12. Game

36 9 7
                                    

Momen-momen indah seperti kebersamaan akan selalu melekat di hati.

Berterima kasihlah kepada orang-orang yang menciptakan kenangan indah itu.

Aku mengecek jam di pergelangan tanganku saat kami para kader baru dibangunkan. Pukul 02.00, aku terkejut. Baru juga tidur pukul 22.00, mana tidurnya di pendopo uyel-uyelan sama peserta lain. Nggak ada nikmat-nikmatnya sama sekali. Kita disuruh cuci muka dan bersiap-siap diri dulu sejenak untuk ke toilet bergantian karena ada game malam hari ini. Benar-benar mengganggu.

Aku melepas jaketku agar tidak ribet di toilet nanti. Kutaruh di atas tas. Aku bersama Hilda menuju toilet untuk cuci muka dan buang air kecil. Pertama masuk toilet aku, baru setelahnya Hilda. Aku diminta Hilda menunggu di pendopo saja, lalu aku iya-iya saja karena masih agak mengantuk. Aku bersandar pada tiang pendopo di pojokan sambil menyandarkan kepalaku di tiang.

Aku merasa sangat dingin, lalu kupeluk tubuhku sendiri. Belum lama aku bersandar, tiba-tiba aku merasa sebuah benda dipukul-pukulkan di kepalaku. Aku membuka mata dan melihat Alwi sedang memukul-mukulkan pena di kepalaku. Sangat mengganggu.

"Apaan sih?" sewotku.

"Jaket kamu mana? Pakai gih!" katanya.

"Di tas. Males ah!"

"Ambil! Ini mau game tauk!"

"Jauuuhh... males!"

"Heh! Nanti kalau sakit ngerepotin panitia! Di sini dingin."

"Bodo amat!" kataku cuek, lantas bersandar ulang ke tiang.

"Emang bener kata mamamu, kamu ceroboh!"

Kulihat ia melepaskan jaket bomber hitamnya, lalu menaruhnya di pangkuanku. Aroma parfumnya yang sangat manly menelusup ke hidungku.

"Pakai tuh!" katanya yang hanya mengenakan kemeja hitam, lalu pergi meninggalkan aku.

Aku hanya melongo dan membeku sejenak menyadari ini. Menyadari sikapnya yang peduli dan berusaha menjagaku. Dia serius dengan permintaan mama? Kenapa sih dia mau? Hilda menuju ke tempatku menunggu dan melihatku yang terbengong-bengong.

"Kenapa lo? Kesambet?" tanya Hilda. "Jaket siapa nih?" Hilda memegangnya, lalu mencium aroma manly di jaket tersebut. Seketika matanya berbinar, "Ohh... punya Kak Alwi ya? Hayooo?"

Aku merebut jaket itu dari tangan Hilda, "Bacot! Bentar tunggu sini!"

Aku berjalan masuk pendopo dan mengambil jaketku. Bukannya aku tidak menghargai pertolongan Alwi untuk memakai jaket ini. Aku khawatir dia yang kedinginan. Walaupun ini bukan di puncak, tapi di pedesaan, tetap saja udaranya dingin sekali. Setidak sukanya aku dengan Alwi, aku juga tidak tega dia kedinginan hanya gara-gara aku malas mengambil jaket.

Sesampainya di tempat Hilda, kupakai sandal sepatuku, lalu memintanya untuk menunggu di situ, tapi dia malah mengikutiku.

"Tunggu sana aja!" kataku.

"Ogah ah. Ikut aja. Mau ke mana sih?"

"Cari Alwi."

"Mau ngapain?"

Aku hanya diam tidak menggubris pertanyaan Hilda. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru sampai aku menemukan Alwi sedang ngobrol bersama Tirta dan Fatur di sebuah gazebo kecil. Aku berjalan menuju ke sana sambil membawa jaket Alwi. Sementara jaketku sudah kukenakan. Kebetulan Alwi duduk paling pinggir, jadi aku bisa meletakkan jaketnya di pangkuannya.

"Nih, nggak usah!" kataku pada Alwi yang terkejut saat jaketnya kukembalikan.

Tirta dan Fatur juga kaget melihatku mengembalikan jaket Alwi tiba-tiba.

Bismillah Denganmu ✔ [NEW]Onde histórias criam vida. Descubra agora