Khawatir - 25 September 2021

10.1K 1.4K 638
                                    

Budayakan follow sebelum baca~

Cung juga yang baca di sekolah ☝🏻

Happy reading! 🤍

•••

"Jana, ada hambatan?"

"Enggak ada, Kak."

"Oke. Semangat, ya."

Aku tersenyum simpul seraya memerhatikan kepergian Kak Shera-pembimbing kelasku di tempat les. Ku dengar ia baru saja lulus dari Universitas Padjajaran beberapa bulan lalu dan memutuskan untuk kerja disini sembari melamar ke perusahaan-perusahaan.

Salah satu hal yang aku syukuri ketika lintas jurusan adalah bertemu dengannya dan bisa diajar olehnya. Metode belajar yang ia gunakan lain dengan kakak pembimbing yang lain. Jauh sekali malah. Kakak pembimbingku di kelas lalu seperti terlalu cepat menyampaikan materi, membuat otakku yang lumayan pas-pasan tidak bisa bekerja dengan cepat dan berakhir hanya mencatat apa yang ia tulis di papan tulis.

Lain halnya dengan Kak Shera yang interaktif dan lebih mengayomi. Ia sering bertanya apabila kami ada kendala dengan materi yang ia sampaikan, bila memang ada, ia akan menjelaskan ulang secara perlahan sampai kami benar-benar mengerti.

"Nah, materi buat hari ini udah selesai. Jadi kalian boleh langsung pulang sekarang. Kalau semisal ada yang kurang dimengerti atau bingung pas ngerjain soal, boleh chat kakak di nomor ini, ya." ia menunjuk barisan angka di ujung kanan atas papan tulis. "Sebisa mungkin kakak bales secepatnya."

"Makasih, Kak!" ujar kami serempak sebelum berpamitan singkat dan keluar dari kelas.

Kelas saintek berada di lantai satu, sedangkan soshum ada di lantai dua dan kebetulan kelasku terletak di belakang. Tapi alih-alih menunggu di parkiran, aku malah memutuskan untuk berjalan ke depan.

"Aku udah selesai," ucapku di telepon.

"Aku juga udah, dong!"

"Tumben." balasku terheran. "Kesambet apa Kak Cipta?"

Kak Cipta adalah kakak pembimbing di kelas Nayya, ia seringkali mengeluh dengan sifat galak sang pembimbing itu, membuatku semakin gencar memamerkan Kak Shera yang luar biasa baiknya.

"Udah kelaperan kayaknya, soalnya tadi megangin perut terus."

Aku tertawa. "Ada-ada aja. Ya udah aku otw ke depan dulu."

"Jangan lama-lama! Aku sama Heru udah kepanasan pol di parkiran belakang."

"Tanyalah ke temennya kenapa malah parkir di depan."

"Dia telat mulu, Na. Omelin, kek!"

Itu suara Heru. Omongannya sukses membuatku tertawa geli.

"Iyaudahh, tutup aja. Ini udah mau sampe depan."

"Okei, ditunggu,"

Sambungan terputus. Aku pun memasukkan ponsel ke dalam saku dan menguncir rambut karena di luar panas sekali.

Ternyata yang parkir di depan cukup banyak juga. Sebetulnya disini juga memang disediakan lahan seperti tempat parkir, hanya saja beberapa orang seperti di himbau untuk parkir di belakang saja agar lebih aman. Tapi tentu bila tengah buru-buru, beberapa orang lebih memilih untuk menaruh motor di depan agar bisa cepat masuk kelas.

Contohnya seperti Radipta sekarang.

"Lama, ya?"

"Enggak," Radipta menyerahkan helm padaku sebelum ia menyalakan mesin motornya. "Tumben tapi gue duluan."

Satu Cerita Untuk KamuWhere stories live. Discover now