22. Extra part II

554 57 84
                                    

Oh ya Tuhan, badan Yoongi berasa remuk setiap bangun pagi. Seperti pagi ini, bangkit dari ranjang pun rasanya sangat susah payah sekali, sehingga Yoongi harus bangkit perlahan dengan kedua tangan menumpu pinggang. Sudah seperti orangtua jompo saja ya. Kira-kira kenapa Yoongi bisa sampai begitu?

Yoongi juga baru menyadari kalau ternyata Jiya itu sangat lasak ketika tidur. Setiap malam Yoongi selalu berdoa, setidaknya agar kaki Jiya tidak menendang wajahnya, tidak menimpa badannya, mendorong tubuhnya hingga jatuh ke lantai, atau bahkan tidak menendang alat kelaminnya.

Demi apapun Yoongi pernah sampai mau menangis di kala Jiya pernah menendang alat kelaminnya dengan keadaan tidak sadar, alias dalam keadaan tidur. Pada saat itu Yoongi ingin sekali marah. Tapi apa mau dikata, Jiya melakukannya tanpa di sengaja kan?

"Jiya!" Karena tidak menemukan presensi sang istri, Yoongi memanggil Jiya dengan sedikit berteriak.

Ia sempat mengira Jiya sedang ada di dapur membuat sarapan. Ternyata tebakannya salah, Jiya tidak ada di dapur ataupun di ruangan lainnya.

"Kemana saja sih bocah itu, pagi-pagi sudah menghilang." Yah begitulah Yoongi, ia hanya bisa menggerutu di belakang Jiya saja.

Tungkainya membawa langkah ke halaman belakang. Pikiran tentang sang istri teralihkan sejenak begitu udara segar masuk ke penghidu, dan Yoongi mulai meregangkan sendi serta ototnya yang masih terasa kaku. Soal Jiya biarkan saja, mana ada yang mau menculik anak itu, makan dan jajannya banyak sekali, hal itu hanya bisa menumpurkan si penculik saja nanti.

"Sst."

Seperti ada suara, pikir Yoongi.

"Yoongi, bisa bantu aku ambilkan jambu ini tidak?" Suara Jiya, tapi orangnya mana.

Tolong hantu-hantu disini jangan coba menakuti Yoongi, pakai acara meniru suara istrinya pula. Kan seram, kalau Yoongi jadi penakut bagaimana? Bukankah jadi sangat tidak etis?

Yoongi sudah coba meliarkan netra, tetap tidak terlihat tuh batang hidung Jiya.

"Yoon, aku di atas."

"Eh, astaga Jiya!! Turun Jiya, turun. Nanti jatuh Jii, turun tidak?"  Terkejutnya Yoongi bagai orang yang terkena sambaran petir, terkejut bukan main ketika melihat istri ada di atas pohon jambu yang letaknya tak jauh dari tempat ia berdiri.

Jiya masih terlihat santai duduk di atas batang-batang melengkung dipohon jambu tersebut. "Bantu dulu Kak, tanganku masih saja tidak sampai meski sudah memanjat."

"Aku bilang turun ya turun Jiya." Sesungguhnya Yoongi ini sudah panik. Lihat saja nanti, Yoongi akan langsung ngomel-ngomel panjang lebar begitu Jiya turun ke bawah.

"Iyaa iya, cerewet sekali manusia satu ini."

Cerewet sekali katanya? Huh, tidak tahu jantung Yoongi hampir copot karenanya.

Begitu kaki Jiya menapakkan tanah, Yoongi begitu saja menarik lengan mungil itu, membawa masuk Jiya ke dalam rumah. Wanita ini harus banyak di ceramahi olehnya.

Sampai di kamar, Jiya di dudukkan di tepi ranjang, Yoongi sudah berkacak pinggang siap-siap untuk mengomel pada bocah satu ini.
"Jiya, kalau mau jambu tinggal minta padaku. Jangan memanjat seperti tadi."

Kenapa sih, Yoongi ini berlebihan sekali. Jiya sudah biasa memanjat pohon jambu di halaman belakang rumahnya saat ia ingin memakan buah jambu tersebut. Dulu Pilnam bahkan tidak pernah melarang Jiya untuk naik ke atas pohon, malah di suruh ambil jambu yang banyak sekaligus, biar bisa di makan bersama. Ah, Pilnam ya. Jiya jadi merindukan sang Papa. Akhir-akhir ini Jiya sangat sensitif sekali terhadap sesuatu yang terlintas dalam benaknya.

PAINTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang