blurry - part 2

1.5K 53 8
                                    

Delapan belas bulan setelah naik podium olimpiade sains antar provinsi, tidak ada yang menyangka seorang Nathaniel Atmaja akan kembali belajar untuk hidup.

Dengan usaha yang luar biasa, dia berusaha untuk menutup mulut di sekitar sesendok smoothies yang masuk ke mulutnya. Lidahnya berada di langit-langit mulut, dengan gerutuan teredam. Sebagian besar smoothies kembali turun melewati dagunya dan mendarat dengan sukses diatas handuk yang berada di bahu kiri Nathan. Handuk itu sudah tidak berwarna biru muda lagi. Sisa smoothies alpukat yang tidak dapat tertelan oleh Nathan bercampur dengan air liurnya membuat handuk itu memiliki bercak kehijauan.

Dagu Nathan sudah licin dengan air liur, mulutnya dengan cepat kembali ke keadaan terbuka seperti biasanya, rahang bawah menonjol keluar. Dia bernapas dengan kekuatannya sendiri, udara bersiul melalui lubang trakeostomi di tenggorokannya, tetapi tabung ventilator yang terlihat di belakang kursinya menunjukkan bahwa itu tidak selalu diberikan.

Sambil berdecak pelan, Jeskier, terapis pribadi Nathan, menyeka wajah Nathan yang berantakan dengan handuk yang di bahu Nathan yang ditempatkan untuk tujuan ini. Mereka sudah melakukan ini selama lebih dari satu jam, jadi ada cukup banyak smoothies di atas handuk. Porsi yang jauh lebih kecil telah berhasil masuk ke tenggorokan Nathan.

"Kerja bagus, Nathan. Jauh lebih baik daripada sesi terakhir. Akan ku bersihkan ini sebelum kita mulai dengan yang lain." Ucap Jeskier yang mengambil handuk di bahu Nathan kemudian berlalu ke arah dapur.

Giorgio, adik Nathan yang sedari tadi memperhatikan sesi terapi kakaknya dari balik kamar, sekarang bergerak mendekati kakaknya.

"Ka Nath." panggil Gio. Nathan menoleh. Tangannya yang sedikit normal meraih wajah Gio.

Giorgio merasa sedih. Kakaknya yang dulu terlihat sangat sempurna dapat menjadi seperti ini. Wajahnya berantakan karena air liur. Napasnya terengah-engah. Nathan terlihat sangat lelah walaupun ia hanya belajar makan.

Nathan mencoba untuk tersenyum melihat adiknya. Senyumannya disertai sebuah erangan. Air liurnya keluar makin banyak. Gio menarik lembaran tisu diatas meja dan mengusap dagu Nathan.

"Ka Nath, lelah?" tanya Gio.

Nathan mengerang lagi sebagai tanggapan, popok yang berkerut terdengar saat anggota tubuhnya yang kurus mulai kejang. Kakinya meremas separator yang dibentuk khusus di kursi rodanya yang membantu menjaga kaki Nathan agar tidak menyilang di kursi. Pinggulnya menegang ke depan, popoknya menumbuk separator. Selimut Nathan mulai melorot dan memperlihatkan popok Nathan yang berubah warna.

Jeskier yang sedari tadi memperhatikan interaksi dua kakak-beradik itu mencatat setiap gerakan Nathan di dalam otaknya. Banyak gerakan Nathan yang tidak terkendali disertai dengan semacam inkontinensia, dan tidak ada gunanya mempermasalahkannya.

Hari ini tidak ada rencana untuk Nathan pergi keluar dan tidak ada yang diharapkan datang berkunjung. Jadi Nathan hanya mengenakan popok untuk kemudahan perawatan.

Sementara banyak hal telah berubah dalam satu setengah tahun terakhir, Nathan masih menarik perhatian di ruangan apa pun yang dia masuki, meskipun dalam jenis yang berbeda. Nathan duduk sedikit bersandar di kursi rodanya yang besar, anggota badan dan tubuhnya diikat dengan sabuk pengaman agar dia tidak jatuh. Dia mengenakan kaus berwarna putih, dan pada saat-saat tertentu ketika kakinya sedikit tidak kaku, Nathan mengenakan celana training. Meskipun selimut lembut di pangkuannya lebih sering terlihat.

Matanya berotasi secara acak, gagal fokus. Mata kanan dan kirinya tidak berkoordinasi dengan baik. Mulutnya terbuka dan terkulai tajam ke kiri. Ketika tidak diberi sabuk pengaman, anggota tubuhnya yang tidak berfungsi akan berkontraksi dengan liar. Kedua kakinya runcing seperti balerina. Tangannya mengepal hingga buku-buku tangannya memutih.

Matanya terlalu liar, sehingga Eyegaze tidak memungkinkan. Dia belajar mengucapkan kata-kata sederhana dengan susah payah. Sebuah word board juga tidak memungkinkan karena Nathan kesulitan mengingat huruf dan kata.

Gio mengambil selimut Nathan yang terjatuh dan kembali memasangkannya untuk menutupi bagian pinggang hingga kakinya. Setelah Nathan dirasa cukup tenang, Gio mengajaknya mengobrol. Nathan bisa menanggapi lebih dari kata ya dan tidak. Kadang ketika moodnya sedang baik, Nathan akan mengajak Gio mengobrol terlebih dahulu. Jeskier masih berada diambang pintu dapur, membiarkan kakak-beradik itu berinteraksi. Mungkin dia akan memanggil Hayden,perawat pribadi Nathan, setelah ini, sebelum sesi terapi Nathan yang berikutnya dimulai.

Tawa mereka mengalun dengan lembut memenuhi ruangan yang tak urung membuat Jeskier ikut tersenyum. Kasih sayang Nathan untuk Gio dapat dirasakan bahkan dalam kondisinya sekarang. Cara Nathan menanyai Gio apakah dia sudah makan, bagaimana sekolahnya, dan apakah Gio bersenang senang hari ini membuat hati Jeskier menghangat.

Kata-kata yang keluar dari mulut Nathan memang tidak jelas dan terkadang ia menanyakan satu hal berkali-kali. Gio menanggapinya dengan penuh minat dan senyum di wajahnya tak pernah luntur. Gio menikmati waktu bersama kakaknya dengan bahagia.

Delapan belas bulan dan empat hari yang lalu, Nathan bangun dengan sedikit tidak teratur dan dengan sakit kepala yang hebat. Dia mengaitkannya dengan stres dan tuntutan jadwal kegiatannya yang sibuk untuk persiapan olimpiade berikutnya. Dan ketika Nathan menyetir mobilnya, kecelakaan itu terjadi. Meninggalkannya dengan cedera otak parah. Setelah sepuluh minggu berada dalam perawatan di rumah sakit, Nathan kini menjalani rawat jalan. Dengan Jeskier sebagai terapisnya dan Hayden sebagai perawat pribadi Nathan.

Dalam banyak hal, Nathan sangat beruntung bahwa semua yang hilang pada hari itu adalah kehidupan SMA-nya, sebagian besar kendali atas tubuhnya, dan otaknya untuk membaca huruf. Sangat beruntung dan sangat mengerikan, bagaimanapun itu adalah konsep yang saling tidak berhubungan.


















rahma
Copyright 2022



































And yeah, meet again with Nathan.

Unfinished StoriesWhere stories live. Discover now