xxvii. like a movie

51 2 0
                                    

Setelah keluar dari bioskop, Zania mengajak Aksa untuk mampir sebentar di salah satu gerai gelato. Ikut mengantre untuk mendapatkan satu cup matcha gelato dari sana. Kurang lebih sepuluh menit, Zania sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia berjalan kembali menghampiri Aksa yang menunggunya di salah satu bangku yang ada di tengah-tengah mal.

"Beneran nggak mau juga?" Zania bertanya seraya menyodorkan cup gelatonya. Aksa menggeleng kemudian seraya tersenyum. "Lo aja."

Maka Zania hanya bisa mengangguk. Segera mengeksekusi gelato tersebut. Setelah menonton selama satu jam lebih di dalam bioskop, gelato adalah penutup yang manis. Apalagi film yang ditontonnya tadi adalah film remaja yang kisahnya diangkat dari novel yang Zania pernah baca. Rasanya, film anak SMA seperti tadi bisa membuat otaknya lebih rileks dan sebagai inspirasi juga untuk menyelesaikan revisi novelnya.

"Zi?"

"Ya?"

Aksa berdeham sejenak. "Gimana menurut lo?"

Zania menoleh, dan bertanya untuk memastikannya. "Filmnya?"

"Iya," jawab Aksa.

Terlihat Zania berpikir sebentar, sebelum kemudian ada sebuah senyum terulas. "Kisahnya manis. Gue pernah baca novelnya dan juga tau penulisnya. Yaa, so far ... good, sih, untuk ukuran film yang diangkat dari novel. Para pemainnya juga aktingnya bagus-bagus. Dan ... tentu aja, jalan ceritanya juga. Secara nggak sengaja gue jadi terinspirasi buat novel yang lagi gue garap juga."

Film berjudul All About Us karya seorang penulis bernama Saira Ayudia itu terbit tahun 2021 kemarin. Menceritakan tentang Agnan dan Icha yang merupakan teman sedari kecil, sekaligus musuh. Meski jalan ceritanya mudah ditebak, menurut Zania, kisah keduanya dikemas lebih apik dan manis. Tentang bagaimana Icha yang pandai menggunakan otak dan kekuasaannya untuk membuat Agnan tunduk padanya. Juga bagaimana Agnan dengan cerdiknya membuat Icha terikat padanya.

Kisah anak remaja yang bahkan ending-nya sangat bisa ditebak sejak film baru diputar. Namun, Zania berani merekomendasikan film tersebut sebagai tontonan termanis tahun ini.

"Menurut lo, hubungan keduanya wajar nggak, sih?" Kembali Aksa bertanya.

"Wajar, dong. Bagian mananya yang harus dibilang nggak wajar?"

"Karena mereka teman dari kecil? Kata lo, teman itu, nggak bisa lanjut ke hubungan yang lebih."

Zania terdiam sejenak. Kalimat Aksa barusan pasti merujuk pada kata-katanya tentang teman satu kelas yang dianggapnya saudara. Yang mana hubungan tersebut tidak akan dibawa Zania pada yang lebih. Pada yang melewati batas.

"Ya, nggak papa. Selagi dua-duanya mau, kenapa enggak? Lagian, menurut gue, Icha memang butuh figur Agnan di hidupnya. Begitu pun sebaliknya, di mana Agnan, juga butuhnya Icha."

"Zi?"

"Iya?"

"Kalau misalkan ... kita juga kayak gitu, gimana menurut lo?"

Pegangan Zania pada cup gelatonya melemah. Dia tertegun sebentar. "Sa ...," gumamnya yang hampir menyerupai bisikan.

"Ucapan Arin di restoran waktu itu bener. Gue lagi deketin lo." Aksa mengucapkan kalimat itu dengan jelas. Dan entah kenapa Zania benci sekali mendengarnya.

"Gue suka sama lo."

"Nggak mungkin," bantah Zania cepat. Matanya sudah memerah. Dia tidak tahu, tapi sekarang, dia ingin marah sekali.

"Kenapa itu nggak mungkin?" Aksa menantang. "Karena gue teman satu kelas lo?"

Zania memilih tidak menjawab. Enggan. Meski dia sudah diberitahu Arin dan Putra, dan selama ini masih bersikap denial, tapi mendengar fakta itu keluar dari bibir Aksa, Zania merasa belum siap juga. Tidak akan pernah.

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now