Yarrow~36

2.3K 124 3
                                    


Rayla memasuki kamarnya, kacau. Itulah yang menggambarkan keadaan gadis itu sekarang. Bajunya yang basah kuyup tidak dia pedulikan sama sekali.

Dengan emosi yang tidak bisa dia kendalikan, Rayla berjalan menuju meja riasnya. Dengan bruntal dia mengacak-acak apa yang ada di sekitar dirinya.

Perlahan, tubuh Rayla jatuh meluruh bersandar pada sebuah tembok. "Gue nggak mau kaya gini!"

"Gue juga nggak minta jadi penyebab kesialan buat orang-orang di sekitar gue." rintih Rayla meluapkan semua yang dia rasakan.

"Kalau bisa, gue mau kok nuker nyawa gue buat Rayza ada Abang. Dari pada gue hidup tapi rasanya sakit. Sakit harus nanggung kebencian dari orang-orang!"

"Sakit harus dibenci Bunda, sakit harus selalu dituntut ini itu sama Ayah. Dan sakit disalah-salahin terus,"

"Gue sadar kok otak gue bego banget, gue juga sadar kehadiran gue cuma bawa mala petaka, buat kalian."

FLASBACK!

Rayla menatap guru di depannya, dengan tatapan penuh rasa takut. Sebagian tubuhnya sudah bergetar sejak 15 menit yang lalu.

"Maju kamu Rayla! Berdiri di depan sampai jam pelajaran saya selesai!" perintah guru itu tegas. Dia merasa sudah cukup sabar menghadapi salah satu muridnya ini. Namun, belum juga ada perubahan apapun.

"Kalau kamu tetep kaya gini kapan majunya Rayla! Kamu sudah kelas 2 dan sebentar lagi naik ke kelas 3. Tapi buat bedain huruf abjad aja masih ketuker-tuker!"

"Kalau saya menjelaskan di depan tuh di perhatiin! Jangan malah asik sendiri sama dunia kamu!" caci guru bertubuh gempal itu sesekali menunjuk-nunjuk kepala anak didiknya.

"Maaf Ibu," hanya itu kalimat yang mampu Rayla ucapkan.

Jujur Rayla merasa sudah mencoba sekeras mungkin, mengenai apa yang gurunya ajarkan. Namun, tetap saja, tidak ada satupun yang mampu Rayla tangkap.

"Mau jadi apa kamu Rayla! Anak cewek biasanya tuh rajin-rajin. Saya heran kenapa kamu bisa semalas ini!"

"Tugas nggak pernah dikerjain, kalau nggak bisa belajar bareng sama saudara kamu di rumah. Mereka aja bisa berprestasi, kamu malah kebalikan dari mereka!"

Seluruh murid menertawai Rayla, bagi mereka pemandangan seperti ini tidaklah asing. Dan yang bisa Rayla lakukan hanyalah sebisa mungkin menahan isak tangisnya, sambil meremat kuat-kuat rok seragam sekolahnya.

"Berdiri di samping papan tulis! Angkat salah satu kaki kamu. Dan tangan kamu letakkin di telinga! Jangan duduk sebelum saya suruh!"

*********

Rayla pulang ke rumah dengan mata bengkaknya. Gadis itu memutuskan untuk pulang jalan kaki, Ujang supir rumahnya sedari tadi ditunggu tidak kunjung datang.

"Rayla butuh Abang," gumam gadis berkucir dua tersebut. "Andai Abang masih di sini, Rayla pasti nggak bakal ngerasa sendiri. Pasti Abang mau ngajarin Rayla biar pinter. Dan pasti Rayla nggak bakal di ejek temen sama dihukum Bu guru,"

Sesekali kaki mungilnya menendangi batu yang tanpa sengaja menghalangi langkah dirinya.

TIN!

Rayla terdiam, tatapannya beralih ke mobil yang baru saja berhenti di depannya. "Aunty?" Rayla menyapa seseorang yang baru saja keluar dari dalam mobil.

Wanita cantik, dengan stelan berwarna hitam putih, "Sayang, Rala kenapa pulang jalan kaki? Mbak Reva nggak jemput Rayla? Terus Rayza mana? Kalian nggak pulang bareng?" tanya Cindy yang merupakan adik dari Ayahnya.

Rayla hanya menggelengkan kepalanya singkat. Cindy yang sepertinya faham dengan apa yang terjadi mati-matian menahan umpatan untuk kakaknya.

