brother

4.2K 60 3
                                    

To whom I can no longer see, this is for you




































Izuna Matsuzaki POV

"Kakak pulang!" Aku berteriak, tahu itu mungkin akan mengejutkan perawat yang ada dalam rumah, tapi itu adalah sebuah reflex. Aku bisa mendengar langkah kaki perawat semakin dekat dengan setiap waktu yang aku habiskan untuk melepas sepatu dan mantel.

"Oh, selamat siang, Nona Matsuzaki," kata perawat Aeri dengan senyum sopan.

"Anda pulang lebih awal hari ini." Dia selalu disini untuk menjaga Izumi di siang hari, sejak aku bekerja, dan dia masih belum tahu apa artinya hari Rabu; selalu menyelesaikan pekerjaan lebih awal dan selalu menghabiskan sore hari untuk mengajak Izumi jalan-jalan sebentar, memandikannya, memberinya makan dan semacamnya, dan ketika dia tidur, barulah aku bisa melakukan pekerjaan lain. Atau ini hanya semacam basa-basinya saja?

"Ya, tentu saja," gumamku, berjalan ke meja dapur dan meletakkan tasku. "Bisakah Anda memberitahu saya apa saja yang telah Anda lakukan? Setelah itu Anda boleh pergi, seperti biasa." Aeri mengangguk dan mulai menjabarkan semua hal yang sudah dia urus; makan kedua, dan ketiga hari ini, latihan otot, obat batch pertama, mandi dan dua kali mengganti popok.

"Terima kasih," kataku, memberinya anggukan pendek sebelum membawanya ke pintu.

"Saya akan memastikan untuk membayar Anda pada akhir minggu, seharusnya uang saya sudah cukup." Aeri mengangguk.

"Tidak apa-apa, jangan khawatir tentang itu." Memakai flat shoes miliknya dan berkata selamat tinggal untuk hari ini. Dia akan kembali besok pagi, aku tahu itu, karena kami telah melakukannya ini selama hampir satu setengah tahun sekarang.

Aku menutup pintu ketika dia pergi dan dengan cepat berjalan menuju kamar Izumi. Aku mengetuk pintu dengan ringan dan berkata, "Kakak masuk ya, Izumi?" sebelum membuka pintu, bahkan meskipun aku tahu Izumi tidak mungkin bisa memahami itu.

Dan di sanalah dia, berbaring di ranjang rumah sakit yang besar dikelilingi oleh monitor jantung, ventilator, dan semua jenis peralatan medis yang bahkan aku tidak bisa melafalkan namanya dengan benar.

"Hai, Izumi." bisikku, berjalan ke arahnya. Matanya terbuka, tapi seolah-olah dia melihat lurus melewatiku. Sesekali matanya berotasi ke arahku dan dia akan menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar, hampir seolah-olah dia marah padaku karena memanggilnya Izumi. Aku tahu bahwa, jika Izumi ada di sana, dia ingin memberitahuku "Jangan panggil aku Izumi" atau semacamnya. Tetapi para dokter mengatakan bahwa tidak ada lagi dirinya yang dulu di sana.

Aku meletakkan tanganku di lengannya yang terbuka dan merasakan tenggorokanku tercekat. Aku ingat ketika mereka memberi tahu bahwa Izumi bangun tetapi tidak sadar, dalam keadaan Vegetative state. Aku diizinkan masuk ke kamarnya setelah berjam-jam menunggu dan ketika aku melihat Izumi, aku hampir tidak mengenalinya karena beberapa mesin menakutkan terpasang di tubuh Izumi. Dia memiliki tabung yang masuk ke tenggorokannya melalui leher menyebabkannya tidak bisa menelan, dan karena itu dia mengeluarkan air liur dan dia tidak terlihat seperti adikku yang aku kenal selama ini.

Bahkan setelah empat tahun, masih menyakitkan melihatnya seperti ini; tidak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali, tidak dapat melakukan apa pun kecuali bernapas, meneteskan air liur dan merotasikan bola matanya, dan sama sekali tidak menyadari dunia di sekitarnya. Semua itu, hanya karena mereka tidak memiliki defibrilator di dekatnya, semua karena jantungnya memutuskan untuk menyerah padanya di tengah kompetisi. Sepuluh menit, itulah lama Izumi bertahan tanpa menerima CPR yang tepat.

Unfinished StoriesWhere stories live. Discover now