23. Sebuah Keputusan

35K 4.5K 42
                                    

Langit sudah menguning begitu Ganesh mengantarkan Jeya pulang. Jeya lebih banyak diam. Bersuara ketika Ganesh tanya, itu pun hanya jawaban singkat. Ganesh berasumsi mungkin Jeya masih trauma akan kejadian yang menimpanya di gang tadi.

Jeya menyerahkan helmnya pada Ganesh.
"Kamu langsung pulang aja, soalnya Mama nggak lagi di rumah."

Mata Jeya masih bengkak dengan suara serak. Sebenarnya Ganesh khawatir meninggalkan Jeya sekarang. Apalagi ketika Tante Ratih tak ada, artinya Jeya sendirian di rumah. Namun, Ganesh juga tak bisa tinggal, tetangga akan berbicara macam-macam kalau mereka hanya berduaan.

"Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku ya, Je."

"Iya."

Ganesh akhirnya pergi dari sana. Jeya melambaikan tangan beserta seulas senyum. Begitu motor cowok itu tak terlihat lagi, Jeya membalikan tubuh dan di saat itu ia tak bisa menahan tangisnya lagi. Air matanya terus berbondong-bondong mengaliri pipinya meski sudah Jeya tepis berkali-kali.

Jeya berjalan cepat menuju rumahnya, namun begitu melewati pintu Jeya tak sanggup lagi, ia berjongkok lalu mulai terisak. Ia memeluk lututnya erat, seerat ia ingin menghilangkan sesak di dadanya. Pertengkaran Ganesh dan Ferdi kembali terngiang dalam kepalanya, membuat hatinya terasa semakin sakit.

"Ya Ampun sayang, kamu kenapa?" Ratih datang menghampiri, membuat Jeya mendongak lalu berhambur ke dalam pelukannya.

Jeya tak lagi segan dengan tangisannya. Semua sesaknya ia tumpahkan pada iskan bahkan erangan.

"Ma, a-aku be-bego bang-et, ya?"

oOo

Jeya menceritakan semuanya pada Ratih. Tentang dia dan Ganesh yang pacaran karena kesalahan. Ganesh yang sebenarnya menyukai Sica, hingga pertengkaran Ganesh dan Ferdi tadi yang membuat Jeya tersadar. Semuanya tak ada yang terlewat sedikit pun.

"Jeya selama ini cuma jadi benalu buat Ganesh. Jeya cuma ngerepotin dia."

Ratih mengusap-usap punggung Jeya. Sebagai seorang ibu ia juga ikut sedih melihat putrinya seperti ini. Namun ia juga tak marah, karena setelah mendengar semua ceritanya, Ratih tahu tak ada yang salah. Ini hanya soal pemikiran yang berbeda sudut pandang ketika dihadapkan pada suatu hal.

"Tapi, Je. Kalo liat perlakuan Ganesh ke kamu, dia kayak sayang sama kamu." Atau matanya saja yang salah menilai selama ini?

"Itu karena Ganesh terlalu baik." Jeya menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Bahkan aku bikin Ferdi sama Rista repot," lanjutnya dengan wajah yang kian menyendu saja.

"Ini bukan salah kamu, jadi kamu nggak perlu terus-terusan nyalahin diri kamu."

"Mama jangan ngehibur aku pake cara begitu, aku tau semua ini salah aku."

Ratih tersenyum lalu membawa Jeya ke dalam pelukannya lagi. "Je, kamu tau nggak, cara melatih diri yang cepat itu bukan dari kita yang dengerin pembelajaran dari motivator hebat, pelajari teori ini itu. Melainkan dengan kita rasain jatuh pada kesalahan lalu belajar dari sana." Ratih mengusap rambut Jeya lembut.

"Memang sakit, tapi dari sana kamu akan mengerti. Mungkin kenapa sekarang kamu ada di titik ini, karena Tuhan pengen kamu menjadi Jeya dengan versi yang lebih baik. Mama yakin dari kejadian ini kamu banyak belajar."

Jeya mendongak menatap wajah Mamanya. Ratih pun tersenyum seraya mengusap sisa-sisa air mata di pipi Jeya.

"Jadi kamu nggak perlu berlarut-larut sedih dan nyalahin diri. Kamu juga jangan marah ya sama yang lain."

"Jeya nggak marah sama siapa pun."

"Ganesh?"

Jeya menggeleng.

Katanya Mantan [TAMAT]Where stories live. Discover now