9. Perizinan

38 11 4
                                    

Menjagamu adalah satu-satunya caraku mendapat penerimaan dari orang tuamu.

Jangan larang aku, biar aku tunjukkan bahwa aku mampu.

Waktu tinggal empat hari lagi untuk aku mengajak Alwi menemui Mama. Hari Sabtu sudah hari H Mataf. Aku berpikir keras tiap hari untuk bagaimana caranya Alwi mau membantuku dengan mudah. Mengenal Alwi orangnya menyebalkan seperti itu rasanya aku tidak yakin. Tapi Hilda terus memintaku untuk 'coba saja dulu'. Tapi rasa malunya itu loh yang aduh, tidak tertolong.

Bahkan setiap Alwi mengantarkan aku ke rumah selesai kegiatan aku masih belum sanggup memintanya untuk menemui mama. Lagian Mama juga sudah tidur setiap Alwi mengantarkan aku pulang. Kalau aku minta tolong di basecamp, nanti yang lain dengar dan akan meledekiku lagi. Apalagi Tirta tuh, uh, ingin aku lakban mulutnya. Terpaksa harus kutemui Alwi diam-diam setelah kelas dia selesai.

Dari jauh, aku melihatnya berjalan bersama teman kuliahnya, yang pasti bukan anak IMRI dan itu hanya satu orang. Mungkin ini kesempatanku. Kupanggil namanya dari jauh dan dia otomatis menoleh ke belakang. Aku memberanikan diri mendekat. Temannya sudah menggodanya dengan kata 'cie cie siapa..." aku bisa lihat mimik bicaranya begitu.

"Aku mau ngomong, penting," kataku setelah berdiri di hadapannya.

"Berdua? Berarti gue tinggal ya Wi?" kata temannya kepada Alwi yang langsung dijawab anggukan oleh Alwi.

"Kenapa? Kangen? Baru ketemu kemarin kok udah kangen aja," kata Alwi, lalu terbahak.

"Ge-er banget sih! Bukan, ini penting! Tapi jangan di sini dong ngomongnya. Malu. Rame."

"Canda kalik Juleha. Emang mau ngomong apa sih serius amat? Sini aja lah. Kan nggak boleh berdua-duaan di tempat sepi, nanti ketiganya setan."

"Ya maksudnyaaa.... Ihhh!" aku gemas rasanya.

"Udah sini aja. Ngomong apa?"

"Aku mau minta tolong," kataku to the point.

"Tolong apa?"

"Ketemu mamaku dong, bujuk biar aku boleh ikut Mataf."

"Hah?!" kaget Alwi, lalu terbahak. "Canda ah! Ngerjain kan?"

"Enggak, serius!"

"Kenapa harus aku? Kan bisa Hilda?"

"Mama maunya sama Kak Alwi. Udah mepet nih waktunya. Gimana?"

"Bentar-bentar, kamu cerita-cerita ya ke mama kamu tentang aku? Cerita apa aja? Kok sampai bisa aku yang diminta ketemu. Kamu nggak naksir aku kan?"

"PEDE BANGET SIH! Nggak lah! Nggak ada naksir-naksir. Ceritanya panjang deh. Ribet. Udah intinya mau apa enggak?"

"Enggak," jawab Alwi simpel sambil menggelengkan kepala.

"Ya udah, aku nggak ikut Mataf," kataku sambil cemberut.

"Ya ceritain dong biar aku ngerti."

Aku menarik napas sambil menatapnya enggan, lalu menghembuskan napas perlahan, harus cerita, pikirku. Akhirnya aku menceritakan dari awal kenapa alasan sampai mama maunya ketemu Alwi bukan Hilda. Malunya sampai ubun-ubun. Tapi dia harus tahu, benar. Aku hanya menceritakan bagian Alwi yang tak yakin padaku sampai dengan rasa tersinggungku padanya hingga aku ingin menunjukkan padanya kalau aku tidak main-main. Itu yang membuat mamaku ingin bertemu dengannya. Bukan bagian mama tidak yakin dengan Alwi. Runtuh sudah harga diriku.

"Ohh... jadi gitu," Alwi malah senyum-senyum.

"Iya. Jadi gimana? Malah senyum-senyum!" kataku, tidak berani menatap matanya. Malu banget!

Bismillah Denganmu ✔ [NEW]Kde žijí příběhy. Začni objevovat