Dia tidak buta untuk menilai apa yang terjadi, setelah kejadian 3 tahun lalu, Cindy merasa seperti tidak mengenal dengan sosok Rendy, kakaknya sendiri. Perlakuan mereka sebagai orang tua, terlihat jelas berperilaku menganaktirikan Rayla. Salah satu putrinya sendiri.

"Yaudah, Rayla ikut Aunty yuk. Kita cari makan dulu. Nanti Aunty antar Rayla pulang." ajak Cindy, dan mengajak Rayla untuk masuk kedalam mobilnya.

Sepanjang perjalanan suasana benar-benar terasa hening, Cindy, melirik sekilas ke arah keponakannya. Dia merasa bocah itu seperti tengah memikirkan sesuatu.

Sesampainya di rumah makan, Cindy segera memesankan makanan untuk Rayla, sembari menunggu pesanannya datang, dia memutuskan untuk mencoba berbicara dengan gadis yang saat ini tengah duduk di depannya.

"Rayla kenapa sayang? Ada masalah? Kok matanya sembab gitu? Ada yang jahatin Rayla di sekolah?

"Aunty, Rayla bodoh ya? Sampe Bu guru sering banget marah dan hukum Rayla?" mata Rayla kembali memerah. Hanya Cindy orang yang sering kali menanyai kondisi bocah tersebut. Orang-orang di sekitarnya kebanyakan menutup mata, tanpa mencoba mencari tau apa yang sebenarnya Rayla rasakan.

Mendapat pertanyaan seperti itu, entah kenapa dada Cindy terasa sesak. Perlahan dia meraih tangan mungil Rayla yang terletak di atas meja. "Rayla kenapa ngomong kaya gitu? Nggak ada orang bodoh sayang. Aunty yakin kok, kalau Rayla rajin belajar nilai Rayla pasti membaik nantinya."

"Rayla bukannya nggak mau belajar Aunty, tapi kepala Rayla suka pusing lihat tulisan di buku tulis Rayla. Hurufnya suka goyang-goyang sendiri. Rayla juga nggak faham selama ini apa yang Bu guru ajarkan. Rayla ngedengerin kok kalau Ibu guru ngasih penjelasan, Rayla nggak main-main, tapi Rayla nggak faham. Kepala Rayla pusing Aunty,"

Mendengar penjelasan keponakannya, Cindy semakin terpaku. Dan dia menyimpulkan ada sesuatu yang tidak beres dengan Rayla. Esok harinya Cindy mengajak Rayla pergi ke psikolog untuk memastikan sebenarnya apa yang terjadi dengan kondisi Rayla.

Disitulah awal mula Rayla mulai faham, jika dirinya berbeda dengan yang lain.

*******

Kenangan buruk masalalunya berlomba-lomba menghantui jiwa gadis malang itu. "Gue nggak mau kaya gini," racau Rayla, sesekali memukul kepalanya sendiri. Bermaksud menghilangkan memori buruknya di masalalu.

"Kenapa nasib buruk selalu datang di hidup gue?" rintih Rayla, kepalanya benar-benar tidak bisa berfikir jernih.

Cairan bening semakin deras menetes dari sudut matanya, punggung Rayla bergetar hebat, suara isak tangisnya benar-benar memenuhi ruangan itu.

"Gue cape, gue juga mau di sayang Bunda, sama Ayah."

"Bodoh!" umpat Rayla pelan, sembari memukul-mukul kepalanya sendiri.

"Lo bodoh Rayla!"

"Lo pembawa sial buat orang-orang terdekat lo!"

"Lo itu nggak pantes hidup!"

Berbagai macam fikiran buruk mulai berdatangan, tanpa diundang. Dengan tatapan kosongnya, Rayla perlahan bangkit dan berjalan tertatih menuju laci tempat dia menyimpan obat penenang yang selama ini Rayla konsumsi tanpa pengetahuan siapapun.

Dengan bruntal dia, membuka tutup botol itu dan menuangkan seluruh isinya di telapak tangannya. Satu hal yang ada di fikiran Rayla. Dia hanya ingin menyudahi semua rasa sakit yang selama ini dia rasakan. Mungkin jika dia mengakhiri hidupnya, semua juga bakal selesai.

Rasa sakit, rasa takut, rasa bersalah yang selama ini menghantuinya. Rayla hanya ingin terbebas dari itu semua.

Tanpa berfikir panjang, Rayla memasukkan seluruh obat yang sebelumnya ada di tangannya ke mulut dia.

"Arlo Maaf, aku menyerah," batin Rayla.

BBBBRRRAAAKKKKKKKKK!

********

18/12/22

Yarrow [SELESAI]Where stories live. Discover now