xviii. like me

54 3 0
                                    

Aksa sengaja berkendara dari kantor ke kawasan Titik Teduh hanya ingin menenangkan hati dan pikirannya yang sejak semalam gelisah dan terasa menusuk-nusuk. Padahal baru saja dia pulang dari kantor, dan seharusnya pemuda itu langsung ke apartemen dan mengistirahatkan tubuh yang rasanya sedang remuk redam.

Ponsel yang ditaruh di dashboard tampak berkedip beberapa kali, menandakan ada notifikasi yang masuk. Tapi Aksa tidak mempunyai waktu, atau sebenarnya ia, tetapi enggan untuk mengecek. Jalanan di sore menjelang malam itu ramai sekali. Macet di beberapa titik dan hebatnya tidak membuat Aksa mengumpat-umpat seperti biasa.

Pemandangan ini tidak ada apa-apanya dibanding pikirannya yang sedang kusut masai. Sekitar satu jam setengah, mobil yang baru dibelinya satu minggu lalu itu mendarat di pelataran parkir Titik Teduh. Di jam menjelang pukul tujuh malam, kafe itu terlihat cukup ramai.

"Aksa?"

Pergerakan Aksa refleks terhenti ketika mendengar panggilan itu. Dia menoleh, dan tersenyum ketika mendapati sosok Alina di sana. Sepertinya perempuan itu juga baru datang, dengan sebuah tas laptop yang dijinjing.

"Jangan bilang lo abis pulang kerja terus langsung ke sini ..." Alina berujar dengan kening berlipat-lipat tidak habis pikir. Melihat penampilan Aksa, dengan kemeja yang sudah kusut, dasi yang longgar dan rambut yang acak-acakan, sudah membuatnya menarik kesimpulan bahwa pemuda di depannya memang baru saja pulang dari kantor dan berkendara ke sebelah selatan Jakarta ini.

"Gue butuh yang manis-manis. Temenin, ya, Na?"

Dengan begitu, keduanya langsung saja masuk ke Titik Teduh. Memilih duduk di pojok yang masih kosong dan segera memesan minuman. Alina mengernyitkan kening ketika melihat pergerakan Aksa yang seperti sedang mencari seseorang. Di detik berikutnya, Alina menghela napas.

"Zania di rumah."

Aksa berhenti melongokan kepala, dan menatap Alina dengan sorot tidak terbaca.

"Kebaca kali, Sa. Lo ke sini karena mau ngeliat Zania, 'kan? Siapa lagi, sih, yang bisa bikin lo rela jauh-jauh ke sini padahal baru pulang kantor kalau bukan Zania?"

"Gue nggak ngerti."

"Oh, c'mon. Lo suka sama Zania." Itu pernyataan. Dan Aksa sedikit terkejut ketika Alina mengucapkan kalimat itu dengan nada yakin dan tegas.

Melihat Aksa terdiam, Alina hanya terkekeh. "Keliatan kali, Sa. Semenjak kita sering ngumpul, mata lo tuh nggak bisa boong tiap liat Zania. Jadi nggak perlu kaget kenapa gue bisa tau."

"Kok lo bisa peka, sih, Na? Temen lo aja yang secara terang-terangan gue deketin, peka dikit aja enggak kayaknya."

"Udah hukum alam nggak, sih? Orang yang kita sukain tuh nggak bakalan peka. Malah orang yang ada di sekitarnya atau yang nggak tau apa-apa, biasa nyadarin."

Ada hela napas yang diembuskan Aksa. "Dia tuh punya hubungan sama si cowok yang namanya Auriga itu?"

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab Alina. Rian dengan apron hitamnya datang seraya membawa nampan berisi pesanan keduanya. Setelah kepergian Rian, dan Alina yang menyeruput hot coffe latte-nya sedikit, dia menjawab, "Gue, 'kan, pernah bilang, Auriga ini gebetannya Zania. Udah lama banget sukanya. Tapi kalau nanya hubungan, gue enggak ngerti deh. Dibilang pacaran, enggak. Dibilang nggak pacaran, juga enggak. Ngebingungin mereka, tuh."

"Kata lo Zania pernah confess, 'kan?"

Alina mengangguk. "Tapi setau gue Auriga nggak nolak. Juga nggak terima. Zania confess pun beneran cuma ngungkapin perasaannya aja, nggak ada pertanyaan kayak 'lo mau jadi cowok gue nggak?'." Sedetik Alina mengucapkan kalimat terakhir itu, dia bergidik. "Agak serem juga kalau Zania bilang gitu. Bukan dia banget," lanjutnya.

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now