20. End

456 64 55
                                    

Setelah tiga hari kepergian mending Pilnam, semua kembali ke aktivitas mereka masing-masing. Yang membedakan hanya semangat, mereka melakukan aktivitas dengan sangat tidak bersemangat. Tentu saja terutama untuk Yoongi dan Jiya. Dan tidak sedikit orang terkejut atas kepergian manusia baik seperti Pilnam, yaitu orang-orang yang setiap hari di temuinya.

Jiya tampak sekali terlihat murung dan mengambil jarak pada kekasihnya. Sebagai kekasih yang baik nan pengertian, ia memberikan ruang untuk Jiya. Datang ke rumah Jiya hanya untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja, tidak terlalu larut dalam kesedihan, dan tidak lupa sambil mengantar makanan.

Yoongi tahu itu pasti sangat berat untuknya. Bukan hanya untuk Jiya seorang, Yoongi pun begitu. Hatinya patah. Siang hari dia bisa terlihat baik-baik saja, namun malam hari Yoongi tak bisa begitu. Masih belum bisa menerima sepenuhnya, dan masih sangat merindukan sang Kakak.

Niat hati hari ini ingin menemani Jiya di rumah. Gadis itu harus banyak di temani, sekarang sudah sendirian tanpa ada teman lagi.

Pintu terbuka, Yoongi langsung di sambut dengan pemandangan Jiya yang duduk di lantai menekuk lutut sembari memakan roti dalam keadaan melamun. Sama sekali tidak menggubris kalau Yoongi sudah datang untuknya. Dia tahu, hanya saja tidak ingin menyapa.

Maafkan Jiya, dia sangat tahu kalau perbuatannya itu salah besar. Mau bagaimana lagi, Jiya seperti kehilangan sebagian jiwanya. Mau membuka mulut saja berat sekali. Apalagi untuk menyapa Yoongi. Biarlah, andainya Yoongi akan marah, Jiya terima itu. Paling tidak Yoongi harus memaklumi.

"Cantik.." Pria itu ikut duduk lesehan di samping Jiya.

Ini yang Yoongi banggakan dari Jiya. Meski sedang hancur, Jiya tak membiarkan kesehatan tubuhnya juga ikut hancur, dia tetap makan. Mengisi perut normal tiga kali sehari. Tidak ada acara mogok makan. Lagi pula Yoongi pernah mendengar fakta dari Jiya, semakin ia sedih maka semakin banyak pula porsi makannya. Kalau sedang makan, sejenak ia bisa lupakan beban di pundak. Begitu penuturan Jiya yang di selalu di ingat Yoongi.

Yoongi di abaikan, tapi tak merasa marah ataupun sakit hati. Memaklumi suasana hati si cantik. Tidak apa, berdiam diri disini juga tidak apa-apa kok, asal di dekat Shin Jiya.

Selesai makan, Jiya mencuci tangan dan duduk di sofa. Duduk diam memandang televisi dalam keadaan mati. Sejenak ia teringat surat yang di beri Yoongi untuknya dari mendiang Pilnam. Sama sekali belum ia buka dan baca. Belum siap, takut semakin terpuruk. Setelah membaik nanti, janji akan membacanya.

Fokusnya beralih ke meja di hadapannya, ada kantong plastik berisi snack. Mungkin Yoongi yang membawakan. Jiya bongkar, dan mengambil salah satu snack tersebut. Dari lantai yang Yoongi duduki, Yoongi tersenyum manis untuk Jiya.

Lagi-lagi Yoongi mengekor kemanapun gadisnya pergi. Kali ini ia ikut ke sofa, tapi tidak duduk. Ia membaringkan tubuh dengan paha Jiya sebagai bantalan. Kekasihnya membiarkan. Membiarkan Yoongi yang terus menatapnya dari bawah. Berusaha untuk tidak merona, ini bukan saat yang tepat untuk merona.

"Jiya.. aku mau ke rumah Ibu untuk mencoba lagi menyelesaikan masalah. Kalau aku tinggal sebentar tidak akan menjadi masalah kan?"

'Aku mau ikut.' ucap Jiya dalam hati. Perkataannya tertahan sampai di tenggorokan.

Pria itu bangkit duduk. Seakan bisa membaca pikiran dan mendengar suara hati Jiya, Yoongi menyahut kembali.
"Nanti, kalau masalahku dengan Ibu sudah selesai, akan aku bawa kesayanganku ini kesana."

Tidak, Yoongi tidak betulan mendengar suara hati Jiya kok. Hanya ingin saja berkata seperti itu.

Jiya merosotkan bahu tanpa tahu Yoongi. Sebenarnya dia bukan ingin ikut ke rumah Ibu Yoongi. Dia hanya ingin keluar jalan-jalan. Sepertinya lain kali saja. Atau nanti setelah Yoongi pulang dari rumah Ibu.

PAINTERWhere stories live. Discover now