31. Pengakuan

34.4K 4.4K 109
                                    

"Ini cuma sugesti dari kata-kata Billa."

Mata Jeya memandang pada dua manusia yang menjadi pengisi baru area parkir. Tawa mereka hadir begitu si cowok membantu membukakan pengunci helm yang macet. Entah apa yang mereka perbincangkan yang jelas mereka terlihat begitu dekat

Jeya tanpa sadar mencengkeram kuat tali tasnya.
Merasa sesak, tidak nyaman, bahkan rasa panas. Yang saat ini dirinya rasakan, pasti karena sugesti dari Bella.

Jeya menggeleng-geleng. Kenapa sebesar apa pun ia menyangkal. Perasaannya malah terasa lebih buruk.

"Pagi, Je," sapa Galih dengan senyuman cerahnya.

Jeya dengan wajah gloomy-nya hanya menoleh sebentar kemudian berlalu pergi. Galih tentunya keheranan dengan respon Jeya yang tak biasa itu.

"Gue ada salah nggak sih?"

oOo

Hari ini semua yang ada di hidup Jeya kacau!
Dia banyak melamun hingga beberapa kali ditegur guru, dia salah memotong pola padahal bahannya pas, dia bahkan memesankan Rista jus stroberi padahal cewek itu anti.

Ketika ditanya ada apa, Jeya hanya akan menjawab tidak ada apa-apa lalu melengos pergi untuk memperbaiki kesalahan yang dia buat.

Jeya mengetuk-ngetuk kepalanya. Seandainya semalam dia tidak berbicara dengan Bella, seandainya tadi pagi dia langsung pergi dari parkiran daripada memerhatikan mereka, dan seandainya ia tidak pergi ke atap dan langsung pulang saja setelah kumpulan.

Tangan Jeya yang berada di pegangan tangga itu mencengkeram kuat. Tepat di tangga kelima sebelum ia bisa menginjak permukaan atap, matanya melihat Sica dan Ganesh yang ada di sana. Di antara cahaya matahari sore yang memberi ketenangan, angin berhembus lembut yang memberi kedamaian. Suasana yang sangat tepat untuk mereka, namun terasa begitu buruk bagi Jeya. Tubuhnya bahkan sudah bergetar sekarang.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo, Ca."

Jeya berbalik, ia tahu apa kelanjutannya, dan Jeya bukan orang bodoh untuk membuat dirinya semakin sakit di sana.

Jeya menuruni kembali tangga itu, berjalan menjauh dengan pandangan mengabur.

"Gue kenapa sih?" Jeya mencoba mengipas-ngipasi  matanya, namun bukannya berhenti air matanya justru lebih semangat keluar.

"Lo kenapa sih, Jeya," suara Jeya ikut bergetar. Hingga ketika tiba di taman biologi, Jeya tak sanggup melanjutkan langkahnya lagi. Ia berjongkok lalu memeluk lututnya. Tangisannya tak lagi ia tahan, ia terisak dengan sangat menyakitkan.

"Kenapa gue nggak suka mereka bersama?"

oOo

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo, Ca."
Seharian ini Ferdi terus menerornya dengan pesan-pesan yang menyuruh Ganesh cepat bertindak. Hal ini juga mungkin yang membuat Ganesh mengajak Sica bertemu di sini

"Ngomong aja."

"Gue...." ucapan Ganesh terhenti, seperti ada sebuah batu dalam kerongkongannya yang menolak dirinya melakukan itu.
Ganesh memandangi Sica yang menantikan dirinya berbicara. Namun, Ganesh tidak bisa. Meskipun Ferdi bilang ini waktu yang tepat, hati Ganesh sekarang jelas-jelas menolak.

Ganesh juga tak tahu, bahkan sekarang dalam kepalanya malah ada bayangan Jeya. Ganesh tak mengira ternyata dia sebrengsek ini. Maksudnya dia di sini mau menyatakan perasaan, tapi di kepalanya malah ada cewek lain.

"Gue...." Rahang Ganesh mencakup keras seolah dirinya sendiri juga menolak apa yang ingin dirinya katakan. Hatinya bahkan berseru seandainya ia berhasil mengucapkan, hal itu akan menjadi kesalahan.

Katanya Mantan [TAMAT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora