"Apa ini semua lukisan, Reva?" gumamnya.

"Iya, Non. Semua lukisan abstrak yang terpajang di dinding rumah ini hasil karya non Reva. Tuan yang kasih bingkai, biar katanya nggak jadi tumpukan barang bekas di gudang." sahut mbak Ayas seraya menyodorkan minuman dingin pada Ashel.

"Ah, terima kasih, Mbak. Maaf ngerepotin." kata Ashel.

"Ah, nggak apa-apa, Non. Emang tugas saya nyediain minuman buat tamu." kata mbak Ayas. "Oh, iya. Non Reva-nya tadi katanya lagi mandi. Jadi Non disuruh duluan aja ke perpustakaannya." lanjut mbak Ayas lagi sesaat mengingat perintah Reva yang disampaikan melalui sambungan intercom di dapur.

"Boleh, Mbak?" tanya Ashel memastikan.

"Kalau non Reva-nya yang nyuruh ya berarti boleh dong, Non." kata mbak Ayas dengan tersenyum. "Yaudah saya anterin, ya. Sekalian saya bawain minumannya ke dalam." lanjut mbak Ayas lagi.

Ashel mengangguk setuju.

"Oh, iya, Mbak. Omong-omong orangtua Adel kemana, ya? Kok, aku nggak liat mereka dari tadi?" tanya Ashel hati-hati.

"Ohh, tuan lagi di kantor, Non. Kalau nyonya kayaknya lagi ngehadirin acara gitu." - mbak Ayas.

Ashel manggut-manggut dan tak lama berselang mereka tiba di ruang perpustakaan pribadi milik keluarga Albarach. Dilihat dari luar pintunya sih kecil.

Tapi, pas mbak Ayas bukain pakai finger print. Mulut Ashel langsung membulat sepenuhnya. Dia takjub dengan betapa luasnya ruangan yang ada di dalamnya. Semerbak aroma buku dan dinginnya suhu ruangan langsung menerpanya saat diambang pintu. Mbak Ayas pun langsung permisi begitu mengantarkan sembari mengingatkan kalau pintunya agak susah ditarik kalau dari dalam sehingga harus diganjal pakai balok agar terbuka sedikit.

Ashel memang bukan jenis orang yang kerap mengabiskan waktunya dengan membaca buku. Karena ia lebih sering memanfaatkan waktunya dengan bermain game. Namun, akhir-akhir ini, ia lebih sering melakukan kegiatan baru yang menjadi fokus utamanya. Yakni, mencari tahu lebih jauh kasus yang menimpa keluarganya satu dekade yang lalu.

Alih-alih mencari buku yang ingin dibaca, Ashel lebih memilih mencari album atau pajangan foto yang ada di sini. Barangkali satu saja sudah cukup untuk membuatnya memastikan kalau pria di foto itu dan pria dimimpinya, adalah benar satu orang yang sama.

15 menit mencari tak kunjung ia temukan. Sampai akhirnya Ashel pun menyerah. Ia akan memilih untuk menanyakan ke Reva saja nanti secara langsung.

Ia mendudukkan diri di salah satu bangku dengan meja seperti meja kantor di depannya. Ashel tak berpikir macam-macam karena dia pikir ini mungkin kursi meja buat baca buku sambil duduk ala keluarganya Reva. Bukan meja orang kerja.

Selagi dia asik leha leha sambil regangin punggung, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di balik laci yang ada di bawah meja. Dia tidak penasaran, tapi tangannya bergerak untuk meraih map tersebut.

Dia buka. Dan....

______________________

Plak!

Wajah Jesslyn tiba-tiba ditampar oleh seorang pria tepat ketika Marsha baru pulang sekolah diantarkan oleh Azizi.

"Mama!!!" seru Marsha seraya berlari mengampiri mamanya yang terjatuh di teras rumah.

Azizi membulatkan matanya begitu tahu siapa pria yang telah menampar ibu sahabatnya itu.

"Om itu siapa berani-beraninya nampar ibu saya!?" sentak Marsha.

"Oohh, jadi ini anak gadisnya Lucas. Bagus juga kau besarkan dia dengan hasil kebun jahemu itu, Jes." ucap Haruto dengan tersenyum penuh arti.

"GUE BILANG PERGI NGGAK LO SEKARANG! DASAR KEP***T!! BAJ***AN!! KELUAR LO DARI RUMAH GUE ANJ***!!" seru Jeslyn dengan segenap kemarahannya. Sesering seringnya Marsha lihat ibunya suka ngomel-ngomel, tak pernah ia lihat Jesslyn semurka ini.

Haruto tersenyum penuh arti sambil menatap Marsha. Seraya mulai beranjak pergi dari sana. Sedang Azizi masih mematung di tempatnya. Pikirannya mulai berkecamuk.

Ada hubungan apa ya ayah Flora dengan mamanya Marsha? Dan, kenapa setelah melihat wajahnya secara dekat mukanya makin sangat mirip sekali dengan papa!?

•••




Ditulis, 12 Agustus 2022

AFTER RAIN [48] | {Completed} (DelShel, ZeeSha, Greshan & CH2) Where stories live. Discover now