J - part 2

1.5K 54 1
                                    

Jamie's story from Anna and Jean pov






















Matahari pagi bersinar melalui tirai, menyinari tubuh lemah Jamie di tempat tidurnya. Sudah satu minggu Jamie kembali ke rumah dan Anna masih berdiri di ambang pintu dengan desahan berat, menatapnya dengan rasa sakit dan kesedihan. Aneh, wanita itu meratapi seseorang yang masih hidup.

Pada titik ini dia tidak yakin Jamie masih hidup, dia hanya tubuh di tempat tidur akhir-akhir ini. Dalam sebuah fase bernama Vegetative State, para dokter menyebutnya demikian. Jamie memiliki trakeostomi, tabung gastrostomi, dan selang ventilator yang terlihat menempel di tubuhnya yang makin kurus. Dia tidak melakukan apa pun untuk dirinya sendiri, dia tidak mampu.

Severe traumatic brain injury yang didapatkan Jamie akibat kecelakaan tujuh bulan lalu membuat anaknya mengalami kelumpuhan total atau quadriplegia.

Jamie tidak dapat mendengar dengan baik, para dokter cukup yakin Jamie buta, dan komunikasinya hanya terdiri dari erangan dan lenguhan. Kadang-kadang mereka mendapat gerutuan dari Jamie, tapi tidak lebih dari itu. Anna hampir menyesal tidak menandatangani DNR di rumah sakit dahulu, itu pasti akan lebih manusiawi dari ini.

Jamie menghela napas serak yang sarat dengan lendir membanjiri tenggorokannya.

Anna mengernyit mendengar suaranya. Selalu seperti meriam yang menunggu untuk meledak ketika Jamie membutuhkan penyedotan. Kadang-kadang Jamie batuk sebelum Anna mulai menyedot trakeostomi, dan mengirim lendir-lendir lengket dari trakeostomi keluar mengotori kausnya yang kadang tidak tertutup handuk.

Anna perlahan melangkah maju ke tempat tidur Jamie. Matanya lesu saat melirik tubuh Jamie yang sekarang terlihat kurus dan ringkih. Dia pernah menjadi seorang pemuda yang kuat, kekar dan berotot. Sekarang, tubuh itu menjadi kering, hanya terdiri dari kulit dan tulang di hadapannya.

"Pagi, anak Ibu." dia berbicara dengan lembut, tidak tahu apakah Jamie benar-benar memahaminya.

Jamie mengeluarkan erangan, matanya berputar-putar tanpa tujuan di kepalanya. Dia bisa mendengarnya, tetapi dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Dia ditakdirkan untuk membusuk di ranjang ini, selama sisa hidupnya.

"Apa tidurmu nyenyak, sayang?" bisiknya pelan, merindukan anak laki-lakinya yang hilang dalam kecelakaan itu. Jamie meninggal hari itu, dan Anna ditinggalkan dengan cangkang kosong dari anak laki-lakinya yang pernah dia kenal.

Namun tetap saja, dia menyalakan mesin pengisap dan memutuskan ventilator dari tenggorokannya. Dengan cepat mencelupkan selang kateter untuk menyedot lendir yang berada di trakeostomi Jamie, Anna mendorong selang hisap ke dalam tenggorokannya dan turun dengan hati-hati.

Jamie tersedak, bahunya bergerak naik-turun sebagai respons terhadap perasaan sakit. Lendir kental naik melalui tabung dan masuk ke wadah penyimpanan di samping tempat tidurnya, itu adalah suara yang agak sulit untuk dibiasakan.

Jamie jelas tidak menyukai perasaan itu, karena dia selalu mengerutkan wajahnya dan mendengus padanya. Jamie menarik tangannya ke dada, tangannya mengepal erat. Dia benar-benar tidak menyukai ini, dan reaksinya terhadap kegiatan ini selalu membuat orang lain tahu.

Dengan sekali klik, Anna mematikan mesin penghisap, melepas tabung dan menghubungkannya kembali ke ventilator.

Anna menggunakan handuk berukuran kecil di dada Jamie untuk membersihkan sekitaran mulutnya dari air liur.

Selanjutnya, wanita cantik itu menarik selimut Jamie dan memperlihatkan tubuhnya yang tampak sakit-sakitan. Jamie selalu bersandar di tumpukan bantal, yang membantu menopang anggota tubuhnya yang rapuh. Dia tampak nyaman, tetapi kenyataannya jauh lebih buruk.

Unfinished StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang