p r o l o g u e

760 16 0
                                    







Untuk Tuan pemilik mata memikat,

Untuk Tuan pemilik alis paling indah,

Untuk Tuan pemilik langkah kaki yang tegas,

Untuk Tuan pemilik suara nan berat,

Apa yang sebenarnya Tuan rasakan tentangku?

___

Bunyi denting bel kecil itu menandakan ada seseorang yang baru masuk. Sesosok gadis yang tengah fokus menata muffin-muffin cantik di etalase, refleks menoleh. Dia tersenyum ketika sadar siapa yang datang.

"Morning, Pelanggan Pertama. Breakfast?" Zania menyapa riang. Yang otomatis menimbulkan sebuah senyum paling tulus yang dilengkungkan pemuda yang kini berdiri di depannya.

"Hot coffe latte dan ... muffin lucu ini," tunjuk pemuda itu pada salah satu muffin di etalase. Muffin yang baru saja ditata Zania. Dengan krim putih dan cokelat di atasnya, menyerupai kepala beruang.

Zania mengangkat tangan. "Oke."

Pemuda itu tersenyum, lantas memilih duduk di kursi bar. Di tempatnya, dia bisa leluasa melihat Zania berkutat di dalam sana. Gadis itu tampak manis dengan gaun selutut bunga-bunga berwarna dasar cokelat yang dilapisi apron hitam. Tangannya lihai meracik kopi. Meraih cangkir, menuangkan coffe latte di sana, dan terakhir, menyimpan dua buah muffin di atas piring.

Setelahnya, Zania menyodorkan sarapan sederhana itu di depan si pemuda.

"Maaf untuk coffe latte-nya, ya, Sa? Gue baru diajarin sama Putra dan belum bisa bikin latte art. Rasanya mungkin juga nggak seenak bikinan dia."

Pemuda bernama Aksa itu mengangguk. "Gue malah pengen nyoba yang buatan lo."

"Pasti mau ngeledek, 'kan?"

"Nuduh," sergah Aksa menggelengkan kepala. Pemuda itu meraih cangkir kopinya, lantas menyeruput sedikit. Beberapa waktu, Aksa membiarkan cairan kecokelatan itu menuruni kerongkongan.

"Gimana?" tanya Zania, terdengar tidak sabar.

"Spesial."

Detik mendengar kata itu, Zania tertawa pelan. Gadis itu mendelik kemudian, lantas menggeleng. "Maksudnya, lo mau bilang kalau coffe latte buatan gue nggak ada yang seenak di Bandung, 'kan?"

"Sangat percaya diri. But i'll your try best, Zi. Ini masih bisa gue nikmatin," ujar Aksa tulus. Menimbulkan senyum manis Zania dan pipinya yang memerah.

"Btw, lo hari ini nggak ada kegiatan?" tanya Aksa lagi.

"Cuma bantu-bantu di sini, sih. Itupun karena Putra lagi ada urusan sebentar di daerah Kemang. Jam sembilan paling dia udah di sini."

"Pegawai yang lain, memangnya nggak ada?"

"Ada, kok. Bentaran lagi mereka pasti dateng. Gue yang bukanya terlalu pagi, sih. Kebetulan aja lagi mood banget buat beraktivitas pagi-pagi, makanya ke sini."

Aksa mengernyitkan keningnya. "Are you okay?"

Zania tersenyum. "Gue baik-baik aja."

Lalu percakapan itu terhenti sejenak karena bunyi denting bel yang menggema dua kali. Sosok Arsa dan Radita baru saja masuk. Itu pegawai Putra.

Zania dan keduanya langsung berbincang sejenak. Sekejap lupa pada keberadaan Aksa yang masih mengamati gadis itu. Ada perasaan yang tidak bisa dirinya defenisikan tatkala melihat ekspresi Zania yang cepat berubah. Dari terlihat tersenyum sampai matanya menyipit, tiba-tiba berubah lagi menjadi datar. Lalu matanya yang memicing, atau alisnya yang dinaikkan. Ekspresi-ekspresi itu tiba-tiba saja membuat Aksa merasakan hal lain. Hal yang sudah lama tidak dirasakannya pada Zania pasca kelulusan mereka empat tahun lalu.

Apakah, perasaan itu kembali menaiki permukaannya?



°°


A/n:

Hai, hello
Cuma mau bilang, selamat datang~
Happy reading, hopefully enjoy & like it ( ̄3 ̄)


Best regards,

Susiayuningsi

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now