10. Berangkat Mataf

33 11 7
                                    

Sebab kamu tanggung jawabku,

maka akan kulakukan perlindungan versiku.

Aku tidak mau terkesan manja di depan Alwi. Aku sampai mencatat barang-barang penting termasuk jaket untuk kumasukkan ke dalam tas dan tidak melupakan hal-hal penting lainnya. Aku harus bisa menjaga diriku sendiri agar Alwi tidak usah repot-repot menjagaku. Sungguh malu rasanya. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan Alwi. Intinya aku tidak ingin terlihat manja!

Tiba-tiba ponselku bergetar, menunjukkan satu pesan dari Alwi. Mataku melotot. Kenapa dia tiba-tiba chat? Kubuka pesannya dengan segera dan di situ tertulis pesan singkat.

Kak Alwi

Aku dah di depan rumahmu. Keluar cepet! Panas!

"WHAT!?" teriakku di dalam kamar.

Apa-apaan Alwi ke rumah? Pasti disuruh mama. Tapi kapan menyuruhnya? Bisa-bisanya. Jangan-jangan mama punya nomor Alwi. Keterlaluan.

"Ma!" teriakku menghampiri mama di dapur. "Mama keterlaluan banget sih nyuruh-nyuruh Alwi jemput Azza. Azza bisa berangkat sendiri! Nggak usah juga sampai ngerepotin orang dong Ma!"

Mama malah menatapku bingung.

"Siapa yang nyuruh Alwi ke rumah? Mama punya nomornya aja enggak. Itu artinya dia paham dengan permintaan mama. Menjaga kamu!"

Jadi ini inisiatif Alwi sendiri? Apa-apaan sekali sih itu senior. Merepotkan! Aku keluar membawa tas punggung dan satu tas di tangan. Dengan agak terburu-buru aku berpamitan dengan mama dan segera keluar rumah menggunakan sepatu. Mama ikut keluar, haduh, apa lagi?

"Nak Alwi, terima kasih ya sudah jemput Azza!" kata Mama.

"Iya Tante sama-sama."

"Mau pindahan Mbak?" sindir Alwi saat aku hendak menitipkan tas untuk ditaruh di depan. "Banyak amat bawaannya. Ini cuma mau Mataf semalam. Bukan seribu malam."

"Bacot!" kataku lirih dan hanya Alwi yang bisa mendengar.

"Lisan jaga..." jawab Alwi sambil menatapku tajam.

Bodo amat. Aku melambaikan tangan pada mama dan pamit untuk kedua kalinya setelah membonceng Alwi.

"Assalamualaikum!" kataku.

"Walaikumsalam!" jawab Mama.

Aku dan Alwi pun berlalu dari pandangan mama.

"Nggak ada kata-kata kotor selama sama aku," kata Alwi tiba-tiba.

"Berisik! Ngapain sih jemput-jemput segala! Repotin!"

"Emang nggak ada makasih-makasihnya nih bocah. Kamu lebih ngerepotin kalau nggak dijemput."

"Mau modus sama mamaku apa gimana?!"

"Dih, ngapain modus. Emang aku mau sama kamu. Pede banget. Ini cuma demi janji yang udah aku ucapkan sama mama kamu. Ini namanya tanggung jawab!"

Aku hanya diam, malas menjawab. Adanya malah debat. Aku sedang capek hati dan pikiran. Malas menanggapi cerocosan Alwi. Sesampainya di kampus, kami menjadi pusat perhatian karena berangkat bersama, termasuk menarik perhatian Hilda yang sudah sampai dan menungguku di teras basecamp. Aku turun dari motor Alwi tanpa mengucap terima kasih dan langsung kabur menuju Hilda. Aku sudah tahu kalau dia akan menghujaniku dengan banyak pertanyaan dalam kepalanya. Aku yakin itu.

"Lo dijemput Kak Alwi?" tanya Hilda sambil senyum-senyum menggodaku.

Aku mendengus kesal sambil mendaratkan pantatku di sebelah Hilda. Tahu-tahu Alwi berjalan ke arahku. Mau apa lagi dia astaga. Tiba-tiba Alwi melempar tasku ke pangkuan. Untung isinya pakaian bukan barang-barang yang keras.

"Ketinggalan!" katanya ketus, lalu pergi begitu saja meninggalkanku.

Oh, oke. Makasih, kataku dalam hati. Hilda masih membagi pandangannya antara Alwi dan aku.

"Kalian janjian?" tanya Hilda ingin tahu.

"Apaan sih! Enggak! Bete udah nggak tahu ah!" aku terusik dan emosi.

"Ya... tapi nggak apa-apa sih Za... itu kan karena nyokap lo sayang sama lo. Jadi dia nggak mau kejadian waktu makrab di puncak terjadi lagi," komentar Hilda terkait permintaan mama.

"Gue nggak mau terlihat manja Hilda! Kesannya gue ngrepotin dia banget tahu nggak sih. Mana dia bukan siapa-siapa gue lagi."

"Ya tinggal dibuat siapa-siapa elo dong!"

"Maksud lo apaan?!"

"Ya kayak gue ke Tirta misalnya?"

"Ngaco! Nggak akan, najis!"

Hilda malah terbahak puas. Dasar menyebalkan! Kualihkan pandanganku kepada Tirta yang berkoar-koar dengan toak agar seluruh kader baru memasuki bus. Aku sudah pasti bersebalahan dengan Hilda di dua bangku. Peserta yang ikut dalam Mataf ini cukup banyak, sekitar kurang lebih 40 orang. Aku dan Hilda memilih kursi bagian tengah agar nyaman. Kalau di bagian roda nanti terasa sekali di jalan yang rusak.

"Heh, bocah!" seorang lelaki seperti memanggilku, tapi tidak dengan namaku. Aku menoleh ke belakang dan melihat Alwi. Kenapa juga aku harus menoleh saat dipanggil bocah. Bodoh!

"Sopan anjir!" kataku ketus, mengundang perhatian Hilda. Alwi menjitakku sehingga membuatku merintih, "Aw! Apaan sih!"

"Nggak ada kata-kata kasar di depanku ya inget! Aku nggak suka!"

"Ya siapa juga yang ngarep disukain sama situ?! Lagian nggak sopan banget panggil aku pakai kata bocah. Punya nama woy!"

"Ya... selama dipanggil bocah noleh sih oke kan?"

"Halah udahlah! Mau ngapain sih tujuan Kakak panggil-panggil?"

"Bawa jaket nggak?"

"Bawa!"

"Kaus kaki?"

"Bawa!"

"Obat-obatan?"

"Bawa ahelah berisik amat sih Kak, nglebihin mama dikali lima tahu nggak!"

"Sip!" kata Alwi sembari mendorong jidatku dengan jempolnya yang menunjukkan sikap sip. Kutepis tangannya yang menyebalkan itu. Sialan!

"Bukan mahram!" sindirku.

"Ampun. Khilaf!" kata Alwi sambil mengatupkan kedua tangan di depan wajahnya, lalu pergi ke arah depan bus untuk mengatur kerapian kader-kader baru.

"Ciee... jadi perhatian gitu dia sama lo!" kata Hilda sambil menowel-nowel pipiku. Kutepis risih.

"Apa sih. Tuntutan!" jawabku.

"Tapi seneng kan lo?"

"Seneng mamamu disko! Nggak ada!"

Hilda hanya terbahak mendengar jawabanku. Benar-benar hari yang menyebalkan! Hawanya bikin emosi terus. Aku lebih banyak diam saat perjalanan menuju Desa Wisata Kelor Jogja. Sementara Hilda bersenandung berdasarkan lagu yang tengah diputar di dalam bus. Hilda tahu aku sedang tidak mood diajak bicara. Jadi dia memilih mengasyikkan diri sendiri daripada ikut gabut sepertiku.

-----------------------
Jangan lupa vote dan komentar ya! Makasih... :)

Bismillah Denganmu ✔ [NEW]Where stories live. Discover now