27. Pengakuan

35.1K 4.2K 24
                                    

Ganesh menunduk dengan tangan saling bertaut. Di depannya ada Ferdi yang terlihat sangat kacau. Bahkan Ganesh bisa melihat ada air mata yang mengalir meskipun dia sembunyikan dengan menunduk dan tangan yang berpura-pura memijat kening.

Dua hari kealpaannya di sekolah ternyata karena kondisi Mamanya yang menurun. Ganesh merasa buruk, dia sahabatnya, hanya karena ego setelah pertengkaran itu, Ganesh malah tak ada di saat Ferdi membutuhkan seseorang, setidaknya untuk menjadi teman duduk di bangku tunggu atau pengganti saat dia pulang mengganti baju.

Setelah lama menunggu, seorang dokter dan beberapa perawat keluar dari ruangan, Ferdi dengan cepat berdiri dan menghampirinya.

"Bu Hesti berhasil melewati masa kritisnya."

Ferdi terlihat berucap syukur dan bernapas lega. Dokter itu pergi. Sementara Ferdi melihat kondisi Mamanya dari jendela kecil di pintu.
Ganesh mendekat kemudian menepuk-nepuk punggung cowok yang tidak setangguh kelihatannya. Benar yang diucapkan Ferdi waktu itu, Ganesh yang tahu seperti apa kondisi Ferdi sebenarnya.

"Lo minta kode dipeluk atau apa?" Ferdi menoleh dengan senyum jenaka meski matanya terlihat basah. Dia memang tipe orang yang akan tetap membawa canda sesakit apa pun dia. Karena bagi Ferdi membuat orang ikut bersedih kerena kesedihannya adalah keharaman.

"Kalo lo perlu, gue relain tubuh gue kok," balas Ganesh seraya merentangkan tangannya.

Ferdi hanya meninju pelan bahu Ganesh kemudian kembali duduk di bangku tunggu. Ganesh mengekori. Kali ini ia duduk di sampingnya, bukan di seberang seperti tadi.

"Sorry...." ucap Ferdi dengan wajah menunduk. Meski pun dia dikenal Jeya sebagai orang tak tahu diri, tapi dia masih manusia yang memiliki hati.

"Sampah banget 'kan anjir gue, padahal udah marah-marahin lo, tapi di situasi gini gue malah hubungin lo."

Ferdi anak tunggal, ibunya sakit-sakitan sementara ayahnya kurang punya waktu karena pekerjaan

"Lo bakal maafin gue nggak sih kalo gue bilang cuma lo yang gue punya?" Ferdi mendongak dengan gestur ragu-ragu.

Ganesh terkekeh. "Gue tinju yang ada."

Ferdi pun ikut tertawa. Meski tak sama-sama terucap mereka saling memahami bahwa mereka sudah saling memaafkan satu sama lain. Sepakat tanpa terucap kalau kejadian waktu itu mereka anggap tak ada.

oOo

"Pagi, Je."

Jeya yang selesai memarkir Bebi dan meletakan helm dengan penuh hati-hati itu menoleh.

"Eh Galih."
Jeya melambai dengan senyum ramah yang dipancarkan. Pagi yang cerah wajib disambut dengan wajah cerah pula.

Mata Jeya kemudian terpaku pada bawaan dalam dekapan Galih yang dipastikan itu bagian dari properti.

"Bawaannya banyak banget, sini gue bantu."

Galih mundur beberapa langkah, menghindari tangan Jeya yang terulur."Enggak perlu, Je. Lagian ini keliatannya aja gede, tapi ringan kok," tolaknya dengan halus.

"Beneran?"

Galih mengangguk.

"Yaudah gue temenin jalan aja, mau ke ruang OSIS 'kan? Kebetulan gue juga mau ngambil kotak pensil gue yang kemarin ketinggalan."

"Iya sih ini emang mau disimpen ke ruang OSIS tapi gue sama Aldi mau benerin dulu di kelas. Jadi sorry ya, Je." Galih tersenyum dengan raut bersalah.

"Oh...." Ada nada kecewa dari bibir Jeya. Bukan apa-apa, ruang OSIS sama artinya dengan rumah Ganesh. Besar kemungkinan Jeya akan bertemu dengan cowok itu. Pasti aneh jika mereka bertemu namun sama-sama bungkam. Tapi kalau misalnya Jeya membawa teman, Jeya cukup sok sibuk dengan temannya itu dan kembali keluar ruangan tanpa rasa canggung.

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang