heir to the throne - part 3

597 38 1
                                    


"Menikahlah dengannya."

Mata Anne membola. Jantungnya serasa berhenti berdegup. Ruangan yang dihuninya terdengar hening. Seakan hanya suara milik Marc yang mengisi kepala gadis itu. Anne terkejut, tak menyangka balas budi yang diinginkan oleh Marc adalah sebuah pernikahan dengan seorang pria yang—ekhem—memiliki disabilitas.

Ucapan Marc barusan bukan sebuah permintaan melainkan adalah perintah. Dan Anne tidak punya kuasa untuk menolaknya. Marc merupakan seseorang yang penuh belas kasih, namun bukan berarti dia tidak bisa menjadi seseorang yang kejam dan tak berbudi.

Pria itu dapat menghabisi Anne sekarang juga dan kalaupun banyak saksi mata hal itu akan mudah dientaskan olehnya. Jangan kira Anne tidak tahu sepak terjang pria itu dalam dunia bawah. Perempuan itu tak mau mati. Anne tidak boleh mati sebelum menyaksikan Daniel tersiksa, sebagaimana pria itu membuat Delia menderita.

"Akan sangat tidak tahu diri bila saya menanyakan benefit-nya, kan Tuan?"

"Aku tahu kau ingin membuat Daniel menderita. Sebenarnya kehadiranmu di depannya saja sudah membuatnya tersiksa. Tapi mari kita bekerja sama, maka kau akan mendapati semuanya melebihi ekspektasi yang telah kau angankan."

Anne hanya memiliki 2 opsi sekarang. Menikahi keponakan Marc, atau mati. Tidak ada salahnya juga menikahi pria itu. Lagipula Anne tidak memiliki seseorang untuk dijaga apalagi dicintai. Hari-harinya kerap dicumbu sepi. Anggap saja dia menambah teman baru, toh pria itu juga tak dapat melakukan apapun padanya.

"Baik, Tuan. Saya akan menikahinya."

Marc tersenyum puas, mengajak Anne untuk bersulang. Kemudian mereka menyesap wine hingga tandas.

"Pilihan yang bijak, Anne. Besok anak buahku akan menjemputmu."

Marc berkata kembali. Seakan kejadian tadi bukanlah hal mengagetkan untuk Anne. Namun rasanya sangat tak sopan apabila gadis itu kembali bertanya pada pria di hadapannya. Sehingga Anne hanya mengangguk pasrah. Selamat tinggal kemiskinan, selamat datang kekayaan.


***

"Delia hamil."

"Anaknya sangat cantik, Ed. Dia sebaya dengan Einar."

"Apa menurutmu di masa depan Einar dapat menikah? Jika iya, rasanya aku ingin menikahkannya dengan anak dari Delia."

Percakapan itu terputar begitu saja di kepala Edmar ketika melihat potret Fransiska bersama Delia. Kenapa istrinya itu tidak mengatakan sejak dulu kalau Delia hamil karena Daniel? Padahal Delia adalah teman baik Fransiska sejak kuliah. Mungkinkah dia ingin menjaga reputasi Daniel juga perusahaannya yang saat itu sedang naik? Atau menjaga rahasia agar Gianna tak mengetahuinya? Entahlah, Edmar juga tak tahu.

"Your wish come true, my love." Ucap Edmar sambil mengelus potret Fransiska yang tengah tersenyum ke arah kamera. Mungkin Fransiska akan melompat kegirangan apabila dia masih berada disini dan mengetahui putri teman baiknya akan menikahi putranya.

"And you're right again, love. She's very pretty," Edmar terkekeh karena ucapannya sendiri. "But our son is also handsome. Everyone said that he's my copy carbon with your eyes."

Monolog itu kemudian berakhir setelah Edmar merasa dapat menangis. Pria itu kembali menaruh foto tersebut ke dalam album. Dia kemudian beranjak dari duduknya dan keluar dari ruang kerja. Sudah cukup lama sejak Marc kembali dari menemui Anne, dan Edmar belum menemui putranya untuk memberitahunya berita itu.

Einar bahkan tak tahu jika dirinya akan dinikahkan. Edmar juga ragu apakah putranya itu akan mengerti seperti apa pernikahan itu. Atau bahkan alasan mengapa dia akan menikah dengan sepupu keduanya.

Unfinished StoriesWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu