14. Curhat Bersama Sahabat

33 9 6
                                    

Jangan mudah terbawa perasaan hanya karena merasa dekat.

Barangkali dia bersikap baik dan ramah ke semua orang.

Gara-gara cerita Kak Ratna soal Alwi dan gebetannya waktu SMA, aku jadi kepikiran terus setiap hari. Kasihan juga dijadikan alat dan pelampiasan. Tega banget sahabatnya. Seburuk-buruknya kelakuanku juga aku tidak sampai hati harus mempermainkan perasaan laki-laki seperti itu. Sampai trauma pula. Kasihan juga Kak Alwi. Eh, kok aku jadi peduli sih? Ngapain coba? Tapi emang kasihan. Gimana ya.

Kak Alwi pernah sepatah hati itu karena sahabatnya. Orang yang dekat banget sama dia. Apa itu ya yang ngebuat Kak Alwi juga hijrah karena nggak mau lagi dekat sama perempuan tapi ujung-ujungnya cuma penyesalan. Dia mau yang serius. Tapi kan buat tahu dia serius atau nggak juga nggak gampang. Tapi aku juga tidak tahu sih selera Kak Alwi seperti apa. Eh, ngapain juga aku peduli tentang selera Kak Alwi. Aku mengipas-ngipas wajahku berusaha melupakan ini semua.

Kupegang tiga gelang pernak-pernik yang Kak Alwi berikan padaku. Kami belum bertemu lagi setelah kejadian aku dikenalkan oleh kakaknya. Entah ke mana dia. Saat aku main ke basecamp pun dia tidak ada. Padahal biasanya ada. Dasar orang aneh. Ya, mungkin sibuk. Tapi, kita satu fakultas pun aku tidak tahu ke mana dia berkeliaran. Ih, aku menepuk pipiku sendiri. Kenapa aku jadi seolah rindu begini sih. Hatiku tidak beres.

"Hulaaa my bestfriend!" seru Hilda sembari menepuk bahuku, membuatku terkejut. "Ngapain sih diem aja di sini? Dicari-cariin dari tadi, tahunya ngumpet di rooftop!"

"Dari mana lu? Happy banget kayaknya," tanyaku balik, mengabaikan pertanyaan Hilda.

"Ketemu Tirta dong di basecamp. Lo sendiri kenapa nggak ke basecamp? Gue tahu banget nih, kalau lo udah ke rooftop gini, biasanya lo lagi sedih."

"Nggak sedih. Cuma males. Lagi pingin sendiri."

"Kenapa? Ada masalah? Mama lo kenapa? Atau Papa lo?"

"Nggak... bukan masalah keluarga kok."

"Terus apa? Masalah hati?"

"Bukan!"

Hilda tiba-tiba menyentuh gelang dari Alwi yang kukenakan. Dia mengamati satu per satu gelangnya, lalu berkomentar.

"Ih, lucu! Cantik! Lo beli di mana?"

"Dikasih."

"Siapa yang kasih lo barang selain gue?"

"Ah, kepo lo. Udah ah," aku menepis tangannya.

"Tadi tuh lo ke mana? Alwi cariin lo tahu."

"Hah?! Alwi tadi di basecamp?" kelewatan satu momen aku. Giliran aku tidak ke sana, Alwi malah ke sana.

Hilda mengangguk, "Bentar doang sih, habis itu pergi lagi."

"Cariin gue gimananya?"

"Cieee kepooo... lo juga cariin dia ya jangan-jangan?"

"Apaan sih, enggak! Gue cuma penasaran ngapain dia cariin gue."

"Iya, tadi dia mampir ke basecamp sebentar, terus pas lihat gue, dia tanya 'Eh, Hilda. Tumben sendiri, Azza mana?' ya terus gue bilang nggak tahu lah. Lagi nggak ada kelas, jadi nggak bareng. Terus, dia jawab 'oh...' udah. Terus pergi lagi."

"Dateng, nongol, cariin gue, terus pergi?" tanyaku yang langsung dibalas anggukan dari Hilda. "Aneh banget. Nggak ngerti gue."

"Yang lo pingin ngerti gimana? Perasaan dia ke lo?"

"Apaan sih, kok jadi itu."

"Lo udah seberapa deket sih sama dia?"

"Deket apanya sih? Gue nggak deket sama dia sama sekali."

Bismillah Denganmu ✔ [NEW]Место, где живут истории. Откройте их для себя