it's all for you

1K 49 5
                                    

"Kenapa mendadak begini?"

Aku menghela napas. Sebuah surat dari perguruan tinggi negeri baru ku terima pagi ini. Isinya adalah sebuah pengumuman bahwa aku lolos seleksi tahap II pendaftaran mahasiswa baru.

Ku pikir kedua orangtuaku akan senang akan berita ini. Sebagaimana orangtua lainnya ketika anak mereka diterima di sebuah universitas bergengsi. Tapi sepertinya orangtuaku tidak seperti itu.

"Papa... Ngga suka?" Aku menatap mata Papa takut-takut. Nada bicaranya terdengar biasa, tapi aku bisa melihat ada tatapan tak suka dari matanya. Papa adalah pribadi yang hangat, sisi tegas beliau jarang sekali terlihat. Dan Papa dengan mode seperti ini membuatku ketakutan.

"Harusnya kamu bilang dari awal ke Papa kalau mau kuliah keluar provinsi."

"Aku...bilang..." Dengan takut aku kembali menjawab perkataan Papa.

"Kamu cuma bilang mau kuliah, Nanda. Papa mengiyakan karena kami pikir kamu mau kuliah di Jakarta. Bukan malah ke Surabaya."

"Jurusan yang aku mau ada disana."

"Again. Kamu ngga bilang ke Papa mau masuk jurusan apa."

"Maaf."

Dapat ku dengar Papa menghela napasnya. Mama sedari tadi masih terdiam. Menyesap teh lemonnya dengan perlahan, mendengarkan perdebatanku dengan Papa.

Aku kembali menundukkan kepala. Tidak ada alasan yang lebih kuat dari itu. Aku memilih berkuliah di Surabaya karena memang jurusan yang aku minati berada disitu.

"Bilang sama Papa kenapa kami harus mengizinkan kamu tinggal sendiri."

"Aku bisa masak."

"Masak mie instan ngga dihitung."

Aku berdecak. Ayo Nanda, berpikir lagi.

"Aku bisa mandi sendiri."

"Terus?"

"Aku bisa pesan makanan online. Bisa berangkat pakai ojek online juga. Bisa ganti baju sendiri."

Papa memijat keningnya mendengar jawaban yang aku lontarkan. Memangnya jawabanku sekacau itu ya? Bukankah skill tersebut cukup untuk membuatku mampu hidup sendirian? Lagipula aku dengan susah payah mengikuti terapi okupasi hanya untuk menguasainya.

"Nanda. Itu saja ngga cukup membuat kami yakin membiarkan kamu hidup sendiri. Harus ada setidaknya satu orang yang mendampingi kamu."

Kali ini Mama bersuara. Sepertinya mereka tidak se-overprotective ini ketika Kak Jihan memutuskan untuk berkuliah di Bandung. Padahal kan aku laki-laki.

"Dulu kak Jihan boleh."

"Kondisinya beda, sayang."

Yah, alasan yang sama. Kondisiku yang berbeda adalah sebuah excuse mengapa aku tidak bisa melakukan hal serupa seperti yang kak Jihan lakukan.

Kadang aku iri mengapa kak Jihan boleh melakukan ini-itu sedangkan aku tidak boleh melakukannya dengan berbagai alasan dari A sampai Z. Aku muak diperlakukan berbeda seperti ini.

"Nanda mau kemana?"

Yap, itu suara kak Jihan. Kakak perempuanku yang sedang menjadi objek pembicaraan kali ini.

Dia baru saja pulang dari kantor. Lanyard masih menggantung di lehernya. Pun kemeja biru muda yang dia kenakan masih belum berganti dari tadi pagi.

Perempuan itu tiba-tiba menarik kursi dan duduk di sebelahku tanpa menanggalkan tasnya.

"Nanda mau kemana, Pa?"

Unfinished StoriesWhere stories live. Discover now