23. Utang Janji

33 8 0
                                    

Mengakui perasaan tak semudah membalikkan telapak tangan

Ada gengsi yang harus ditanggung oleh perasaan

Sebenarnya Azza sedang tidak sedih hari ini, tapi ia dan Hilda tengah menikmati sore yang sejuk di rooftop kampus seperti biasa sambil meminum sebotol minuman boba. Mereka baru saja selesai kelas dan baru saja sampai rooftop. Azza baru sadar kalau tempatnya duduk sekarang adalah tempatnya berdiri terakhir saat bersama Alwi dulu. Tiba-tiba kenangan itu membuatnya bengong sejenak sampai Hilda mengejutkannya.

"Kenapa lo? Melongo. Kesambet ntar!" tanya Hilda penasaran.

"Ng... nggak apa-apa," jawab Azza gugup, lalu melihat ke pergelangan tangannya, ia menyentuh gelang pemberian Alwi dulu dan mengusapnya.

Ada rasa rindu yang tersemat dalam dadanya mengenai Alwi. Semenjak Tabligh akbar, Alwi tak banyak bicara dengannya lagi. Sudah berbulan-bulan lamanya, Hanya berbicara yang penting-penting saja seperti saat proker berjalan atau ketika sedang bertugas saja. Dia seperti sungguh-sungguh menjaga jarak. Bahkan saat kumpul-kumpul Alwi sudah tidak pernah mencandainya lagi. Hanya sekadar melihatnya dari jauh, tapi tidak lama. Kalau cuma rindu dosa nggak ya? Tanya Azza dalam hati. Azza tidak sadar kalau gelagatnya dari tadi dilihat oleh Hilda.

"Gelang dari siapa sih sebenernya? Dielus-elus mulu. Sayang banget kayaknya," sindir Hilda yang membuat Azza spontan tidak memegang gelang itu lagi dan mengalihkannya pada botol minuman bobanya.

Azza tidak menjawab. Membuat Hilda harus berkata lagi.

"Lo tuh sebenarnya lagi deket sama cowok ya Za? Tapi lo nggak mau ngaku sama gue? Ya kan?"

"Hah? Enggak," jawab Azza lamban karena masih ngambang.

"Hah hoh hah hoh. Mikirin siapa sih?"

"Nggak ada. Nggak mikirin siapa-siapa!" tegas Azza setelah sadar penuh.

"Za, gue bertekad buat nggak ngejar-ngejar Tirta lagi deh. Biar waktu yang menjawabnya," curhat Hilda.

"Kenapa lo? Kok gitu?"

"Ya, jadi semenjak tabligh akbar Ustad Felix itu, gue banyak mikir dan merenung. Kayaknya batas-batas gue sama dia udah nggak kejaga banget. Setelah itu juga, Tirta udah jarang banget ngedeketin gue. Kayak dia sengaja berhenti gitu aja. Mungkin dia juga sadar kalik ya kalau apa yang kita lakuin selama ini langgar batas dan dia nggak mau kita sama-sama dosa."

"Langgar batas? Emangnya lo ngapain aja?"

"Ya pegangan tangan, duduk deket-deketan, makan bareng, main bareng."

"Lo udah sejauh itu!?" syock Azza.

"He-em. Gue takut patah hati kalik ya. Tapi kadang gue kangen sama masa-masa bareng dia. Gue sebenarnya masih cinta, tapi... nggak bisa buat kayak dulu lagi. Apalagi setelah dia berubah."

"Nasib lo hampir sama kayak gue," celetuk Azza spontan, keceplosan.

"Hah!? Sama gimana?!" syock Hilda, gentian.

"Hah? Ap—enggak bukan itu maksud gue," gugup Azza, lalu tertawa kecil untuk menutupi kelupaannya, sadar kalau keceplosan. "Maksudnya—" mendadak pikirannya buntu.

"Maksudnya apa? Lo gitu juga sama siapa? Alwi?" desak Hilda.

"Enggak, apaan sih. Kok jadi dia?" elak Azza.

"Alah udah, lo tuh dah keceplosan sama gue. Jujur aja lo lagi deket sama siapa? Alwi? Bener nggak? Gue juga nggak bakal ngapa-ngapain kok."

Azza berpikir, memangnya dia dan Alwi bisa dihitung dekat? Tapi kan hubungannya tidak sedekat Hilda dengan Tirta. Azza dan Alwi ibarat hanya sekilas episode saja.

Bismillah Denganmu ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang