15. Not allowed yet

415 63 105
                                    

Yoongi mondar mandir menyusuri koridor apartemennya sambil melakukan panggilan pada orang yang kini membuatnya khawatir bercampur kesal. Ya, Shin Jiya. Memangnya siapa lagi orang yang bisa membuat Yoongi jadi kalang kabut seperti ini. Bayangkan, Jiya sudah di kirimi pesan berkali-kali oleh Yoongi, sudah di jemput di rumah, di kampus, namun tidak ada sama sekali keberadaan dirinya. Panggilan juga bahkan tidak di jawab, membuat Yoongi putus asa dan kembali ke apartemen.

Bertanya pada Pilnam? Bukannya ikutan cemas, pria tua namun masih terkesan klimis itu malah mempercayakan anaknya pada Yoongi.

Bisakah ia mengamuk saja saat ini? Biarkan kalau para tetangga panik mendengar teriakan Yoongi, agar semua makhluk di bumi ini ikut panik, jangan hanya Yoongi saja.

Menghela nafas berat, lalu Yoongi duduk di depan unit apartemen miliknya sembari menautkan kedua tangan di antara lutut. Pikirannya jadi menerawang jauh, di kepala sudah memikirkan yang tidak-tidak. Kalau Jiya mau membatalkan janji untuk pergi ke rumah Ibunya, setidaknya beri tau pada Yoongi, jangan menghilang seperti ini.

"Ternyata begini rasanya menunggu." Yoongi berdecak samar dan mengusak wajah kasar. Ia tersenyum culas ketika mengingat betapa ia sering membuat Jiya menunggu. Dan sekarang ia merasakan hal itu.

Karena merasa berdiam diri bukan lah solusi, Yoongi bangkit menuju mobil, mau kembali ke rumah Jiya saja, siapa tau gadis itu sudah ada di rumah.

Tepat sampai di depan pagar rumah Jiya, Yoongi keluar dari mobil dan bersandar di samping pintu mobil tersebut. Ia mencoba memanggil Jiya lagi melalui ponsel. Notif panggilan tersambung membuat kerja jantung Yoongi menjadi tidak baik.

"Halo kak."

Suara dari seberang terdengar di rungu pria Min.

"Pulang."

Yoongi tidak membentak pun tidak meninggikan nada suaranya. Tapi satu kata itu sudah sangat membuat Jiya sadar akan kesalahannya. Jiya memang salah, ia mengakui. Namun di sisi lain Yoongi harus mengerti, bukan inginnya membatalkan janji seperti ini.

"Kak, maafkan aku.."

"Kau kemana saja? Kau berjanji pukul dua belas siang, lihat jam berapa sekarang, sudah jam tiga sore. Tidak tau betapa khawatirnya orang-orang terhadap mu? Ponsel pintar mu tidak digunakan lagi?"

Akhirnya Yoongi mengeluarkan apa yang menjadi beban di dadanya sedari tadi, mengungkapkan dengan panjang di kali lebar. Lagi pula orang-orang mana yang disebut Yoongi khawatir, hanya dia saja tuh. Pilnam sebagai Papa saja tidak begitu, tetap santai mengerjakan pekerjaannya di kantor.

Tidak ada sahutan lagi dari seberang telepon, Yoongi mematikan panggilan tersebut. Ia masih setia menunggu sang pujaan hati sambil menggerutu kesal. Lelah berdiri, jongkok merupakan pilihan yang baik pikirnya. Dia jadi ada kegiatan lain yaitu mengorek-ngorek pasir memakai kayu kecil.

Aduh, kasihan sekali.. gara-gara cinta Yoongi jadi bodoh begini, padahal dia bisa masuk saja ke dalam mobil.

Tidak lama kemudian, suara kendaraan beroda dua terdengar mendekati. Tanpa membuang waktu ia lekas berdiri untuk melihat siapa yang sudah mendekatinya.

Jiya.. Jiya gadis yang sangat disayanginya. Namun tidak sendiri, ada pria lain yang memboncengnya. Sampai-sampai Yoongi tidak tau mau berekspresi seperti apa. Ia bersedekap dada, mata kecil itu memandang garang keduanya. Ketika pria lainnya sudah pergi, Jiya mendekat ragu dengan langkah yang sangat amat pelan.

"Bersama pria?"

Bola mata Jiya membesar karena panik, ia tidak mau Yoongi salah paham. Kalau salah paham habis lah dirinya, dalam beberapa jam hari ini ia sudah mematahkan hati Yoongi.

PAINTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang