xxxv. 6am

45 4 2
                                    

Ini bukan pertama kalinya Zania mendeklarasikan pada dirinya untuk melupakan Auriga. Bahkan, bisa dibilang, ini adalah usaha kesekian. Usaha yang belum diketahui akan berhasil, atau akan gagal lagi. Seperti sebelum-sebelumnya.

Biasanya, Zania akan memutuskan komunikasi pada Auriga jika pemuda itu lepas melakukan sesuatu yang menyakitinya. Zania akan memblokir kontaknya. Dan betul-betul berusaha untuk tidak peduli.

Namun, usaha tersebut seringnya gagal. Biasanya Zania akan kembali membuka blokiran kontak Auriga jika dia merasa sudah baik-baik saja. Dan ketika ada pesan yang masuk dari pemuda itu, Zania akan membalas. Mengobrol panjang lagi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Lalu jika Auriga menyakitinya lagi, Zania akan melakukan hal yang sama. Memutuskan komunikasi. Lalu kembali lagi. Terus seperti itu. Yang lama kelamaan membuat Zania pusing dan bingung sendiri. Dia betul-betul tidak tahu lagi bagaimana caranya agar konsisten untuk melupakan Auriga.

Dan kejadian di Sweetest tiga hari lalu adalah kesekian kalinya. Terhitung sejak peristiwa itu, Zania memblokir kontak Auriga. Meminimalisir pertemuannya dengan pemuda itu dengan tidak keluar rumah. Dia hanya mengurung diri di kamar dengan setumpuk buku-buku dan skripsi. Patah hati di menjelang sidang cukup membuatnya uring-uringan.

Namun kabar baiknya, Zania bahkan bisa belajar dengan benar. Dia membabat habis semua jurnal terkait yang dia temui. Membaca ulang skripsinya yang tebalnya mencapai ratusan halaman dengan jangka waktu yang sebentar. Mencatat kosakata asing dan mencari artinya. Menggali lebih dalam hampir semua teori yang skripsinya pakai. Zania butuh itu agar kepalanya tidak sedikit pun mengingat Auriga.

Dan itu juga dibarengi dengan jam tidur yang kurang. Membuat Zania pagi ini jadi merasakan tubuhnya lemas luar biasa. Dia baru ingat, hampir tiga hari ini juga dia mengonsumsi kopi setidaknya tiga gelas perhari. Sebuah usaha agar dia tetap terjaga sepanjang hari.

Dengan piama kusut baby pink-nya, gadis itu keluar dari kamar dengan tiga gelas bekas kopi tadi malam. Di bawah matanya menghitam. Mengindikasikan bahwa dia memang begadang beberapa hari ini.

Suasana dapur atau lebih tepatnya rumah, pagi ini sangatlah sepi. Tidak adanya presensi Ibu yang biasanya sudah sibuk di sana. Bapak sudah pasti sedang bekerja. Dan Kael pasti sekolah.

Di meja makan, ada tudung saji yang di bawahnya ada sarapan berupa sandwich berisi daging cincang. Dan Zania menemukan sebuah post-it warna kuning yang ditempelkan di kulkas.

Mbak, ibu lagi ke rumahnya Tante Irma. Udah dibikinin sarapan juga. Jangan lupa makan, ya? Kayaknya ibu bakal lama.

Nanti kalau adek pulang lebih dulu daripada ibu, tolong masakin ya? Ada ayam yang udah dibaluri tepung di freezer. Mbak tinggal goreng aja.

Big hug,

Ibu <3

Zania hanya menghela napas setelah membaca pesan dari ibunya. Gadis itu kemudian berjalan ke meja makan dan mencomot sepotong sandwich dari sana. Dia tidak ada agenda keluar hari ini.

Menjelang hari sidang, Zania sudah berjanji akan tetap ada di rumah. Belajar sampai dia hafal semua isi-isi skripsinya. Hatinya mendadak sesak lagi ketika kepalanya tiba-tiba melenceng memikirkan Auriga.

Sejak kejadian itu, Zania belum menangis. Dan dia berjanji untuk tidak melakukan itu. Dia percaya, bahwa perempuan high value tidak menangisi laki-laki yang bahkan memikirkan perasaannya saja tidak. Jadi, Zania tidak akan melakukan itu.

Meski dadanya terkena sengat setiap kali memikirkan hal itu. Namun, sejauh ini Zania memiliki benteng yang cukup kuat. Ada hal-hal yang lebih penting yang harus dia urus.

Jadi, selepas dia sarapan singkat, Zania kembali ke kamar. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi saat dia memesan kopi di salah satu aplikasi delivery food. Tak lupa dia juga memesan camilan pelengkap berupa roti bakar. Keduanya akan Zania gunakan sebagai amunisi untuk belajar hari ini.

Tidak ada waktu untuk meresapi patah hatinya.

Baru saja Zania meletakkan ponsel dan menarik satu rangkap skripsinya dari meja belajar, dia tidak sengaja menjatuhkan sebuah buku. Dengan gerakan tidak bersemangat, dia memungut buku tersebut. Hal yang langsung membuat Zania menyesali aksinya.

Buku dengan pinggiran yang sudah lecet itu langsung membuat suasana hatinya menjadi sendu. Buku Bahasa Indonesia karya salah satu dosen di kampusnya. Zania meringis tatkala menemukan sebuah tulisan tangan pada halaman pertama yang dia buka.


AA, Ilmu Hukum, 2018.

Buku milik Auriga. Yang pemuda itu berikan padanya waktu Zania masih semester dua. Dulu, di semester awal, saat mata kuliah masih pada kategori umum, Zania mendapat perintah dari dosen Bahasa Indonesianya untuk memiliki buku sebagai pegangan. Buku yang harus karya dari salah satu dosen di kampusnya.

Dan Zania iseng bertanya pada Auriga. Dan ujungnya sudah ditebak. Pemuda itu memilikinya dan tidak berpikir panjang langsung dia pinjamkan pada Zania. Namun ketika Zania ingin mengembalikan buku itu, Auriga malah menolak. Bilang jika dia tidak butuh itu lagi. Dan bilang jika Zania lebih pantas memilikinya sebab gadis itu suka membaca.

Tanpa sadar Zania tersenyum tipis. Sedetik kemudian dia mendengkus. Dan dengan gerakan sedikit kasar, dia memasukkan buku tersebut ke dalam laci meja belajarnya. Berusaha agar benda itu tidak tertangkap indera penglihatan. Karena jujur saja, itu sungguhlah menyengat hatinya yang masih lemah soal Auriga.

"Dasar brengsek."

______

Di sebuah apartemen studio yang pencahayaannya remang-remang, terdengar sebuah isak tangis yang lirih. Suara kendaraan dan klakson di bawah sana tampak teredam karena ketakutan yang gadis itu rasakan. Lampu utama sengaja dia matikan. Hanya menyisakan cahaya minim dari lampu duduk di samping ranjang.

Gadis berambut panjang itu meraih ponselnya. Mengetik beberapa kata di kolom pencarian Google. Lantas kembali terisak ketika mengingat apa yang baru saja dia saksikan. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi, dan langit perlahan-lahan mulai berubah terang. Suara kendaraan juga semakin banyak. Namun hal-hal itu tidak menyurutkan rasa gelisah dan takut yang gadis tersebut rasakan.

Apa yang harus dia lakukan?

Ketika kembali mengingat penyebab dia sebegini takutnya, dia menggeleng kuat. Dia tidak boleh tahu. Tapi jika dia tidak boleh tahu, bagaimana dengannya?

Gadis itu sangat sadar, bahwa hal ini suatu saat akan terendus juga. Akan ketahuan juga. Namun, dia hanya tidak perlu menyeret nama itu, 'kan? Ya, dia hanya perlu melakukan itu.

Namun sekali lagi, ketika dia melirik sebuah benda kecil yang ada di atas meja belajar, dia tergugu. Menyadari bahwa mungkin mulai sekarang hidupnya tidak akan sama lagi. Dia hilang arah. Dia tidak tahu harus apa selepas ini.

Ketika gadis itu berpikir untuk menghubungi salah satu sahabatnya, pergerakan itu terhenti. Tidak sekarang. Salah satu dari mereka akan ujian sidang sebentar lagi. Dan satunya lagi, sedang bahagia-bahagianya karena suaminya akan datang berkunjung besok. Dia tidak ingin merusak hari menegangkan dan hari bahagia kedua sahabatnya.

Lantas, dia harus menghubungi siapa lagi?

Sekali lagi, ketika gadis itu melirik sebuah benda di atas meja belajarnya, air mata kembali turun. Kali ini lebih deras.

Mau berapa kali pun dia mengecek benda kecil itu, tetap ada dua garis di sana.







________





A/n: ekspresiku: (๏_๏)

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now