xxxvi. consigment a flower

50 3 0
                                    

Semuanya berjalan lancar. Amat lancar malah. Di penghujung sidang, Zania tidak bisa menahan air matanya kala Pak Tio—selaku penguji pertama—menyatakan dirinya lulus pada sidang hari ini. Juga semakin terharu ketika acara dilanjutkan pada pemberian gelar atau yudisium.

Dua jam di dalam ruangan, Zania tidak pernah sekali pun merasa diserang. Pertanyaan-pertanyaan bisa dia jawab dengan baik. Selain itu, kedua penguji tidak memberinya banyak pertanyaan. Malah mereka lebih banyak memberi saran dan bercanda dengan kedua pembimbing Zania. Hal itu sangat disyukuri sebab satu beban terberat telah luruh.

Jika boleh jujur, Zania merasa lebih diserang dan dibantai pada seminar proposal dulu. Pada sidang akhir ini, dia bisa dikatakan sangat lancar. Mungkin karena jalur langit? Akhir-akhir ini Zania memang menyerahkan semuanya pada Tuhan dan lebih banyak berpasrah diri.

Setelah sesi foto bersama penguji dan pembimbing, Zania keluar dari ruangan. Yang di mana di depan sana, sudah ada beberapa temannya yang menunggu.

"Officially Zania Aluna S.Pd! Selamaaaat, Zizi!" Seruan pertama datang dari Arin. Perempuan itu langsung mengalungkan selempang berwarna merah di leher Zania. Selempang yang satu sisinya bertuliskan nama Zania dengan gelarnya, sedang yang sisi satunya bertuliskan cumlaude. Sebab Zania berhasil meraih IPK hampir angka empat. Sesuatu yang lagi-lagi tak hentinya Zania syukuri.

Zania tersenyum dan langsung tergugu ketika mendapat pelukan dari Arin dan Alina. Ketiganya berangkulan lama sekali. Tampak tidak peduli dengan sekitar yang sebetulnya masih ramai. Sebab ruangan yang tadi dipakai Zania dalam melakukan sidang akhir, akan dipakai mahasiswa lain.

"Makasih, guys. Makasih banyak."

Pelukan ketiganya terlepas kemudian.

"Makasih juga untuk diri lo sendiri, ya, Zi! Makasih udah bertahan sampai hari ini. Makasih udah jadi sahabat kita yang paling ambis ngejar gelar, paling effort soal pendidikan tapi di sisi lain nggak pernah lupa ngingetin kita semua," ujar Alina dengan tulus. Hal yang lagi-lagi membuat Zania menitikkan air matanya.

"Lo keren banget hari ini. I'm so so so so proud of you, Zi."

Kini giliran teman-teman seruangan Zania yang mengerubungi perempuan itu. Mereka silih berganti memberikan pelukan singkat dan ucapan selamat padanya. Tidak lupa beberapa dari mereka memberikan paper bag berisi hadiah atas kelulusannya hari ini, juga ada yang memberikan buket.

Semua euforia itu Zania nikmati dengan hati yang mekar. Melihat banyak yang datang pada hari sidang akhirnya, dia jadi paham bahwa ternyata banyak yang sayang padanya. Banyak yang peduli.

Kerumunan itu berpindah di taman FIP. Sebab sesi selanjutnya adalah foto-foto. Zania yang sebetulnya sudah lelah ditarik sana-sini untuk diajak berfoto hanya bisa menarik senyum tipis. Dia tidak punya kuasa untuk mengeluh, sebab orang-orang ini sudah menyempatkan waktunya untuk datang. Zania hanya harus bertahan.

Menjelang pukul empat sore, sesi foto-foto itu akhirnya selesai. Teman satu kelas, teman organisasi dan KKN Zania yang sempat hadir, semuanya sudah melenggang pergi. Menyisakan Zania yang ditemani Arin dan Alina yang masih duduk di taman FIP. Sekumpulan paper bag dan buket mengelilingi ketiganya.

Alina menyodorkan botol air minum yang baru dia beli di kantin untuk Zania.

"Minum dulu, Zi. Pasti capek banget, 'kan?"

Zania langsung menerima botol minum itu. "Banget."

Tadi Zania sidang akhir mulai pukul 12.40 dan baru selesai dua jam kemudian. Setelahnya, perutnya tidak terisi apapun. Dan Zania sudah haus sejak masih di dalam ruangan tadi. Namun baru sempat meminum air sekarang.

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now