xx. is not expect presence

54 2 0
                                    

Titik Teduh di jam menjelang makan siang hari itu lumayan ramai. Putra dan Arsa tidak berhenti meracik kopi dan minuman. Rian dan Brisia saling bergantian melayani pelanggan, dan Radita yang sesekali mendapat telepon dari pelanggan yang ingin membeli kudapan dari kafe dan inginnya diantarkan. Beruntung, bala bantuan datang sejak pagi.

Zania lihai membantu mereka. Melayani pelanggan dan sesekali ke wastafel untuk mencuci perabotan. Tenaga perempuan itu betul-betul dibutuhkan siang ini. Menjelang pukul 12 tepat, keadaan berangsur-angsur santai. Putra melepas apronnya dan keluar dari area bar. Dia berjalan menuju dapur dan mengambil sebotol air mineral yang ada di kulkas.

"Abis ini lo mau jalan, 'kan?"

Zania yang tengah menata beberapa gelas yang habis dicucinya di atas counter, menoleh. Lantas menjawab, "Dijemput jam satu-an, kok."

"Ada acara apaan emang?"

"Nggak ngerti. Diajakin Aksa. Bilangnya cuma acara makan keluarga gitu." Kini kegiatan Zania selesai. Dia melepas sarung tangan dan menggantung benda itu di atas keran wastafel.

"Sendirian?"

"Nggak tau. Tapi kayaknya iya."

Kening Putra mengernyit, dan sepersekian sekon berikutnya, dia menghela napas. "Lo tuh beneran nggak peka atau cuma pura-pura, sih?"

"Maksudnya apa, tuh?"

"Serius lo nggak tau kalau lagi dideketin sama si Aksa-Aksa ini?"

Pergerakan Zania yang tadinya ingin mengambil sebotol air mineral dari kulkas juga, mendadak terhenti. Dia menoleh ke arah adiknya yang kini bersandar di counter pantri. Tengah menatapnya dengan intens.

"Jangan ngaco, deh, Tra."

"Keliatan banget. Dari sorot matanya kalau lagi ngeliatin lo kali."

"Wait, emang lo pernah ngeliat kita ngobrol. Atau ketemu gitu?"

Putra merotasikan bola mata. "Kalian beberapa kali ketangkap ngobrol depan kafe. Kata anak-anak juga beberapa kali ngopi cantik di sini. Dan bukan cuma gue yang ngomong gitu. Si Arsa sama Rian juga. Brisia sama Radita bahkan pernah nanya sama gue, hubungan lo sama Aksa itu gimana."

Zania tertegun sesaat. Mendadak merasa dejavu. Teringat lagi obrolannya dengan Arin berminggu-minggu lalu, yang mengatakan bahwa dirinya sedang didekati Aksa. Dan seperti waktu itu, Zania menyangkal. Memang itu, 'kan, yang terjadi? Tidak ada yang didekati, dan mendekati.

Namun mendengar Putra yang berbicara seperti itu, entah kenapa membuat Zania kepikiran. Adiknya itu adalah orang paling teliti yang pernah dikenalnya dan selalu mengucapkan hal-hal yang dirasanya memang fakta. Mendengar argumen barusan, membuat Zania mau tidak mau jadi kepikiran.

Iya juga. Ngapain Aksa ngajakin gue ke acara makan keluarganya itu? Sendirian?

"Gue nggak pernah permasalahin lo mau deket sama siapa. Tapi, yakin Aksa? Kalian temenan dari SMA, 'kan? Pasti udah tau dong baik buruknya gimana."

"Tra, kalian kayaknya salah paham, deh."

Putra mengkerutkan kening. "Hm?"

"Gue sama Aksa ... just friend. We're just friend. And always. Nggak ada yang bakalan berubah."

"Tapi tau, 'kan, kalo dia lagi ngedeketin lo?"

Nggak tahu. Bahkan sadar aja enggak kayaknya.

Botol air mineral Putra sudah kosong. Benda itu langsung dilempar ke tempat sampah yang berada di bawah wastafel. Terlihat Putra ingin beranjak dari sana.

Mistake Our Ineffable [Completed]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz