42. What's wrong with me?

34.7K 4K 26
                                    

Jeya berkedip dua kali. Pandangannya tetap lurus ke depan meski Ganesh kini menumpukan kepala pada bahunya. Dia kaget, atau lebih tepatnya tidak mengerti.
Ketidakkunjungannya memberi respon membuat Ganesh mulai cemas sendiri.

Kediaman cewek itu membuatnya berpikir, apa Jeya tak suka akan pernyataannya?
Ya memang, siapa yang akan suka jika dilarang-larang?
Ganesh sepertinya baru saja melakukan kesalahan karena mengedepankan rasa yang mengganggu dadanya. Harusnya tadi ia lebih bisa mengontrol dirinya. Meskipun benar dadanya terasa terbakar, harusnya Ganesh tak mengatakannya.

Perlahan Ganesh pun menegakkan kembali tubuhnya. Ia menatap Jeya yang masih seperti patung.

Ganesh pikir suasana akan menjadi lebih baik ketika ia mengatakannya. Namun melihat Jeya yang seperti ini justru membuat perasaannya semakin berantakan. Mengetahui jika yang kita rasakan menjadi beban untuk orang lain ternyata ... tidak mengenakan.

"Maaf kalau aku bikin kamu terbebani, kamu ... bisa anggap aku nggak pernah ngomong barusan." Ganesh hendak pergi dan membiarkan Jeya dengan kebebasannya, menikmati acara seperti yang tadi pagi cewek itu katakan--dan tentu untuk mewaraskan dulu kepalanya. Ia akan mengomeli dirinya, menekan untuk berpikir sehat, atau apa pun itu.

Namun, tangan lentik itu tiba-tiba memeganginya, tanpa tenaga namun mampu membuat Ganesh kembali berbalik padanya.

"Eu...." Jeya menunduk seraya melirik ujung sepatunya dengan gugup. Barusan seperti secepat kilat ia menghindari kontak mata dengan Ganesh. "Aku nggak ngerasa terbebani kok," jelasnya dengan pelan.

"Tapi kamu...."

Jeya menunduk semakin dalam dengan jemari bertaut yang bergerak resah. "Aku cuma nggak ngerti apa yang harus aku lakuin kalo ada yang bilang cemburu." Jeya mengigit bibirnya. Selanjutnya ia terpejam, merutuki diri karena sepertinya ia tak perlu mengucapkan hal barusan.

"Eh, sebagai asisten apa yang harus aku lakuin pertama?" alih cewek itu cepat. Jeya tak tahu apa ini terlalu kelihatan atau tidak, tapi ia memilih memalingkan muka. Takut-takut pipinya terlihat merah karena sekarang ia merasakan panas di sekitaran sana.

Ganesh mengerjap. "Hah?"

"Apa tugas pertama aku sebagai asisten kamu?" ulang Jeya.

Dan Ganesh seperti baru mendapatkan kesadarannya. Refleksnya barusan bukan karena ia tak mendengar apa yang Jeya katakan, ia hanya tidak memerkirakan balasan kalimat seperti itu. Ganesh menggaruk belakang lehernya dengan gestur yang gugup.

"Eu ... jadi kamu nggak benci sama aku?"

"Aku nggak benci kamu kok!" sergah Jeya cepat seraya menatap cowok itu. Apa karena berbicara tanpa melihat lawan mungkin membuat Ganesh salah paham hingga menganggap Jeya membencinya? Padahal Jeya menunduk karena entah mengapa ia seperti merasa tidak mampu ketika menatap cowok itu, jantungnya berdebar kuat. Ini aneh. Padahal biasanya tidak seperti itu. Maksudnya Jeya juga pernah berdebar ketika sedang bersama Ganesh pada saat-saat tertentu. Jeya tak perlu memeriksakan ini, ia yakin bukan penyakit, karena di samping berdebar ia juga merasakan senang. Tapi ia masih kesulitan mendeskripsikan maksudnya.

"Aku barusan larang-larang kamu dan secara nggak langsung bikin batasan buat apa yang kamu inginkan."

"Kamu pasti bilang gitu buat kebaikan aku juga," tutur Jeya tanpa sedikit pun ragu apalagi rasa terganggu.

"Kamu percaya Je, sama aku?"

Jeya mengangguk mantap. Seolah tak perlu berpikir lagi soal hal itu. Semua yang sudah mereka lalui sudah membuktikannya.

Perlahan sudut-sudut bibir Ganesh tertarik dengan wajah yang kentara merasakan kelegaan.

"Makasih."

Terimakasih atas kepercayaannya. Karena Jeya yang mau berusaha memahami tingkah anehnya hari ini meski sebenarnya Jeya juga tidak menyadari bahwa dirinya sendiri  sudah berusaha keras. Tentu Ganesh tak akan mengatakannya karena hanya akan membuat Jeya kebingungan.

Katanya Mantan [TAMAT]Where stories live. Discover now