24. Pamit

35 10 0
                                    

Mendengar kamu ingin berhenti membimbingku rasanya seperti putus cinta

Tapi apapun alasannya, aku harus bisa mandiri karena kita tidak mungkin terus bergantung

Waktu berjalan begitu cepat. Pergantian semester sudah dilalui. Sampai Azza tidak menyadari kalau dirinya banyak berubah menjadi lebih baik bersama Hilda. Mereka yang dulunya salat bolong-bolong sudah mulai istiqomah dalam menunaikan salat lima waktu. Dari penampilan fisik, mereka juga sudah lebih baik. Mengenakan kerudung sesuai syari, menjaga diri dari batasan-batasan terhadap orang-orang yang mereka cintai dalam diam dan juga terhadap laki-laki lain.

Fokus mereka sekarang benar-benar untuk hijrah karena Allah. Mereka saling menguatkan dan mengingatkan satu sama lain sebagai sahabat. Itu kenapa dikatakan dalam Islam bahwa carilah sahabat yang dapat mengantarmu menuju surganya Allah bersama-sama. Mereka mulai menyadari dari banyak ilmu agama yang didapat dari lingkungan IMRI dan rutin ikut kajian-kajian bahwa zina itu bisa melalui tangan, mata, hati, dan kemaluan.

Islam itu melarang mendekati Zina. Jadi, firman Allah itu bukan mengatakan "Jangan berzina!" tapi lebih dahsyat dari itu, mengatakan "walataghrabuzzina, yang artinya dan janganlah kamu mendekati zina". Pacaran mendekati zina. Sebelum menikah, setan itu berusaha bagaimana dua orang ini berzina. Setelah menikah, dari hasil pacaran dua tahun misalnya, lalu setan itu datang lagi untuk bagaimana membuat dua orang ini bercerai.

Azza dan Hilda juga bukan hanya mendengarkan kajian rutin yang difasilitasi bidang TKK saja setiap Jumat dan Sabtu, tapi juga melalui youtube dan televisi. Bahkan Azza dan Hilda juga sudah mulai rutin mengikuti Tahsin untuk benar-benar belajar mengaji dari makhrajul huruf sampai tajwidnya. Mereka sudah lancar mengaji, meskipun belum sempurna. Itulah proses belajar. Terus menggali, terus mencari, dan terus memahami.

Mereka juga mulai sadar bahwa pandangan mereka awalnya tentang LDK IMRI adalah anak-anaknya alim semua, nyatanya tidak. Mereka semua sedang berusaha untuk memperbaiki diri di lingkungan yang sama-sama membangun untuk saling bantu dan mengingatkan dalam memperbaiki diri. Tidak ada yang alim, yang ada adalah orang-orang yang mau berusaha belajar agama bersama. Sama-sama saling mengantarkan ke surganya Allah.

LDK IMRI telah membawa Azza dan Hilda belajar berani sejauh ini. Berani mengambil keputusan untuk menjadi orang yang lebih baik daripada diri mereka yang sebelumnya, belajar tampil di depan umum untuk menambah skill public speaking, dan belajar berani mengambil risiko.

Sebentar lagi mereka akan menjadi senior dan merekrut kader-kader baru. Lantas kemudian kemana seniornya? Ada yang melanjutkan IMRI, ada yang naik jabatan ke organisasi yang lebih tinggi tingkatannya seperti ormawa (organisasi mahasiswa). Singkatnya seperti himpunan, BEM Fakultas, BEM Universitas, DPM Fakultas, dan DPM Universitas. Sisanya berhenti di IMRI, menjadi demisioner atau alumni.

Rencananya yang masih ingin lanjut di IMRI adalah Fatur, Anas, dan Wendi. Kemudian yang naik tingkat adalah Tirta, Alwi, Imelda, dan Salwa. Tirta, Imelda, dan Salwa naik ke BEM Fakultas, sementara Alwi naik ke DPM Fakultas. Azza dan Hilda sama-sama menyadari bahwa sebentar lagi mereka akan ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka cintai. Meskipun mereka masih akan tetap menjadi keluarga IMRI dan mampir main ke basecamp IMRI.

Pergantian pelantikan selanjutnya, Alwi mempercayakan Azza sebagai kepala bidang Tabligh dan Kajian Keislaman (TKK). Bukan karena urusan pribadi melainkan karena Alwi melihat kompetensi mengontrol dan mengayomi ada di dalam diri Azza. Menurut Alwi, Jeremy dan Bima juga mempunyai kompetensi yang baik, tapi hanya di bagian ide. Mereka sama-sama kurang kontrol diri untuk melihat situasi sekitar. Seringnya terlalu bar-bar dan tanpa pikir panjang.

Perpindahan organisasi ini tidak membuat Azza dan Hilda berhenti lanjut di IMRI meskipun akan terpisah dengan Tirta dan Alwi. Mereka saling meneguhkan diri untuk tetap mengabdi sampai mereka nantinya ketika naik semester juga akan ditarik oleh senior-senior mereka terdahulu untuk naik jabatan. Semua akan ada waktunya.

Setelah selesai pelantikan periode baru yang disaksikan oleh senior-senior terdahulu, Alwi mencari waktu yang tepat untuk mendekati Azza dan berbicara sebagai tanda perpisahan di IMRI. Seusai beres-beres ruangan dan mengembalikan barang-barang, Alwi masih menunggu di teras depan basecamp. Setelah para PK yang baru dilantik dan beristirahat, Alwi mendekati Azza yang sedang menyendiri duduk bersandar di tiang koridor dekat basecamp.

"Hai," sapa Alwi, mengejutkan Azza yang kemudian ia duduk di samping Azza yang tentunya memberi jarak.

"Ada apa Kak?" tanya Azza sigap, seolah ada hal penting yang harus dia kerjakan. Azza sudah terlalu terbiasa dengan Alwi yang akan bicara dengannya kalau ada hal-hal penting saja.

"Kalau disapa itu balas sapa, gimana sih," protes Alwi.

Azza nyengir. "Hai juga Kak," kata Azza lembut, lalu tersenyum.

"Jadi gini, aku percaya kamu bisa ngejalaninnya. Bisa jadi kepala bidang TKK. Aku titip ya. Hidup-hidupilah agama ini di bidang kita. Jadikan periodeku sebagai kepala bidang TKK pelajaran buat kamu ke depan."

"Siap Kak, insyaAllah. Aku bakal berusaha menghidupkannya."

"Terima kasih Za. Aku berhenti bimbing kamu di IMRI ya. Semoga kamu bisa menemukan pembimbing yang lebih baik dari aku."

Mendengar itu rasanya Azza seperti putus cinta. Alwi seolah melepaskannya. Benar-benar melepas.

"Emang kalau di luar IMRI bimbing aku nggak boleh?"

"Bukan nggak boleh, udah beda ranah aja. Ya tapi, kalau kamu butuh saran atau solusi dari bidang TKK, kamu bisa tanya aku kok. Chat bisa, ketemu juga bisa. Asal—"

"Jaga jarak," sambung Azza cepat dan Alwi tersenyum.

"Kenapa? Kok kayak nggak ikhlas gitu aku pergi?" tanya Alwi sambil senyum-senyum tengil.

"Ikhlas kok." Jawab Azza sambil mengangguk-angguk mantap. "Cuma heran aja kenapa nggak bisa bimbing aku lagi," alasanku.

"Kamu berhasil Za."

"Maksudnya? Berhasil apa?"

"Berhasil menjadi dirimu yang lebih baik. Dari dulu aku yakin, kamu pasti bisa. Bahkan sepertinya aku rasa, kamu udah bisa bimbing diri kamu sendiri. Terus istiqamah ya."

Azza tersenyum lembut, "Makasih udah yakin."

Alwi membalas senyum itu sembari menatap Azza lurus-lurus sebentar, lalu menunduk.

"Ya udah, aku pamit pulang. Kamu hati-hati," ucap Alwi lembut.

"Iya Kak, sama-sama. Hati-hati juga."

Alwi mengatupkan tangannya di depan dada tanda salaman jarak jauh, Azza membalasnya. Azza menyaksikan kepergian senior yang paling ia sayangi itu dengan tatapan sendu. Entah akan seperti apa Azza tanpa Alwi di IMRI. Apakah akan sekuat biasanya? Seteguh biasanya? Seaktif biasanya? Siapa yang akan menjadi objek penyemangat dirinya dalam menjalankan tugas-tugas? Hilda yang melihat kepergian Alwi lantas mendekati Azza. Dia bertanya.

"Kenapa si Alwi, Za? Tumben ngajak ngobrol lo berdua."

"Pamit dari TKK, sekalian titip."

"Cailah... manis banget dipamitin segala."

"Biasa aja ah. Emang Tirta nggak pamit sama lo?"

Hilda hanya menggeleng cemburu.

"Sama sekali. Bahkan udah pulang duluan tadi."

Azza hanya mengusap-usap bahu Hilda, mengisyaratkan untuk sabar.

"Lo belum jujur soal perasaan lo ke dia, Za?" tanya Hilda lagi.

"Belum. Belum tepat waktunya menurut gue. Sabar ya... suatu saat gue pasti akan ngaku kok. Tapi gue bener-bener butuh jeda dan waktu."

Hilda mengangkat jempolnya, lantas mengajak Azza untuk beres-beres pulang. Hilda memilih untuk jalan kaki saja karena tidak ada tebengan kecuali Kak Imelda yang sengaja Hilda sisakan untuk Azza. Lagi pula kosnya dekat dan melewati jalan raya, jadi aman dan belum terlalu larut malam untuk pulang.

-----------------------
Jangan lupa vote dan komentar ya! Makasih... :)

Bismillah Denganmu ✔ [NEW]Where stories live. Discover now