47. Salah Tingkah

31.9K 3.9K 25
                                    

"Tadi sih agak anget, tapi Jeya bilang dia nggak papa, cuma ngantuk aja. Makanya setelah sarapan dia langsung tidur lagi, belum bangun sampe sekarang."

Ganesh mengangguk mengerti. Ia pun mengulurkan paper bag yang dibawanya, alasan kenapa dia datang ke rumah ini.

"Oh iya, Tan. Ini ada kado yang jatuh ke bawah jok, jadi semalam nggak kebawa."

"Aduh, ngerepotin kamu ya, sampe harus nganterin ke sini, padahal mungkin sekarang waktunya kamu istirahat."

Hari ini sekolah diliburkan, memberi ruang untuk istirahat katanya. Tentu itu hanya cover, karena jam satu siang nanti semua panitia disuruh berkumpul untuk membereskan semua seperti semula, agar sekolah kembali layak dipakai untuk keesokannya.

"Nggak kok, Tan. Sekalian jogging kok." Hoodie, celana selutut, dan titik-titik keringat di pelipis menjadi penjelas ucapannya.

"Yaudah, masuk yuk."

Ratih pun memberi ruang untuk mempersilahkan Ganesh masuk. Mereka duduk di ruang tamu dengan paper bag yang sudah diletakkan di atas meja. Ada senyum hangat begitu Ratih memandanginya.

"Temen-temen Jeya baik banget. Padahal katanya mereka kenal belum lama, ya." Siapa Ibu yang tak senang ketika anaknya mendapatkan perhatian baik dari orang. Apalagi seorang Jeya, Ratih benar-benar merasa bangga.

"Iya, Tan. Mereka kenal karena jadi panitia. Karena Jeya orangnya baik, mereka jadi seneng sama Jeya."

Ratih mengangguk-angguk. "Oh iya, waktu itu juga Jeya pernah dapet kado padahal kamu yang ulang tahun."

"Oh iya, yang itu. Dia junior aku di OSIS."

"Tante bersyukur banget banyak yang sayang sama Jeya." Wanita itu tersenyum. Ada pancar bahagia dari sorot matanya yang begitu jelas.

"Ini semua berkat kamu, Nesh."

"Bukan, Tan. Itu semua berkat Jeya sendiri."

Ratih menggeleng. "Dulu Tante itu selalu khawatir sama Jeya. Gimana pertemanannya, gimana dia interaksi sama orang di sekolah. Karena sifat Jeya itu beda, nggak semua orang mungkin bisa ngerti dia. Tante takut kalo Jeya ketemu orang yang punya kesabaran tipis." Ratih menatap ke arah rak, di mana di sana ada foto Jeya dan 2 temannya ketika masih berusia sekitar 10 tahun.

"Jeya memang punya Rista sama Bella, nggak perlu diragukan, mereka selalu ngelindungi Jeya dari kecil. Tapi Tante juga sadar mereka tumbuh, mereka akan mulai tertarik pada lawan jenis dan menjalin hubungan. Tentu Jeya nggak mungkin jadi prioritas utama mereka lagi." Ratih menghela napas kecil.

"Kalo Rista sama Bella punya pacar, Jeya sama siapa? Tante tau kekhawatiran Tante itu berlebih. Tante juga bukan nilai Jeya nggak bakal laku. Jeya cantik, pasti banyak yang suka sama dia. Tapi di saat itu Tante sama sekali belum ngeliat Jeya ada ketertarikan sama hal yang kayak gitu. Dan dia pun nggak punya perkembangan dalam pertemanannya. Tante khawatir Jeya akan sendirian."

Ganesh mengerti. Jeya bukanlah orang yang menonjol, dulu Ganesh bahkan tak terpikir untuk bisa dekat dengannya. Jeya bukan menarik diri, dia ramah, bahkan dia menjadi satu-satunya yang memberikan sapaan setiap pagi ketika memasuki kelas. Namun, butuh waktu untuk menjadikannya teman ngobrol. Pemikirannya yang tak seirama menjadi hambatan. Benar, butuh rasa sabar untuk mengenal Jeya. Namun, ketika sudah mengenalnya, jangan berharap bisa lepas. Karena Jeya seperti punya tali untuk mengikat orang-orang agar tetap di sisinya. Kekurangannya yang membuat orang lain kesulitan satu irama dengannya, justru menjadi poin yang membuat orang-orang ingin melindunginya begitu sudah mengenal.

"Tante kaget banget waktu dulu dia tiba-tiba bilang punya pacar. Tante sebenarnya agak takut, jangan-jangan Jeya memaksakan diri buat sama kayak temannya." Ratih menatap Ganesh, dengan senyuman lembut.

Katanya Mantan [TAMAT]Where stories live. Discover now