xv. something is not wanted

49 3 0
                                    

Pukul 11.30 dentingan di penjuru perpustakaan universitas terdengar menggema. Tanda waktu istirahat sudah tiba dan waktunya untuk menutup perpustakaan sebelum nanti pukul 13.00 dibuka kembali. Beberapa mahasiswa mulai membereskan barang-barangnya untuk segera enyah dari sana. Beberapa lainnya tampak enggan, telanjur nyaman. Dan biasanya tipe seperti itu baru akan beranjak jika bel tanda istirahat dibunyikan berkali-kali dan sambungan wi-fi dimatikan.

Zania melepas airpods dari telinga sembari mematikan laptop. Hari ini dia memang mendedikasikan sebagian waktunya untuk mulai menyusun bab hasil penelitian skripsinya di perpustakaan. Sebelum nanti sore mulai melanjutkan novelnya kembali.

Baru saja mengambil totebag-nya di loker, dentingan panjang terdengar dari ponsel yang disakukan di rok. Kening Zania mengernyit sebentar melihat nama Arin terpampang di sana.

"Halo, Rin?"

"Dimana, Zi?"

Seraya memasukkan laptop ke dalam totebag, Zania menjepitkan ponsel di telinga kiri dan bahunya agar dia tetap bisa mendengar suara Arin.

"Di kampus. Abis skripsian di perpus."

"Ke Sweetest, ya? Gue di sini."

"Bareng Alina?"

"Sendiri."

Untuk sesaat, Zania termenung. Es krim dan Arin adalah musuh bebuyutan. Sebenarnya bukan es krim saja, tapi apapun makanan dan minuman yang dingin, Arin pantang mengkonsumsi. Perempuan itu mempunyai penyakit sakit tenggorokan berlebih jika habis makan sesuatu yang dingin dan terlalu manis. Dan rasanya, mendengar Arin ada di Sweetest—kedai es krim—di dekat kampus yang tempo hari dikunjunginya itu, membuat Zania ada sesuatu yang salah.

"Gue langsung ke sana," putus Zania kemudian. Lalu panggilan telepon itu terhenti. Dengan gerakan gesit, Zania memasukkan semua barang-barangnya ke dalam totebag, seperti charger laptop dan ponsel, dan beberapa buku catatan yang tadi dia bawa masuk ke perpustakaan.

Hari ini kebetulan sekali dia membawa motor sendiri. Jadi Zania tidak perlu memesan ojek atau berjalan kaki ke Sweetest untuk cepat sampai. Yakin sekali, Arin pasti sedang ada masalah. Jika tidak, mengapa perempuan itu harus ke kedai es krim padahal dia tidak makan es krim sama sekali.

Kurang lebih sepuluh menit, sampailah Zania di tempat tujuan. Sweetest menjelang siang hari itu tampak sedikit sepi. Memasuki kedai, Zania langsung bisa menangkap presensi Arin. Dia duduk di sebuah kursi yang menghadap fasad dan dinding kaca di depannya. Tempat yang pernah Zania duduki bersama Auriga.

Setelah memesan es krim, Zania menghampiri sahabatnya itu.

"Tumben banget ngajakin ke sini." Menjadi kalimat pertama yang dilontarkan Zania. Arin yang tadinya sedang melamun sontak menoleh dan sepersekian detik Zania lagi-lagi tertegun. Bersahabat sejak jaman masih memakai seragam putih biru, Zania tahu sekali kapan Arin habis menangis. Dan pemandangan itu sekarang tepat ada di depannya. Mata belo Arin tampak memerah dan ada jejak-jejak air mata di kedua pipi.

"Lo pesen?" tanya Arin ketika Zania sudah duduk di sampingnya.

"Iyalah."

Arin menggeser semangkuk es krim matcha dengan berbagai toping manis itu di hadapan Zania. "Padahal udah gue pesenin."

"Nggak papa. Gue masih bisa abisin dua mangkuk es krim," ujar Zania bermaksud bercanda. Namun ketika hanya mendapati senyum tipis Arin, dia jadi menghentikan aksinya.

"Rin? Are you okay?"

Ada jeda sepersekian sekon sebelum terdengar helaan napas berat lolos dari mulut Arin. Bulir-bulir itu kembali memenuhi matanya. Disenggol sedikit saja mungkin kedua kelopak itu sudah meneteskan airnya.

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now