2. Pulang Aja Sana!

116 12 18
                                    

Saat ada kata berjuang yang keluar dari lisanmu.

Maka, mantapkan hati dan luruskan niat.

Pertama, aku tidak tahu kalau malam ini pukul 19.30 akan ada open house, pertemuan pimpinan IMRI dengan kader-kader baru. Kader baru yang dimaksud adalah mahasiswa baru atau mahasiswa lama yang baru mendaftar IMRI. Itu juga kata Hilda yang sudah mencari tahu lebih dahulu. Kader itu juga artinya orang yang diharapkan mampu menjadi bagian dari pimpinan dan aku tidak sama sekali berniat menjadi pemimpin. Aku mana peduli. Bagaimana aku mau memimpin orang kalau aku saja begini buruk adanya.

Sehabis kuliah sore ini, aku dan Hilda yang antusias sengaja tidak pulang dan memilih menunggu di kampus saja. Aku sih menghemat ongkos bolak-balik. Hilda sih ngekos di dekat kampus. Bisa banget pulang dulu, tapi dia ogah. Kalau aku naik angkutan umum dari rumah. Kenapa tiba-tiba aku mau diajak Hilda kumpul bersama dengan pimpinan IMRI? Malam harinya setelah kejadian Hilda marah padaku, aku menelponnya dan bilang kalau aku mau menemaninya memperjuangkan lelaki idaman Hilda sampai dapat.

Hilda senang sekali malam itu. aku bisa dengar Hilda berteriak-teriak kegirangan atas keputusanku. Sementara aku biasa saja sambil menatap tembok kamarku dengan tatapan kosong. Aku masih kurang terima sih, tapi Hilda sahabat terbaikku di kampus.

Kalau Hilda pergi dan menjauh dariku, kemana lagi aku bisa mencari ketenangan untuk curhat. Aku tidak bisa lagi menumpang di kosannya untuk sekadar curhat. Aku tidak sanggup sendirian. Aku butuh Hilda. Oke, tidak apa-apa. Aku harus bertahan. Ini cuma demi Hilda bahagia. Ini cuma misi menemani Hilda saja. Lanjut.

Kedua, aku ingin bilang bahwa aku tidak pernah pakai kerudung, kecuali kerudung selempang yang rambutnya masih kelihatan kalau aku memakainya. Oh, lebih tepatnya seperti selendang, bukan kerudung. Itupun aku pakai hanya ketika lebaran berkunjung ke rumah-rumah orang. Gerah soalnya.

Kedua, aku dipaksa Hilda memakai kerudung segi empat yang baru kita beli dan entah bagimana cara memakainya dengan benar. Ini saja Hilda yang membawakan dan aku harus berubah style dulu di toilet kampus sebelum masuk kelas. Aku mana punya. Punya sih, punya mama. Aku hanya menggunakan satu peniti di leher dan sisa kerudung yang terjurai kusampirkan ke atas bahu.

Ketiga, aku tidak persiapan kostum. Payahnya, aku mesti mempermalukan diriku dengan kostum yang salah. Paling-paling nanti ada yang mengkritikku di belakang, entah siapapun itu soal penampilanku yang absurd ini. Atas memakai kerudung merah marun, baju kemeja abu-abu polos, celana jins hitam ketat. Sudahlah, aku tahu penampilanku tidak sesuai tempat. Aku terima.

Sementara Hilda, sudah jelas dia tidak salah kostum karena dia tidak bilang-bilang sih kalau hari ini kumpul. Lupa, katanya sambil cekikikan. Tanpa dosa. Dasar curang. Aku nyaris emosi, tapi ya sudah lah, tidak ada gunanya. Aku juga tidak peduli, lagian siapa sih yang bakal melirik aku? Mau aku pakai kostum pemadam kebakaran juga pasti tetap tidak ada yang terpesona. Sudah pasti tidak ada. Paling ya hanya melirik ketika menganggapku salah lokasi kumpul.

Hilda luwes sekali penampilannya dan sudah membuat satu kelas kuliah kami tadi syock dengan penampilan Hilda yang berubah 180 derajat. Perempuan itu memakai gamis warna merah muda dan jilbab putih. Wajahnya masih di make up seperti biasanya dengan alis mata yang tebal, maskara, eyeliner, dan lipstick merah muda. Sedangkan aku, mana peduli make up seheboh itu. Aku hanya butuh dandan sewajarnya. Tidak bohong sih kalau aku bilang Hilda lebih cantik dan anggun menggunakan jilbab begini daripada biasanya.

Sepertinya Hilda tidak main-main untuk mendapatkan perhatian Tirta. Kok bisa ya dia suka sama orang sampai segitunya? Ketua IMRI lagi. Aku kadang-kadang heran dengan orang seperti ini. Aku tidak pernah begitu soalnya. Cerita cintaku selalu suram, jadi lebih baik untuk tidak diceritakan.

Bismillah Denganmu ✔ [NEW]Where stories live. Discover now