41. Pensi

34.8K 4.6K 115
                                    

Ganesh keluar dari ruangan OSIS setelah memastikan Jeya terlelap. Ia menyusun bangku dengan posisi saling berhadapan hingga baik kiri atau kanan Jeya terhalang sandarannya. Jadi cewek itu aman dari kemungkinan terjatuh seandainya ia beraksi dalam tidurnya.

Ganesh menilik ponselnya, membaca ulang pesan yang beberapa saat lalu masuk sebelum berjalan ke arah kelas X-5. Semakin mendekat, sayup-sayup Ganesh mendengar melodi gitar. Suaranya semakin jelas beriring mata Ganesh yang menangkap sosoknya.
Di salah satu bangku depan kelas, Lukas Pradipta, vokalis dari band kebanggaan sekolahnya, duduk sendirian.

"Eh, Kas, sorry ya. Nunggu lama?" tanya Ganesh begitu ia berhasil menghampirinya.

"Eh, santai aja bro." Mereka pun bersalaman ala anak cowok.

Lukas itu anak sosial. Namun karena Ganesh beberapa kali melihat penampilan band-nya, mereka pun menjadi akrab dengan sendirinya.

"Padahal lo nggak perlu ke sini juga, udah jam 2 gini." Ganesh melirik jam di tangannya kemudian berdecak tak enak.

"Gue habis manggung kok. Ya, kebetulan juga lewat sini, jadi sekalian aja, biar bisa obrolin konsepnya secara langsung." Cowok dengan sebelah telinga beranting magnet itu tersenyum. Ia menyimpan gitarnya di bawah. Kedua tangannya saling bertaut pertanda ia akan menyimak pembicaraan dengan baik.

"Jadi lo pengennya gimana?"

oOo

Hari acara.

Luar biasa! Jeya bahkan merasa kalimat itu kurang untuk mengungkapkan suasana sekarang. Banyak sekali orang, tawa, keceriaan. Pokoknya semua menyenangkan. Jeya yang sempat lesu di pagi hari karena kurang tidur semalam itu menjadi ceria. Stand-stand bazar penuh. Lapangan untuk menonton kreasi seni anak-anak sekolahan tak kalah ramai.

Antusiasmenya luar biasa. Terutama dari sekolah lain yang memang penjualan tiketnya melampaui dari target yang ditentukan.
Kalau Jeya berjualan, pasti laku juga. Sayang saja meski Reza sudah menyediakan stand tapi karena waktu Jeya sudah habis untuk mempersiapkan acara ini, jadi Jeya tak sempat membuat gelang untuk dijual.

Jeya berjalan keluar dari area stand setelah berhasil mendapatkan sosis bakar. Teman-teman panitianya menyuruh Jeya untuk tidak memedulikan acara lagi. Karena sudah banyak membantu, Jeya dikasih tiket VVIP untuk berkeliaran. Bahkan sedari tadi Jeya keluar-masuk stand tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

Jeya jadi terharu, dia diperlakukan sudah seperti ratu saja. Padahal Jeya juga tahu banyak panitia yang jauh lebih bekerja keras daripada dirinya. Lebih pantas mendapatkan hak istimewa ini.

"Lo itu anak bawang Je soal urusan begini, tapi lo udah kerja melebihi porsi lo, makanya ini tuh semacam gift dari kita," jelas Divia ketika Jeya bertanya apa tidak apa-apa Jeya mendapatkan tiket VVIP ini. Divia juga menjelaskan panitia sebenarnya kewajiban anak OSIS dan MPK, jadi kehadiran Jeya yang dari luar sudah seperti bala bantuan.

"Rista!" Jeya melambai-lambai begitu dirinya menemukan sang teman tercinta. Sudah lama tak sama-sama, chatting pun tak ada waktu. Meski menyebalkan, tenyata Jeya merindukan cewek itu.

"Loh Je, lo malah berkeliaran, bukannya panitia?" Bukannya menyambut Jeya yang sudah merentangkan tangan, Rista malah sudah melayangkan tatapan seolah Jeya melakukan kesalahan.

Jeya menghela napas dan menurunkan kembali tangannya, urung memeluk. Ia pun merogoh saku kemudian menunjukkan tiket VVIP yang mungkin hanya ada satu-satunya.

"Eh kok gue baru liat. Bukannya cuma sampai VIP?"heran Rista seraya membenarkan ikat rambutnya.

"Dibuat khusus buat gue dong," jawab Jeya dengan penuh rasa bangga. "Iri 'kan? Dengki 'kan?"

Katanya Mantan [TAMAT]Where stories live. Discover now